Bacaan 1, Yesaya, 26: 1-6: Bangsa yang benar dan tetap setia biarkanlah masuk; Mazmur, 118: 1.8-9.19-21.25-27a: Diberkatilah dia yang datang dalam nama Tuhan; Bacaan Injil Matius: 7: 21.24-27.
Kita Ini Hanya Debu, Menjadi Manusia Karena Dibentuk Oleh Tuhan, Maka Andalkan Tuhan Bukan Diri Sendiri
Oleh: Bapak Fransiskus Andi Krishatmadi
Selamat pagi saudaraku tercinta, kita masuk pada pekan Adven I, Tahun C/II.
Dalam Bacaan I (Yes. 26:1-6) Yesaya menjelaskan apa yang akan terjadi pada waktu akhir jaman, yaitu orang akan menyanyikan lagu pujian, memuji rancangan Allah yang sungguh ajaib karena Allah menyediakan bagi kita sebuah kota yang kuat, kota yang mempunyai benteng / tembok yang kuat, dan benteng itu adalah Allah sendiri, kota yang terbuka untuk semua manusia yang benar dan setia pada Tuhan (ay. 1-4) Sebaliknya, Tuhan akan menghukum orang jahat dengan mengembalikannya menjadi debu (ay. 5-6; lih Kej 2:7; 3:14).
Dalam Injil (Mat. 7:21.24-27), Yesus mengajarkan, bahwa bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku, ‘Tuhan, Tuhan!’ akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan orang yang melakukan kehendak Bapa di Sorga (ay. 21). Kemudian Yesus menjelaskan maksud-Nya dengan perumpamaan, yaitu orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu (ay. 24). Rumah yang dibangun di atas batu akan bertahan jika ada bencana datang (ay. 25). Artinya dalam menjalani kehidupan di dunia ini, orang harus melakukan kedaulatan Allah (bukan ego sendiri atau kedaulatan diri sendiri).
Bagaimana dengan kita?
Hukuman atas manusia yang jahat di akhir zaman (kembali menjadi debu) mengingatkan kita bahwa sekuat dan sebesar apapun kita (manusia), kita tidak dapat menyangkal jati diri kita yang hanyalah debu, yang sebenarnya tidak berharga; yang menjadi berharga karena dibentuk oleh Tuhan. Maka ketika kita lupa bahwa TUHAN adalah Penguasa, Pencipta, dan bergeser memandang diri sebagai tuan penguasa, maka Pencipta yang sesungguhnya akan mengembalikan kita yang sombong ke jati diri kita yang sejati yaitu kembali menjadi debu yang tidak berarti.
Masalahnya kita mudah sekali dipengaruhi oleh nilai-nilai dunia dalam memaknai jati diri kita. Menurut dunia nilai-nilai manusia diukur dengan: derajat, ketenaran, keberhasilan, dan status. Dan kita sering memaksa diri kita untuk hidup sesuai dengan standar dunia itu. Padahal sebenarnya kita hanya menjadi manusia sejati jika kita hanya bergantung pada Tuhan.
Mari kita tinggalkan kehidupan yang hanya mementingkan fungsional dan peninggian diri sendiri, untuk kembali kepada kehendak Allah yang semula dalam menciptakan diri kita yang sejati, dan dengan teguh percaya kepada-Nya.
Dalam masa Adven ini, Yesus mengajak kita untuk menata hidup beriman kita dengan mendasarkannya pada landasan yang kuat dan berkualitas, yaitu mendengarkan dan melakukan Sabda-Nya. Kualitas iman kita akan menentukan daya tahan kita bila menghadapi hantaman hujan, banjir, dan terpaan badai berupa cemoohan, kekerasan, penindasan, pengania-yaan, diskriminasi, dll.
Di tengah semuanya itu, kita diajak untuk tidak hanya bisa berseru ”Tuhan! Tuhan!” tetapi yang lebih utama ialah menemukan dan melaksanakan kehendak Allah. Ukuran untuk menimbang-nimbang apakah kita melaksanakan kehendak Allah adalah perbuatan kasih. Seperti yang dikatakan pemazmur “Berbahagialah orang … yang kesukaannya ialah Taurat Tuhan, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam. Ia seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil” (Mzm. 1:1-3).
Sekali lagi Yesus mengajak kita mendengarkan dan melakukan Sabda-Nya, artinya kita diajak untuk ”percaya pada Tuhan selama-lamanya, sebab Tuhan Allah adalah gunung batu yang kekal” (Yes. 26:4). Kita ini hanya debu, mejadi manusia karena dibentuk oleh Tuhan, maka mari kita mengandalkan Tuhan bukan diri kita sendiri. Semoga, Tuhan memberkati. Amin!***