Oleh RD. Hans K. Jeharut*
Kabar duka itu datang dari negeri di seberang laut, Ruang ICU Mount Alvernia Hospital, Singapore. Jumat 29 April 2016, pukul 13.15 WIB (14.15 Waktu Singapore), “Bapa Uskup telah meninggalkan kita”. Pesan itu tiba di tengah suasana yang kalut setelah sebelumnya sudah beredar kabar melalui media sosial bahwa Bapa Uskup Mgr. Hilarius Moa Nurak, SVD sudah meninggal. Berita yang menyebar dengan cepat dan dengan segera pula disebarkan ke berbagai pihak. Padahal ketika itu Bapa Uskup sedang ‘on dying’, sebuah proses melewati titian tipis batas antara kehidupan dan kematian, batas yang seperti titian serambut dibelah tujuh. Mgr. Hilarius meninggal setelah mengalami koma selama kurang lebih sepuluh hari.
Ada banyak hal yang dikenang dari seorang tokoh yang meninggal, apalagi ketika itu adalah tokoh spiritual sekaliber uskup. Namun ketokohan yang disematkan pada beliau dalam banyak hal memunculkan paradoks. Paradoks yang kontradiksinya semakin menguat manakala ditempatkan dalam konteks kekinian berkaitan dengan kepemimpinan dan relasi-relasi yang terjalin di dalamnya. Post factum kita kemudian menemukan butir-butir mutiara yang bisa menjadi pelajaran berharga.
Uskup ‘Sang Gembala’
Umat Katolik menyapa para pemimpin rohani tertahbisnya dengan sebutan ‘pastor’, kata Latin yang berarti gembala. Secara hirarkis seorang uskup adalah Gembala Utama. Gembala – analogi yang diambil dari relasi yang lazim dalam kehidupan budaya petani-peternak – menggambarkan relasi yang khas, pun ketika itu ditempatkan dalam konteks kepemimpinan dan kekuasaan. Seorang gembala adalah seorang pemimpin. Sebagai pemimpin gembala harus memenuhi beberapa karakter khas yang secara “conditio sine qua non’ wajib ada.
Pertama, mengenal kawanannya. Pengenalan dalam pengertian biblis alkitabiah tidak hanya berkaitan dengan kemamuan memori untuk mengingat seseorang atau peristiwa dan kemudian merekamnya dalam kesadaran untuk sesewaktu muncul kembali ketika dibutuhkan. Mengenal artinya mengetahui dengan baik seluruh aspek, terikat secara emosional dalam relasi yang akrab dan tahu apa yang dibutuhkan dengan segala cita rasa dari kawanan yang dipimpin. Mengenal adalal kualitas yang wajib dimiliki seorang gembala. Mgr. Hilarius dalam konteks sebagai pemimpin tertinggi umat Katolik di wilayah keuskupan Pangkalpinang (meliputi wilayah administratif pemerintahan yang mencakup propinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Propinsi Kepulauan Riau) menunjukkan secara sangat baik – par exelence – pengenalan ini. Proses pengenalan yang dimulai secara sangat harafiah dan sederhana : mempelajari peta wilayah Bangka, Belitung dan Kepulauan Riau segera setelah beliau diumumkan secara resmi menjadi Uskup Keuskupan Pangkalpinang pada 2 Mei 1987 oleh Sri Paus Yohanes Paulus II. 2 Mei yang kemudian menjadi sejarah, karena dua puluh Sembilan tahun kemudian, 2 Mei 2016 raga Mgr. Hilarius dimakamkan di tanah Bangka, tempat yang selama hampir dua puluh sembilan tahun dilayaninya. Pengenalan itu secara kualitatif meningkat seiring kedatangannya ke Pangkalpinang dan interaksi intensif dengat umat, masyarakat umum, maupun dengan alam geografis keuskupan Pangkalpinang. Mgr. Hilarius mengenal kawanannya. Beliau menyelami, mendengar, menyerap kisah mereka untuk kemudian bersama-sama mereka merefleksikan dan mencari jawab dalam terang iman berbagai problem kehidupan. Beliau menyebut itu “Gereja Partisipatif”, gereja yang memberi ruang untuk semua anggota kawanannya ambil bagian dalam kehidupan menggereja dan menyumbang hal-hal baik demi mutu hidup bersama baik secara jasmani, maupun mutu hidup rohani. Keberanian untuk melibatkan orang untuk ambil bagian dalam kepemimpinan hanya mungkin jika Sang Pemimpin mengenal orang-orang yang dipimpinnya dan percaya bahwa mereka punya potensi yang bisa disumbangkan untuk kehidupan bersama. Di sini wajah kepemimpinan tidak lagi melulu soal siapa paling tinggi dan berkuasa, tetapi kepemimpinan adalah gerak bersama menuju kesejahteraan dan kebaikan bersama, pro bonum commmunae.
Kedua, tahu arah yang tepat untuk mengarahkan kawanannya. Kualitas ini menuntut kemampuan direktif seorang pemimpin. Kemampuan direktif yang menuntut seorang tidak saja duduk dibelakang meja direktur dan dari belakang mejanya ia menyampaikan perintah-perintah untuk dilaksanakan, melainkan pemimpin yang terlibat dalam kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan kawanan gembalaannya. Analogi pemazmur tentang seorang gembala yang menuntun kawanan dombanya ke padang rumput yang hijau dan membimbing domba-domba ke sumber air secara sangat indah mendeskripsikan pemimpin umat (gembala) seperti apa yang dibutuhkan. Dalam berbagai kesempatan Mgr. Hilarius mengungkapkan petuah dengan membandingan analogi ini. Sebagai uskup saya harus tahu di mana ada padang rumput hijau yang baik. Saya juga harus tahu di mana ada sumber air yang baik. Hanya dengan demikian saya bisa mengarahkan umat (kawanan) supaya mereka menikmati ‘rumput’ yang baik dan minum dari sumber air yang baik, demikian kata beliau pada satu ketika di hadapan imam-imam Keuskupan Pangkalpinang. Kualitas ini juga secara sangat menonjol kita temukan dalam diri gembala bersahaja ini. Kunjungan-kunjungan kegembalaan beliau sebagai Pemimpin Gereja tidak pernah dihabiskan untuk seremonial basa basi yang kemudian dipublikasikan untuk mendapat puja puji dan pengakuan. Beliau datang menyapa. Mendengar kisah. Berpikir untuk mencari jalan keluar. Kebijakan-kebijakan yang lahir kemudian adalah jawaban setelah refleksi mendalam apa persis yang dialami umat dan tanggapan pastoral seperti apa yang ditawarkan kepada mereka.
Ketiga, mampu menjaga kawanannya. Seorang gembala adalah seorang ‘guardian’. Ia mesti menjaga kawanannya dan memastikan bahwa mereka aman dalam penjagaannya. Kualitas ini bukan saja perlu untuk menciptakan rasa aman, tetapi terutama dibutuhkan untuk memberi jaminan bahwa kawanan yang dipimpinnya terlindung dari serangan-serangan dari luar. Sistem proteksi yang dibangun seorang gembala tentu tidaklah sama dengan prajurit tentara yang menjaga dengan kekuatan senjata. Proteksi utama adalah ‘rasa aman’ : rasa yang membuat orang merasa damai dan tidak takut menghadapi badai kehidupan yang tidak pasti ini. Mgr. Hilarius – yang juga dijuluki Uskup Samudra, Bishop of the Sea – dalam kunjungan-kunjungannya ke umat, apalagi yang tinggal di pulau-pulau di wilayah Laut Cina Selatan yang ganas pernah merasakan hantaman gelombang dahsyat yang membahayakan kapalnya dan hampir merenggut nyawa. Namun beliau selamat. Ia menghadapi badai. Ia menenangkan orang-orang yang ada bersamanya. Ia membawa rasa aman. Dalam situasi kaotik karena badai persoalan yang tiba-tiba muncul, seorang gembala, seorang pemimpin, harus bisa memberi rasa aman. Mgr. Hilarius memiliki kualifikasi itu.
Uskup Pembangun Jembatan
Seorang pemimpin spiritual adalah ‘pembangun jembatan’ (pontifex) : seorang yang mejembatani hidup surga akhirat dan hidup dunia saat ini. Namun pembangun jembatan sejatinya mengingatkan tugas panggilan dan tanggung jawab seorang pemimpin, apalagi pemimpin spiritual, sebagai orang yang mesti bisa menghubungkan bermacam-macam orang apa pun latar belakang suku, bahasa, agama, afiliasi politik, ideologinya. Di tengah semangat jaman yang lebih mudah mendirikan tembok pembatas, orang diundang untuk merobohkannya untuk lalu membangun jembatan penghubung. Adegan – adegan dalam foto yang tersebar di berbagai media cetak maupun online, yang direkam secara pribadi dan dibagi kepada sesama pengguna media soial menunjukkan betapa Mgr. Hilarius adalah seorang “Pembangun Jembatan”. Yang hadir dan menunjukkan duka mendalam bukan hanya umat Katolik. Berbagai kelompok hadir, secara pribdi, sebagai kelompok, atas nama organisasi baik organisasi keagaamaan maupun kemasyarakan, tidak saja menunjukkan betapa luasnya spektrum pergaulan Mgr. Hilarius. Kereta jenasahnya ditarik oleh saudara-saudara bukan Katolik. Peti jenasahnya tidak saja diusung oleh keluarga dan pastor-pastornya, tetapi juga diusung oleh anak-anak muda Banser Nahdatul Ulama dan Gerakan Pemuda Anshor Bangka Belitung. Mgr. Hilarius bersahabat dengan banyak orang. Ia mencintai mereka dengan tulus. Cinta yang tulus adalah bahasa hati. Bahasa yang lahir dari kebeningan budi. Di sini wajah agama – yang direpresentasikan oleh pemimpin-pemimpinnya – menunjukkan wajah yang teduh. Jauh dari kekerasan yang mematikan. Karena yang dibangun bukan tembok pemisah, tapi jembatan penghubung.
Selamat jalan Bapa Uskup. Selamat pulang ke rumah abadimu. Berdoalah untuk kami seperti selalu engkau ingatkan“EGO AUTEM ROGAVI PRO TE” : aku telah berdoa untuk engkau. Berdoalah untuk kami semua.
*Pastor Keuskupan Pangkalpinang, Bertugas di Paroki St. Fransiskus Xaverius, Koba – Bangka Tengah
Tulisan ini telah dipublikasikan di Harian “Bangka Pos”, Rabu, 4 Mei 2016 hlm. 7