Home Episkopal Sharing Pengalaman Pembaharuan Pastoral Misioner di Gereja-Gereja Lokal

Sharing Pengalaman Pembaharuan Pastoral Misioner di Gereja-Gereja Lokal

by admin

(Dari Bahan Kuliah P. Paul Steffen SVD)

Salah satu matakuliah pada Fakultas Misiologi Universitas Pontifical Urbaniana-Roma diberi judul Il rinnovamento della pastorale missionaria nelle Chiese locali atau «Pembaharuan pastoral misioner di Gereja-gereja lokal».

Sasaran utama kuliah ini adalah agar mahasiswa memiliki kemampuan untuk mengembangkan pengetahuan pastoral komparatif melalui pendalaman pemahaman mengenai pembaharuan pastoral misioner dalam konteks sosial-budaya dari gereja-gereja lokal dalam content yang global. Untuk tujuan tersebut, mahasiswa disuguhkan beberapa pembaharuan pastoral misioner dari Gereja di Afrika, di Asia, Amerika Latin, Eropa dan Amerika Utara.

Berikut ini kami coba merekam beberapa pengalaman pembaharuan pastoral yang dirasa mirip dengan keputusan-keputusan pastoral di Keuskupan Pangkapinang pasca Sinode II.

  1. Mulai dari Kristus

Pada Bab IV Pedoman Pastoral Keuskupan Menjadi Gereja Partisipatif (MGP) diungkapkan bahwa Implementasi Identitas «Harus memulai dari Kristus» (MGP, Bab IV, 1). Di sana ditekankan mengenai Peningkatan Sabda Allah melalui pendalaman atau studi Kitab Suci maupun lewat Sharing Injil (Cfr. MGP, n. 233). Sabda Allah dalam Kitab Suci, menjadi salah satu indikator utama sebuah pastoral yang «mulai dari Kristus».

P. Steffen menulis dalam diktatnya: «pembaharuan Pastoral Misioner, harus berangkat dari Sabda Allah, sebab Sabda adalah regola tertinggi dari iman». Konsili Vatikan sendiri menegaskan:

«Kitab-kitab itu bersama dengan Tradisi suci selalu dipandang dan tetap dipandang sebagai norma imannya yang tinggi. Sebab kitab-kitab itu diilhami oleh Allah dan sekali untuk selamanya telah dituliskan, serta tanpa perubahan manapun menyampaikan sabda Allah sendiri, lagi pula mendengarkan suara Roh Kudus dalam sabda para Nabi dan para Rasul. Jadi semua pewartaan dalam Gereja seperti juga agama kristiani sendiri harus dipupuk dan diatur oleh Kitab suci. Sebab dalam kitab-kitab suci Bapa yang ada di sorga penuh cinta kasih menjumpai para putera-Nya dan berwawancara dengan mereka» (Dei Verbum 21).

Menurut P. Steffen, penegasan Dei Verbum ini punya andil besar dalam Pembaharuan Pastoral Misioner, seperti kata Konsili sendiri: «pelayanan sabda, yakni pewartaan pastoral, ketekese dan semua pelajaran kristiani – diantaranya homili liturgis harus sungguh diistimewakan – mendapat bahan yang sehat dan berkembang dari Kitab Suci» (DV 24).

Pentingnya Kerasulan Kitab Suci, justeru lahir dari ketetapan Konsili ini. Kerasulan Kitab Suci itu, menurut P. Steffen, bermaksud tidak hanya untuk menjamin adanya pemahaman yang lebih baik terhadap Kitab Suci melalui liturgi dan katekese, melainkan juga untuk mengembangkan perjumpaan yang langsung dengan Sabda baik secara personal maupun bersama dalam komunitas. (Bdk. MGP, n. 233).

Perjumpaan langsung dengan Sabda baik secara personal maupun komuniter oleh Gereja-gereja lokalpun bertumbuh. Misalnya:

Di Amerika Latin, dikembangkan lectio divina dalam KBG-KBG. Di sana pastoral tidak hanya menjadi kesempatan untuk memperdalam iman, melainkan memberikan kekuatan pembaharuan iman bagi umat beriman dan menumbuhkan dinamika iman yang hidup bagi seluruh komunitas.

Gereja di Afrika dan Asia menerima bantuan yang luar biasa dari Institut Pastoral Lumko yang mengembangkan metode sharing Injil 7 langkah. Pengembangan Sharing Injil ini bermaksud «forgia nei partecipanti la consapevolezza di essere Chiesa e di poter essi stessi prendere in mano la situazione», artinya Sharing Injil bermaksud menempah kesadaran para anggota komunitas bahwa mereka adalah Gereja dan mereka sendiri mampu mengatasi sendiri situasi mereka dalam terang Sabda. Dalam konteks ini Sharing Injil harus ditempatkan. Jika tidak, maka sharing injil tidak membawa pertobatan dan pembaharuan.

Beberapa syarat dan ciri Sharing Injil:

– Sharing Injil dan Pembentukan Komunitas berjalan bersama. Pilihan eklesiologi Konsili Vatikan II mengembangkan Gereja Komunio, kesamaan derajat para kaum berikam (LG 32). Pilihan ini berpengaruh pada metode animasi partisipatif, bukan otoriter.(Questa scelta influirà su un modo di animazione partecipativa, non autoritaria).

– Metodenya sederhana dan tidak menuntut sebuah persiapan atau pendidikan khusus.

– Sharing tidak harus membutuhkan bantuan dari seorang ahli teologi dst.

– «condivisione biblica» atau sharing Injil berupaya menghubungkan hidup orang dengan teks biblis. Para pembaca dapat menemukan sendiri arti hidupnya dalam terang Sabda.

– Model sharing Injil ingin memberi kesempatan kepada orang untuk berjumpa dengan Yesus yang Bangkit dan tidak bermaksud mempertemukan orang untuk berbicara tentang Yesus (non fare degli incontri per parlare «su» Gesù). Atas dasar teologis ini dalam sharing injil kita memahami kata-kata Kita Suci sebagai quasi-sakramental kehadiran Kristus, yang hadir sevara real dalam Ekaristis «nella condivisione biblica noi comprendiamo le parole della S. Scrittura come segno quasi-sacramentale della presenza di Cristo», demikian tulis P. Steffen.

Tempat dan Kualitas Animatris/animatrici (Fasilitator)

Fasilitator haruslah mampu memberi tekanan dan menuntun pelaksanaan pertemuan sesuai dengan tahap atau langkah langkah bible sharing, tidak tergesa-gesa dan tidak kehilangan sasaran dari pertemuan (senza eccessiva fretta e senza dispersioni (ricondurre verso l’obiettivo), dengan cara menentukan kapan satu tahap berakhir dan kapan memulai fase berikutnya. Demikian ungkap P. Steffen. Mungkin kita bisa bandingkan peran fasilitator sebagaimana dinyatakan dalam  Instruksi ke-2 Uskup Pangkalpinang tentang Melangkah Maju Dalam Persudaraan.

Keuntungan dan Resiko Sharing Injil (Pregi e rischi riconosciuti)

Pengalaman Sharing Injil menunjukkan hasil positif yang kaya. Pater Steffen mengutip pengalaman seorang Uskup emeritus:

«Ketika saya sebagai Uskup mengunjungi komunitas-komunitas dan saya selalu bertanya apa yang membuatmu lebih berbahagia dalam kursus (Sharing Injil), saya mendapat dua jawaban: bahwa  “kami sekarang bisa merasa memiliki tanggungjawab bersama dalam komunitas ” dan bahwa “sekarang kami mempunyai Alkitab di tangan”».

Buah yang didaptkan antara lain: kesadaran menjadi anggota Gereja, menghapus jarak antara klerus dan awam, dan membuat Kitab Suci begitu akrab dengan umat.

Akan tetapi metode steven steps bisa juga beresiko. Resikonya adalah orang malah cenderung “berdiskusi” dan rasionalisasi tentang sebuah teks.

Karena itu selain Sharing Injil perlu dikembangkan juga pastoral, yang berhubungan dengan metodologi dan isi atau dengan kata lain perlu dilengkapi dengan studi atau interpretasi Sabda. Untuk,hal ini, P. Steffen mengemukan beberapa petunjuk umum:

  • mendengarkan dan menginterpretasi Sabda mesti dimasukkan dalam konteks global pengalaman kristiani dan gerejani di mana ada juga liturgi, kehidfupan komunitas, karya karya kasih.
  • Dalam bidang katekese, perlu dikembangkan metode yang variatif, yang dapat saling melengkapi dan memperkaya pendekatan terhadap Sabda Allah

2. Tiga Bintang Untuk Pendekatan Pastoral (Sharing dari Keuskupan UMTATA, AFRICA Selatan dari Mons. Oswald Hirmer).

Membaca diktat kuliah yang bercerita tentang pengalaman pendekatan pastoral di Keuskupan Umtata, Afrika Selatan, mengingatkan kita akan Tiga Bintang dari Gereja Partisipatif MGP Bab III dan Cermin Pastoral Bab IV).

Keuskupan Umtata melakukan pendekatan pastoral “Tre Stelle” atau Tiga Bintang, yaitu:

  • Membawa kristus ke Pusat («Portare Cristo nel Centro»)
  • ˜ Membangun Komunitas («Costruire la Comunità»)
  • ˜˜ Melanjutkan Misi Kristus («Continuare la Missione di Cristo»)

Melihat uraiannya, kita teringat akan Pastoral Miror. Coba kita perhatikan penjelasan berikut.

  1. Bintang Pertama: Kristus Pusat Hidup Komunitas : Apa yang bisa kita lakukan untuk menolong kaum beriman mengungkapkan kehadiran kristus dalam kegiatan pastoral kita?

Contoh:

  • Sharing Injil.
  • Silensium dalam liturgi.
  • Sikap doa dalam merayakan sakramen.
  • Sharing iman pribadi.
  • Melalui simbol, musik, lilin dll.

Konsekuensi leadership dalam Gereja

  • Identitas imam dan petugas pastoral ditemukan bukan dalam diri Kristus sebagai Raja, tetapi Kristus yang membasuh kaki.
  • Doa menjadi lebih penting dari aktivitas.
  • Munculnya panggilan.

2. Bintang kedua: Membangun Komunitas : Apa yang bvisa kita lakukan untuk memperkuat tanggungjawab bersama dari seluruh komunitas dalam kegiatan pastoral?

Contoh:

  • Program penyadaran akan tanggungjawab bersama dalam Gereja
  • Menciptakan “struttura” (struktur) tanggungjawab bersama, dari dasar, dengan membangun KBG.
  • Melibatkan KBG mempersiapkan mereka yang mau menerima sakramen dan terlibat dalam perayaan sakramen tersebut
  • Menguatkan, memotivasi dan kepemimpinan yang bergilir.
  • Mengembangkan kepemimpinan dalam komunitas untuk fungsi-fungsi dasar, seperti pelayanan, katekese, kunjungan orang sakit, memberi nasehat dlll

Konsekuensi kepemimpinan dan pemahaman tentang imam

  • Mendengar dan berkonsultasi, siap dikoreksi.
  • Imam bukan mencari pembantu (“aiutanti”) tetapi memandang kaum beriman sebagai kolaborator. Tidak memanggil orang orang untuk membantu tetapi memberikan diri mereka untuk membantu komunitas dalam melaksanakan misi bersama.
  • Arah pastoral adalah melahirkan pertumbuhan pemimpin komunitas melalui pembinaan spiritual, pengetahuan, kemampuan skill dst
  • Sasaran pastoral imam harus berubah dari menyiapkan kepada melatih dan menemani komunitas da para pemimpinnya.

3. Bintang Ketiga: Menerukan misi Kristus : Seluruh aktivitas pastoral merupakan bentuk ambil bagian dalam misi Kristus karena itu keberhasilannya dijamin dari yang ilahi

Contoh:

  • Menolong kaum beriman untuk mengerti dan menerima sasaran final dari misi Kristus – Kerajaan Allah dengan segala dimensi personal, sosial budaya, ekonomi politik (Escatologia)
  • Salib dan kesalapahaman merupakan bagian dari “Misi Kristus”.

Konsekuensi kepemimpinan dalam Gereja

  • leaders harus mengikuti “proyek pastoral” Tuhan.
  • Uskup dan Imam harus menolong umat Allah membaca tanda tanda zaman.

Demikian sedikit sharing pengalam kuliah rekan rekan imam di Fakultas Misiologi. Ketika mengetahui hal ini kita bisa merasa bangga bahwa kita apa yang kita rencanakan dan apa yang kita upayakan dalam karya pastoral di Keuskupan Pangkalpinang juga disharingkan sebagai materi studi calon-calon misiolog Gereja. Sudah hampir 4 tahun Sinode berakhir, tetapi kita belum terlambat karena para calon misiolog juga sedang belajar hahahahaha. Salam…(RD. Bernard Beni Balun, Roma)

Related Articles

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.