Home Headlines Membangun Kehidupan di Atas Wadas Sabda Allah

Membangun Kehidupan di Atas Wadas Sabda Allah

by admin

oleh RD. Lucius Poya Hobamatan

Diberikan dalam Rekoleksi Fasilitator AsIPA Paroki St. Damian, Bengkong-Batam, 12 Pebruari 2017

Pengantar

Refleksi ini, yang diberi judul Membangun Kehidupan Di Atas Wadas Sabda Allah, bermula dari cetusan seorang sahabat saya yang mengisahkan tentang keprihatinannya atas kondisi kehidupan Meng-Gereja yang teranyar. Dalam cetusan itu, yang ia sharingkan dalam sebuah perjalanan, sahabat ini merasa bahwa wajah Gereja dan hidup meng-Gereja kita saat ini seakan hancur seketika. Keprihatinan ini ia cetuskan karena sahabat ini mendapatkan keluhan dari sesama rekan fasilitator yang berkata:” Masaq untuk melayani Tuhan saja dilarang?”

Saya, secara pribadi, begitu terkejut dengan berita ini. Dan berangkat dari keterkejutan itu, saya seakan digugat untuk merefleksikan kembali cuaca kehidupan meng-Gereja dan saya menemukan bahwa cetusan itu ternyata hanya salah satu reaksi dari turbulensi yang sedang melanda Gereja Keuskupan Pangkalpinang, pasca kematian almahrum Bapa Uskup yang tercinta, Yang Mulia Bapa Hilarius Moa Nurak, SVD.
Dalam permenungan saya atas turbulensi yang melanda kehidupan meng-Gereja Keuskupan Pangkalpinang, saya merasa bahwa kematian Bapa Uskup meninggalkan sebuah kenyataan sebagai berikut:

  • Kita sungguh kehilangan seorang Gembala. Dan kehilangan itu membawa akibat yang luar biasa dahsyat yakni bahwa Gereja Keuskupan Pangkalpinang kendati tampak normal, namun kenyataannya cara hidup dan arah hidupnya seperti domba yang tak bergembala. Para imam, khususnya kami para pastor paroki, yang ketika Mgr. Hilarius masih hidup sekedar pengamat (bukan pelaku) dan berpastoral dengan cara-cara lama, tiba-tiba muncul sebagai ahli Gereja Partisipatif dan ingin menggiring kembali Umat Allah kepada cara hidup meng-Gereja lama, yakni kepada pastor centris: pastor locuta res finita (pastor berkata habis perkara). Akibatnya muncul keluhan bahwa untuk melayani saja harus tunggu komando pastor. Mengapa muncul kembali upaya penggiringan ke arah pastor sentris, karena ada keangkuhan dalam diri kami seakan kami para imam adalah the first class, sedangkan awam adalah the second class (gambar 3 modul c/6), padahal hakekat hirarkis bukan untuk tujuan itu. Kesombongan ini membuat kami para pastor bertindak seakan sebagai magisterium tunggal, sehingga kalau pastor bicara habis perkara. Kami para imam merasa seakan tahu segalanya dan rekan-rekan awam dianggap tidak tahu apa-apa. Efek lanjut dari kesombongan ini adalah bahwa ajaran Gereja entah Hukum, Ensiklik, Seruan Pastoral, Hasil Sinode, Pedoman Pastoral Gereja lainnya, boleh diabaikan, boleh dilanggar dan tak usah diikuti [1]. Padahal imam ditempatkan di Paroki supaya menjadi penjamin utama implementasi semua ajaran iman itu dan berpastoral sesuai dengan aras yang ditunjuk oleh Pimpinan Gereja.
  • Untuk memapankan pastor sentris itu, fasilitator yang begitu penting dalam pembangunan Gereja Partisipatif di mana KBG menjadi perwujudan konkretnya (B/1 dan B/2), sehingga sejak 2004 mulai digalakkan di Keuskupan Pangkalpinang melalui program pemberdayaan AsIPA, bahkan demi misi ini blmahrum Bapa Uskup sendiri harus turun untuk menganimasinya (di Tanjung Uban, Dabo – Singkep, Natuna, juga untuk para biarawan-biarawati di bangka), justru dirasa tidak penting setelah Uskup meninggal; dan disebarkan hoax kepada umat bahwa fasilitator itu penganggu, arogan. Padahal hasil angket tahun 2000 saat Sinode Pertama, justru umat mengatakan imam yang menjadi penghambat Visi dan Misi Gereja karena berpastoral sesuai selera [2]. Di balik hoax ini, sebetulnya ada semacam rasa minder pada diri kami para imam karena fasilitator tahu banyak hal tentang dokumen Gereja, sementara banyak imam justru tidak tahu apa yang seharusnya diketahuinya, akibat hilangnya spirit kemuridan untuk selalu belajar, karena hampir seluruh waktu dihabiskan untuk hal-hal yang tidak mendukung imamat dan pastoralnya [3]. Sementara awam kendati bekerja sepanjang hari, namun malam harus belajar demi melayani untuk sesama.

Harus diakui bahwa 5 tahun setelah Sinode II, hanya Tembesi dengan Bengkong yang berjuang meng-implementasikan hasil Sinode II. Paroki yang lain masih tanda tanya [4]. Dan oleh karena itu kalau Gereja Partisipatif dihancurkan, saya tak rela, karena perjuangan membangun Gereja Partisipatif ini dilandaskan pada komitmen seluruh umat yang dimulai sejak Sinode I, didalami kembali dalam masa discerment 2010, diusulkan dalam Sinode Paroki, Dekenat sampai tingkat Keuskupan. Sinode tidak merekomendasikan kepada masing-masing pastor di paroki untuk berpastoral sesuai selera masing-masing. Dan untuk itulah AsIPA adalah satu-satunya tools, karena dibuat sedemikian rupa oleh para ahli teologi dan pastoral Asia, agar teologi Gereja bukan sekedar pemahaman di kalangan imam melainkan harus merupakan cara hidup meng-Gereja seluruh Umat Allah. Dan demi visi ini pula, para fasilitator secara otomatis masuk dalam organ PIPA Paroki dan bersifat abadi, karena fasilitator diberdayakan sebagai aktor untuk menganimasi Umat Allah untuk membangun Gereja Partisipatif yang diwarnai oleh tiga bintang, sebagaimana ditampilkan dalam modul-modul pemberdayaan A,B,C [5].

Selain karena hidup meng-Gereja yang dibangun dengan susah payah selama 29 tahun oleh almahrum Bapa Uskup Pangkalpinang untuk membawa Keuskupan 1000 pulau ini ke sebuah era yang menjanjikan, seakan hancur seketika; judul rekoleksi Membangun Kehidupan Di Atas Wadas Sabda Allah, juga dilandasi oleh pemikiran bahwa sebentar lagi kita akan memasuki masa ret-ret agung Gereja, yakni masa Pra Paskah; sebuah kurun waktu bagi seluruh kaum terbaptis untuk memperbaharui diri, bertobat dan kembali ke fitrah sebagai anak-anak Allah. Demi pembaharuan diri itu, Sabda Allah menjadi penting, karena Sabda Allah adalah Pelita dan Cahaya dalam perziarahan seorang musafir.

Judul rekoleksi Membangun Kehidupan Di Atas Wadas Sabda Allah ini juga diinspirasi oleh Bapak Basuki Cahaya Purnama. Beliau pernah bersharing bahwa membaca dan merenungkan kitab suci setiap hari adalah andalan utamanya. Sudah 5 kali ia membaca dan merenungkan Kitab Suci mulai dari Kejadian-Wahyu. Kekuatan Sabda Allah inilah, kata Ahok, yang membuat ia tidak takut berhadapan dengan orang-orang yang memusuhi dia, dan menganggapnya kafir.

Sepintas Melihat Gerak Pastoral Dalam 29 Tahun Perziarahan

Ketika almahrum Mgr. Hilarius Moa Nurak, SVD tiba di Keuskupan Pangkalpinang, 1987; Keuskupan ini bagai bahtera yang hampir tenggelam. Jumlah imam dan religius sangat-sangat sedikit, dan berada dalam usia senja-di atas usia 70-an. Jumlah imam yang masih energik hanya 2 orang yakni RD. FX. Hendrawinata dan RP. Martin Irawan, SSCC. Suster KKS yang berusia muda hanya Sr. Josepha Bakheta, KKS yang kini menjadi pemimpin umum Kongregasi KKS. Selain jumlah tenaga, kondisi keuangan Keuskupan juga sangat-sangat memprihatinkan karena berada pada ambang nol rupiah. Kondisi ini berpengaruh pada jumlah Paroki. Kepulauan Riau hanya satu Paroki saat itu. Tidak heran Gereja Kepulauan Riau ini, di tahun-tahun sebelumnya, tidak mengenal masa liturgi biasa dengan warna liturgi hijau, kecuali putih dan ungu, karena dengan satu imam melayani ribuan umat yang berdomisili di ribuan pulau, maka siklus pastoralnya adalah advent-natal-pra paska-paska lalu kembali lagi ke advent, tanpa masa biasa [6].

Kondisi ini kemudian diperparah lagi oleh situasi umat yang berpinsip SUAP (Semua Urusan Adalah Pastor), sehingga wajah Gereja yang ditampilkan sampai tahun 2000 adalah sebuah wajah gereja apatis.
Potret Gereja yang apatis itu yang anda refleksikan dalam modul C/6.

rekoleksi

Sambil mempromosikan panggilan ke Flores untuk mendapatkan tenaga calon imam Diosesan, calon imam SSCC, calon suster KKS, dan mencari dana untuk menjadi modal Keuskupan, membangun infta sruktur, biaya kuliah para frater [7], masalah pastoral lain yang harus dijawab setelah tiga tahun berkeliling ke seluruh wilayah Keuskupan ini adalah prioritas pastoral seperti apa yang harus dikembangkan agar identitas Gereja sebagai Komunio Umat Allah dan Tubuh Mistik Kristus sungguh menjadi sebuah cara hidup meng-Gereja, dalam konteks umat diaspora yang menyebar di ribuan pulau, mulai dari kepulauan Natuna di Utara sampai Kepulauan Bangka Belitung di Selatan?[8]

Tahun 1990, dalam sebuah perjumpaan di Tanjung Pinang dengan RP. Hardowiryono, Teolog KWI, beliau menawarkan agar Bapa uskup membangun KBG selaras dengan pastoral Gereja Asia, yang dicetuskan dalam pertemuan FABC di Bandung.

Atas dasar itu usaha perdana adalah mendatangkan Sr. Julma Neo dari Philipina (kawannya RP. Hardowiryono) untuk menganimasi tentang To Wards A New Way Of Being Church Today (Menuju Cara Hidup Meng-Gereja Baru Zaman ini), dilanjutkan pula dengan pengirman tenaga-tenaga seperti Rm. Frans Mukin, Rm. Marsel Gabriel, Rm. Anton Mite, dan beberapa katekis untuk memperkuat tenaga Keuskupan supaya bisa menjadi tenaga untuk mulai membangun A New Way Of Being Church itu.

Ternyata studi di Phlipina tidak membawa hasil, karena sampai dengan tahun 1995, dalam musyawarah Pastoral di Pangkalpinang, di mana saya juga terlibat sebagai awak media Majalah Berkat, terpotret bahwa tak satu pun paroki yang mengimplementasikan cara baru hidup meng-Gereja ini. Awam menuduh para imam selalu bergaya pastor sentris dan para imam menuduh awam tidak bisa berbuat apa-apa, sehingga muncul istilah NATO (No Action Talk Only, yang berarti omong doang).

Atas dasar itu mulai digalakkan SOD (Seminar Orientasi Dasar) KBG kepada para imam, suster dan dicoba kelompok pilot project sebagai embrio, namun lagi-lagi para imam di paroki tidak menjalankannya. Namun menakjubkan bahwa dalam angket sinode tahun 2000, lagi-lagi umat di seluruh Paroki merekomendasikan agar KBG dijadikan sebagai prioritas pastoral, sesuai harapan umat [9]. Namun selepas sinode, ketika Pedoman Pastoral Sinode diterbitkan dalam dokumen M3DP (Marilah Melangkah Maju Dalam Persaudaraan, untuk menjadi rambu pastoral paroki, lagi-lagi dijumpai bahwa dokumen itu hanya disimpan di rak-rak kosong Paroki, sebab pastor paroki berpastoral sesuai seleranya. [10]

Jadi 10 tahun pertama, KBG dirasa gagal, karena pendekatan atas cara hidup baru meng-Gereja menggunakan NATO, oleh kami para imam. Untunglah bahwa dalam kondisi-kondisi seperti itu, Bapa uskup selalu mengikuti pertemuan AsIPA yang diadakan oleh Konferensi Para Uskup Asia (FABC).

Itulah sebabnya untuk mengatasi kegagalan fase pertama itu, tahun 2004 diadakan Loka Karya AsIPA di Pangkalpinang dan Tanjung Pinang. Seluruh imam ditambah utusan-utusan awam wajib mengikuti loka karya ini, agar dengan loka karya itu dimulailah sebuah babak baru peralihan dari Geraja Apatis kepada Gereja Partisipatif dengan locus pastoralisnya adalah Komunitas Basis Gerejawi.

Pasca loka karya AsIPA di Tanjung Pinang, saya dan bapak Ignatius Sumardi berinisiatif untuk memperdalam kembali AsIPA di Batam ini, dengan maksud agar apa yang sudah ditanam mulai bertumbuh, melalui pemberdayaan beberapa fasilitator handal dari masing-masing Paroki. Namun lagi-lagi setelah selesai selama setahun, saya secara rutin mengadakan Loka Karya ini di Tembesi, dan ternyata dengan AsIPA yang dijadikan sebagai program rutin dan visioner, MBPA bisa menjadi seperti sekarang ini, yang awalnya bermodal nol rupiah, infra struktur yang belum ada, dengan kondisi umat yang juga di bawah standard; sedangkan Paroki lain tetap NATO saja.

Kegagalan di fase kedua (10 tahun kedua) itu membuat saat memasuki Sinode II, diadakan masa penerangan di mana umat diajak berefleksi tentang makna Gereja yang disajikan dalam modul Pra Sinode. Rekomendasi umat berdasarkan hasil refleksi itu, adalah bahwa umat merekomendasikan visi Menjadi Gereja Partisipatif yang dirumuskan dalam sinode dekenat utara di Bible Center; dan dalam Sidang Sinodal Keuskupan, rekomendasi itu menjadi keputusan Gereja, yang semua isinya dirangkum dalam Pedoman Pastoral Menjadi Gereja Partisipatif atau yang lebih dikenal dengan MGP, dengan norma komplementer sebagai acuan normatif dalam membangun Gereja Partisipatif.

Demi Membangun Gereja Partisipatif dengan locus patoralis KBG itu, maka MGP menegaskan AsIPA harus menjadi tools dan fasilitator harus merupakan bagian integral dari Pangkalpinang Integral Pastoral Approach. (PIPA). Dengan demikian jelas bahwa kita tidak bisa membangun Gereja Partisipatif yang perwujudan konkretnya adalah KBG, bila AsIPA ditiadakan, dan Fasilitator AsIPA disingkirkan.

Mengapa demikian? Karena pertama, Paroki bertugas mengupayakan pertumbuhan panggilan partisipasi kaum beriman dalam hidup dan misi Allah. Kedua, Paroki merupakan ekspresi konkret dari komunio Gereja Lokal, maka visi Gereja Lokal harus menjadi visi Paroki. Adapatasi dengan situasi konkret paroki bukan berarti mengabaikan visi dan misi Gereja Lokal. Dan oleh karena itu, Pastor Paroki harus menjamin terwujudnya Visi dan Misi Gereja Lokal, karena reksa pastoral Paroki bukan otoritasnya secara pribadi, melainkan berada dalam autoritas Uskup Diosesan yang dipercayakan kepadanya (Pastor Paroki). Demikian pula, tugas pastor paroki adalah mewujudkan visi dan misi Gereja (Uskup), karena Pastor Paroki dipercayakan Uskup Diosesan sebagai gembala. Dipercayakan berarti diberi mandat untuk atas nama Uskup menggembalakan Paroki sesuai visi dan misi Uskup yang tidak lain adalah visi dan misi Gereja Lokal. Sebab komunio yang mengalir dari keberpusatan pada Kristus, meneladani komunio Allah Tritunggal dan melanjutkan misi Yesus Kristus itu, menumbuhkan semangat salig berbagi (sharing) dalam berbagai aspek kehidupan kaum beriman kristiani, dengan fungsi dan karunia yang berbeda baik awam maupun imam.

Demi perwujudan konkret komunio dan misi Gereja, yang mengalir dari keberpusatan pada Kristus, dan tampak dalam partisipasi semua anggota Tubuh mistik itu, maka Komunitas Basis Gereja harus dibangun demi A new way of being Church, meninggalkan pola gheto dalam pastoral yang lama.

Inilah kerinduan Umat sejak 29 tahun dan terus diusahakan hidup, kendati tertatih-tatih. Dan di saat umat Allah mulai berpartisipasi karena menyadari dirinya sebagai anggota tubuh mistik untuk terlibat dalam misi Kristus, imamnya justru melarang karena dianggap sebagai penganggu. Maka tidak heran muncul reaksi yang mengatakan “untuk melayani Allah saja tidak boleh [11]. Ada juga reaksi kepada pastor parokinya:” pastor hadir bukan sebagai gembala tetapi serigala”.

Reaksi-reaksi seperti ini seharusnya tidak terjadi, kalau imam dalam pastoralnya sungguh menyadari identitasnya sebagai gembala karena diberi mandat dan bukan sebagai penguasa mutlak [12]. Sebab bila ini yang terjadi, maka kita akan membuat kesalahan dalam 10 tahun ketiga.

Menimbang Suara Magisterium dalam Lumen Gentium

Kalau kita membaca dan merefleksikan ajaran Konsili Vatikan II tentang Gereja, sebagaimana yang dimuat dalam Dokumen Lumen Gentium, kita menemukan bahwa hal pertama yang diajarkan oleh para Bapa Gereja tentang makna Gereja, adalah bahwa Gereja itu merupakan Komunitas Umat Allah dan Tubuh Mistik Kristus. Para Bapa Gereja tidak mulai bicara tentang imam atau awam, melainkan komunio-komunitas. Di dalam komunitas Umat Allah itu tercipta komunio imam dan awam dengan fungsi dan kharisma yang berbeda. Dan sebagai Tubuh mistik Kristus, komunio itu harus membuat setiap anggota berperan, berpartisipasi, bukan menciptakan stroke bagi anggota yang lain, supaya satu anggota tubuh mistik menjadi dominan.

Dalam Lumen Gentium itu, para Bapa Gereja menegaskan demikian: ” Adapun imamat umum kaum beriman dan imamat jabatan atau hirarkis, kendati berbeda hakekatnya dan bukan hanya tingkatnya, saling terarahkan. Sebab keduanya dengan cara khasnya masing-masing mengambil bagian dalam satu imamat Kristus.”[13]

Berkat sakramen penguatan Umat Allah terikat pada Gereja secara lebih sempurna, dan diperkaya dengan daya kekuatan Roh Kudus yang istimewa; dengan demikian mereka semakin diwajibkan untuk menyebarluaskan dan membela iman sebagai saksi Kristus yang sejati, dengan perkataan maupun perbuatan.[14]

Umat Allah yang kudus mengambil bagian juga dalam tugas kenabian Kristus, dengan menyebarluaskan kesaksian hidup tentang-Nya terutama melalui hidup iman dan cinta kasih, pun pula dengan mempersembahkan kepada Allah korban pujian, kesaksian ucapan bibir yang mengakui nama-Nya. Selain itu, tidak hanya melalui sakramen- sakramen dan pelayanan Gereja saja, bahwa Roh Kudus menyucikan dan membimbing Umat Allah dan menghiasinya dengan kebajikan kebajikan, melainkan, Ia (Roh Kudus) juga “membagi-bagikan” kurnia-kurnia-Nya “kepada masing-masing menurut kehendak-Nya” (1Kor 12:11). Di kalangan umat dari segala lapisan Ia (Roh Kudus) membagi-bagikan rahmat istimewa pula, yang menjadikan mereka cakap dan bersedia untuk menerima pelbagai karya atau tugas, yang berguna untuk membaharui Gereja serta meneruskan pembangunannya, menurut ayat berikut: “Kepada setiap orang dianugerahkan pernyataan Roh demi kepentingan bersama” (1Kor 12:7). Karisma-karisma itu, entah yang amat istimewa, entah yang lebih sederhana dan tersebar lebih luas, hendaknya diterima dengan rasa syukur dan gembira, sebab karunia- karunia tersebut sangat sesuai dan berguna untuk menanggapi kebutuhan-kebutuhan Gereja.[15]

Karena identitas dan misi umat demikian karena rahmat Sakramen Baptis dan Krisma, maka dalam artikel tentang imam, Lumen Gentium menegaskan bahwa sebagai pembantu para Uskup, sebagai penolong dan organ Uskup, para imam dipanggil untuk melayani Umat Allah. Bersama uskup para imam merupakan satu presbiterium (persekutuan imam). Di setiap Keuskupan, imam dalam arti tertentu menghadirkan Uskup, yang mereka dukung dengan semangat percaya dan kebesaran hati. Sesuai dengan bagiannya, para imam ikut mengemban tugas serta keprihatinan Uskup dan ikut menunaikannya dengan ketekunan setiap hari. Dibawah kewibawaan Uskup para imam menguduskan dan membimbing bagian kawanan Tuhan yang diserahkan kepada mereka, menampilkan Gereja semesta di tempat mereka, dan memberi sumbangan sungguh berarti dalam membangun seluruh tubuh Kristus (lih. Ef 4:12). Oleh karena itu, sambil selalu memperhatikan kesejahteraan anak-anak Allah, para imam hendaknya mendukung karya pastoral seluruh keuskupan, bahkan seluruh Gereja. Jadi berdasarkan Tahbisan dan pelayanan, semua imam, baik diosesan maupun religius, digabungkan dengan kolegialitas para Uskup, dan sesuai dengan panggilan serta rahmat yang mereka terima mengabdi kepada kesejahteraan segenap Gereja.

Lebih jauh, Konsili menegaskan bahwa para Gembala Gereja betul-betul memahami, betapa besar sumbangan kaum awam bagi kesejahteraan seluruh Gereja. Para Gembala mengetahui bahwa mereka diangkat oleh Kristus bukan untuk mengemban sendiri seluruh misi penyelamatan Gereja di dunia. Melainkan tugas mereka yang mulia yakni: menggembalakan Umat beriman dan mengakui pelayanan-pelayanan serta kurnia-kurnia (karisma) umat sedemikian rupa sehingga semua saja dengan cara mereka sendiri sehati-sejiwa bekerja sama untuk mendukung karya bersama. Sebab mereka semua wajib “menjalankan kebenaran dalam cinta kasih, dan dalam segalanya bertumbuh dalam Kristus, yakni Kepala kita: dari pada-Nya bertumbuhlah seluruh tubuh, guna membangun diri dalam cinta kasih, dipersatukan dan di hubungkan dengan segala macam sendi-sendi, yang harus melayani keseluruhannya sekedar pekerjaan yang sesuai dengan tenaga masing-masing anggota” (Ef 4:15-16).[16]

Jadi kaum beriman kristiani, yang berkat Babtis telah menjadi anggota Tubuh Kristus, terhimpun menjadi Umat Allah, dengan cara mereka sendiri ikut mengemban tugas imamat, kenabian dan rajawi Kristus, dan dengan demikian sesuai dengan kemampuan mereka melaksanakan perutusan segenap Umat kristiani dalam Gereja dan di dunia [17]. Semua para awam, yang terhimpun dalam Umat Allah dan berada dalam satu Tubuh Kristus di bawah satu kepala, tanpa kecuali dipanggil untuk sebagai anggota yang hidup menyumbangkan segenap tenaga, yang mereka terima berkat kebaikan Sang Pencipta dan rahmat Sang Penebus demi perkembangan Gereja serta pengudusannya terus menerus.

Adapun kerasulan kaum awam itu keikut-sertaan dalam perutusan keselamatan Gereja sendiri. Dengan babtis dan penguatan semua ditugaskan oleh Tuhan sendiri untuk kerasulan itu. Dengan sakramen-sakramen, terutama Ekaristi suci, diberikan dan dipelihara cinta kasih terhadap Allah dan manusia, yang menjiwai seluruh kerasulan. Tetapi kaum awam khususnya dipanggil untuk menghadirkan dan mengaktifkan Gereja di daerah-daerah dan keadaan-keadaan, tempat Gereja tidak dapat menggarami dunia selain berkat jasa mereka. Demikianlah setiap orang awam, karena kurnia-kurnia yang diterimanya, menjadi saksi dan sarana hidup perutusan Gereja sendiri “menurut ukuran anugerah Kristus” (Ef 4:7) [18]. Ia menunaikan tugas kenabian-Nya hingga penampakan kemuliaan sepenuhnya bukan saja melalui Hirarki yang mengajar atas nama dan dengan kewibawaan-Nya, melainkan juga melalui para awam. Karena itulah awam diangkat-Nya menjadi saksi dan dibekali-Nya dengan perasaan iman dan rahmat sabda (lih. Kis 2:17-18; Why 19:10), supaya kekuatan Injil bersinar dalam hidup sehari-hari, dalam keluarga maupun masyarakat [19]. Maka dari itu para awam, juga kalau mereka sibuk dengan urusan keduniaan, dapat dan harus menjalankan kegiatan yang berharga untuk mewartakan Injil kepada dunia. [20]

Sebaliknya hendaklah para Gembala hirarkis mengakui dan memajukan martabat serta tanggung jawab kaum awam dalam gereja. Dan hendaklah mereka diberi kebebasan dan keleluasaan untuk bertindak; bahkan mereka pantas diberi hati, supaya secara spontan memulai kegiatan-kegiatan juga. Hendaklah para Gembala dengan kasih kebapaan, penuh perhatian dalam Kristus, mempertimbangkan prakarsa-prakarsa , usul-usul serta keinginan-keinginan yang diajukan oleh kaum awam(120).[21]

Jadi semua orang beriman kristiani dalam kondisi apapun hidup mereka, dalam tugas-tugas serta keadaan mereka – dan memang melalui itu semua- dari hari ke hari akan makin dikuduskan, bila mereka dalam iman menerima segala-sesuatu dari tangan Bapa di sorga, dan jika mereka bekerja sama dengan kehendak ilahi. Di dalam tugas sehari-hari ini, mereka akan menyatakan kepada semua orang, cinta kasih Allah terhadap dunia.[22]

Komunio Imam-Awam sebagai Umat Allah dan Tubuh mistik Kristus dalam karunia dan kharisma masing untuk memajukan Gereja ini, yang kita kenal dengan Gereja Partisipatif. Gereja Partisipatif ini yang dibangun dengan susah payah oleh almahrum Uskup Pangkalpinang dalam kesatuan dengan para Uskup Asia, ditetapkan dalam dua kali Sinode, diundangkan sebagai pedoman pastoral dalam M3DP dan MGP, dirumuskan secara normatif dalam NKGP, dengan locus pastoralisnya adalah KBG, setelah mengalami kegagalan 10 tahun pertama dan 10 tahun kedua. Itulah sebabnya AsIPA menjadi tools yang amat penting untuk mewujudkan semuanya itu.

Sayang bahwa setelah kematian beliau, seakan visi Gereja ikut dikuburkan, padahal visi Gereja itu abadi. Oleh karena itu mengkhianati MGP dan NKGP berarti mengkhianati Konsili Vatikan II, dan itu berarti mengkhianati Gereja itu sendiri. Dan bila imamnya yang menjadi pelaku utama, apa jadinya Gereja Keuskupan Pangkalpinang? Amatlah bodoh bila kegagalan dalam dua x 10 tahun pertama ingin diulang dalam 10 tahun ketiga.

Namun inilah badai, puting beliung yang mewarnai cuaca kehidupan meng-Gereja Keuskupan Pangkalpinang saat ini. Penyebab utamanya adalah kami para imam tidak menjalankan fungsi sebagai gembala sebagaimana diamanatkan oleh Konsili. Tetap berputar di tempat dengan senjata NATO dan Pastor Centris.

Sabda Allah Kekuatan Kita

Pertanyaannya adalah bagaimana menghayati hidup meng-Gereja dalam kondisi diterpa badai – puting beliung semacam ini? AsIPA menegaskan bahwa Sabda Allah adalah pusat, kekuatan. Daripadanya, kita menjumpai dan menimba kekuatan pada Kristus, di kala kami para imam yang seharusnya mempresentasikan kehadiran-Nya, kekurangan sumbu dan minyak, sehingga terang imamat dan kegembalaan Kristus itu meredup. Hal ini penting karena kekuatan Sabda adalah kekal, sementara rahmat imamat yang kami miliki, kendati abadi, namun tersimpan dalam bejana tanah liat. Kondisi ketidaksempurnaan ini, membuat tidak semua imam bisa menjalankan pastoral sesuai amanah.

Mengapa demikian? Karena Firman Tuhan secara sacramental adalah Yesus Kristus sendiri, Allah dan Manusia. Dia adalah Sabda kekal, kehadiran Allah, karena ia sendiri adalah Allah: “Pada mulanya adalah Firman, dan Firman itu bersama Allah, dan Firman itu adalah Allah” (Yoh 1: 1). Di dalam Yesus Kristus, Firman Abadi itu, Allah memilih kita sebelum dunia dijadikan, dan mengangkat kita untuk menjadi anak-anak Allah (Ef. 1: 4,5).[23]

Karena Kristus Sang Firman menjadikan kita anak-anak Allah, maka Sabda Allah harus memimpin kita pula untuk mencintai sesama kita. Hubungan Sabda Allah dengan tindakan kasih merupakan hubungan yang tak terpisahkan, dan butuh untuk diwujudkan, karena kasih adalah kekuatan istimewa yang menyebabkan perjumpaan antara Kristus-Sabda Allah dengan kaum beriman maupun yang tak beriman [24]. Kekuatan Sabda Allah ini penting, karena Sabda Allah adalah hadiah Allah tertinggi untuk menuntun setiap kita supaya menerima rahmat dari Allah dan mengamalkan karunia-karunia itu dalam iman secara bertanggungjawab [25]. Konsili Vatikan II menegaskan bahwa betapa besar daya dan kekuatan Sabda Allah, sehingga bagi Gereja merupakan tumpuan serta kekuatan, dan bagi putra dan putri Gereja menjadi kekuatan iman, santapan, jiwa, sumber jernih dan kekal dari hidup rohani. Sebab Sabda Allah penuh kehidupan dan kekuatan, yang berkuasa membangun dan mengurniakan warisan di antara semua orang kudus.[26].

Kekuatan Sabda inilah yang memampukan umat awam berpartisipasi dalam misi keselamatan yang dipercayakan Bapa kepada Anak-Nya untuk keselamatan semua orang, yang ia terima dalam baptisan yang memeteraikannya menjadi imam, nabi dan raja dalam Gereja. Sebab dengan kesetiaan pada Firman, kaum awam memberikan kontribusi untuk membangun Kerajaan Allah dengan membawa cahaya injil keluar, ke tengah dunia. Hal ini hanya bisa terjadi bila kaum awam tidak sekedar pendengar pasif, melainkan pelaku aktif yang disentuh oleh Sabda Allah, karena dengan itu kasih dan pelayanan yang dijiwai oleh Sabda Allah bisa tampak dalam aneka pelayanan. [27]

rekoleksi1

Penutup

Kalau dalam rekoleksi ini saya sedikit mengisahkan perziarahan Gereja kita dan bagaimana membangunnya dengan susah payah, karena sekali lagi kita adalah Gereja. Dalam Gereja yang satu dan sama itu ada imam dan awam yang dipanggil untuk bersama-sama membangunnya. Inilah kesejatian identitas sebagai Umat Allah dan Tubuh Mistik Kristus. Dan karena kita dipanggil untuk bersama-sama membangunnya, maka Gereja Partisipatif bukan sesuatu yang ditempelkan, melainkan sesuatu yang seharusnya ada, bertumbuh, berkembang dan berbuah; bukan sebaliknya. Dan oleh karena itu rivalitas bukanlah spirit Gereja Partisipatif, aktivisme imam dan pasifisme awam bukanlah warna dasar. Sebab Gereja Partisipatif sesungguhnya menegaskan hakikat Gereja bahwa baik imam maupun awam harus terlibat aktif dengan fungsi dan kharisma yang khas karena keduanya memiliki hakikat jati diri yang sama yakni sebagai anggota umat Allah. Itulah sebabnya AsIPA dijadikan sebagai tools untuk membangkitkan kesadaran sekaligus untuk membuat imam dan awam berdaya untuk melaksanakan tugas perutusannya masing-masing. AsIPA inilah yang kita lakukan dengan setia sebagaimana diamanatkan para Bapa Gereja Asia dan menjadi mandat Sinode II Keuskupan pangkalpinang, sebagaimana tercantum dalam Pedoman Pastoral Menjadi Gereja Partisipatif, supaya NATO dan kegagalan 2 kali 10 tahun tidak terulang lagi.

Namun demikian, sebagai sebuah bahtera yang sedang dalam perjalanan menyeberang, sehingga ada badai dan angin sakal yang melanda, apalagi nahkoda yang dipilih oleh Allah telah dipanggil pulang, sementara para pembantunya juga kehilangan arah dan tidak tahu mau buat apa, maka kita perlu menyandarkan diri pada Sang Firman sendiri, seraya menguatkan diri pada Ekaristi-Tubuh dan Darah Tuhan, yang dipersembahkan oleh para imam kita.

Pentingnya menyandarkan diri pada Firman Allah, karena dalam kekuatan firmanlah:

  • Kita bisa mengatasi godaan-godaan yang mendorong kita kembali kepada apatisme (Mt. 4: 3-4)
  • Kita tetap bertumbuh dewasa, matang dalam menyikapi setiap situasi yang kita hadapi (Ibr. 5: 13-14)
  • Iman terus bertumbuh walau penuh tantangan (Rom. 10: 17)
  • Tetap berharap bahwa badai akan berlalu (Rom. 15:4)
  • Selalu mengenal kehendak Allah yang perlu dilakukan dalam hidup, walau mungkin harus mendapatkan kecaman (Rom. 12: 2)
  • Pikiran dan hati terus dimurnikan (Ef. 5: 26)
  • Tak berhenti mendengar Sabda Allah seperti Maria dari Betania.

Pertanyaan Refleksi
Renungkanlah salah satu kisah penderitaan Yesus. Yesus juga ditolak oleh para imam, karenaIa dengan setia mengamalkan tugas perutusan Bapa untuk membangun dunia menjadi Kerajaan Allah, walau tugas mulia ini mendapatkan hambatan yang berakhir tragis di salib.

  • Bagaimana perasaanku ketika harus melayani tetapi ternyata ditolak?
  • Bagaimana perasaanku ketika AsIPA yang menjadi kunci pengembangan visi-misi ternyata tidak dipahami oleh orang-orang yang diberi tanggungjawab?
  • Bagaimana perasaanku ketika aku harus dibatasi untuk mengamalkan karunia-karunia kristianiku sebagai seorang fasilitator, dan bagaimana aku harus menyikapinya dalam kekuatan Sabda Allah?

[1] Sekarang ini ketika umat tanya dan berargumen dengan MGP dan NKGP, karena umat dianimasi baik tentang dokumen Gereja Lokal, pastor tinggal menjawab dengan senjata handal “Saya pastor paroki atau kalian yang pastor paroki”.
[2] Saya tahu hasil angket itu karena saya menginput data itu dan mempublikannya di di Majalah Berkat. Bahkan dalam sidang sinode I, pendapat itu juga muncul dalam debat sinode.

[3] Belanja, WA, diskusi berjam-jam tentang jenis HP, dll.
[4] Paroki Katedral saat mengevaluasi implementasi hasil sinode 99% responden mengatakan tidak. Hal itu berarti 17 tahun pasca sinode I, Pastoral di Katedral berjalan berdasarkan selera pastornya.

[5] Lihat NKGP tentang PIPA Paroki

[6] RD. Hendrawinata mengangkat kisah ini suatu pagi saat sarapan.

[7] Suatu pagi saat berdua, Bapa Uskup berpesan Poya kelola uang baik-baik. Saya cari uang ke Jerman, dari rumah ke rumah ditolak.
[8] Prioritas pastoral ini menjadi bahan permenungan Bapa Uskup beberapa tahun, karena dalam kunjungan Bapa Uskup ke paroki-paroki maupun ke pulau-pulau, Beliau selalu ditanya kita ini katanya keluarga tetapi terserak-serak?

[9] Saya menginput data dari setiap Paroki untuk diekspose ke publik melalui media majalah BERKAT.
[10] Hal itu terjadi karena visi-misi hidup meng-Gereja tidak dianimasi untuk menjadi cara hidup, melainkan dijadikan sekedar iklan di depan altar atau di berita Paroki.

Paulo Freire, seorang Filsuf Brasil mengatakan bahwa pola kepemimpinan ini adalah pola kepemimpinan menindas. Omong lain, buat lain.

[11] Di sebuah Paroki, dalam pembenuman PIPA, justru pastor paroki dan pastor tamu menjelaskan bahwa Sharing Injil adalah fakultatif, dan MGP serta NKGP bukan kebenaran mutlak.
[12] Selalu jargon saya pastor paroki

13 LG. 10
14 LG. 11

15 LG. 12

16 LG. 30
17 LG. 31

18 LG. 33
19 LG. 35
20 LG. 35

21 LG. 37
22 LG. 62

23 The Word Of God In The Life and Mission of The Church, hal. 4
24 Idem, art. 39.
25 Idem, art. 41

26 DV. Art. 21, Ibr. 4: 2; Kis. 20: 32.
27 The Word Of God, art. 51.

 

 

Related Articles

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.