Jumat, 29 April 2016, uskup Hila wafat di Singapura. Sebuah kabar yang sudah sempat beredar saat ia jauh sakit (koma) sepuluh hari sebelumnya. Sebuah kabar yang dengan cepat beredar. Media online begitu banyak yang kabarkan. Media cetak nasional seperti Kompas pun mengabarkan hal itu. Seorang gembala, tokoh pemersatu yang ditandai dengan semangat penuh rendah hati wafat.
Apa sebenarnya yang saya kenang dari putera Maumere kelahiran Weetebula 21 Februari 1943 ini? Sesungguhnya tidak banyak. Kebanyakan saya mengenal sang gembala via kesaksian orang lain. Kontak langsung hanya sedikit. Saya mengidentikkan diri sebagai muridnya meskipun ia hanya jadi guru sehari. Tetapi dari aneka pengalaman yang direkam, saya berani menuliskan hal ini.
Guru Sehari
Kontak saya dengan ‘Pater Hila’, terjadi pertama kali waktu masuk Seminari Hokeng Juli 1984. Sebelumnya memang saya pernah dengar atau ninimal melihat fotonya. Kalau tidak salah foto dengan siswaa binaannya yang tamat 1984. Ia mengenakan seragam kaos oblong warna biru bersama anak didiknya. Di punggung baju itu tertulis: ‘Cintaku Tertuju kepada Korbanku”.
Di Seminari Hokeng, kami tahu bahwa Pater Hila adalah prefek. Tetapi itu hanya bertahan sebentar, sebulan saja. Bahkan Pater Hila hanya sempat mengajarkan kami 1 kali. Pelajaran saat itu Pengantar Kitab Suci. Itulah kelas pertama bersama pater Hila, dan ternyata juga kelas terakhir. Sesudahnya, Pater Hila pindah ke Mataloko menjadi Rektor Seminari Mataloko.
Apa yang terkesan dari kelas pertama ini? Suaranya sangat akrab, dan berbicara dengan logat nagi kental. “He no e, kmamu…”. Sebagai orang kampung, mendengar suara itu saya kira Pater Hila orang Larantuka. Ternyata dia orang Maumere, yang karena orang tuanya guru di Sumba, Weetebula, di sana ia lahir.
Kesan pertama itu sangat mendalam. Saya ingat, waktu itu ada dua teman yang badannya sangat kecil: salah satunya Adu da Silva dan Caesar Goran Tokan. Karena sangat kecil, ia dengan cepat dikenal namanya oleh Pater Hila: Caresar dan Adu da Silva. Si hari pertama itu, ia langsung panggil dua teman yang paling kecil itu dengan namanya masing-masing.
Panggilan akrab itu pasti sangat membekas. Meski hanya satu pelajaran dan kemudian kami dengan ia pindah, tetapi sapaan itu cukup kuat. Saya tidak tahu mengapa, saat tamat, Adu da Silva memilih jadi frater di Keuskupan Pangkal Pinang. Saya yakin, itu terjadi karena ketertarikan pada hari itu, atas panggilan meski hanya sehari saja.
Kenangan hanya sekali itu memang sangat berkesan. Melalui kakak kelas yang punya pengalaman yang lebih jauh, banyak kami rekam jiwa kebapakan yang dimiliki Pater Hila. Ia sangat lembut dan rendah hati. Jarang sekali marah. Kalau pun marah, ia selalu mengharapkan agar apa yang disampaikan itu dipahami.
Pengalaman itu pula telah menarik tidak sedikit tamatan seminari Hokeng untuk melamar jadi imam di sana. Bahkan setelah beberapa saat, ada muridnya dulu di Hokeng yang sudah masuk kongregasi tertentu, oleh pertimbangan lain dia menarik diri dan kemudian melamar untuk jadi imam Keuskupan Pangkal Pinang.
Ada yang bahkan telah menjadi imam di kongregasi. Setelah melanglang buana, akhirnya juga berpindah menjadi imam projo Keuskupan Pangkal Pinang. Ini sekedar ungkapan, betapa dekatanya ‘Monsenyor’ Hila saat menjadi guru dan prefek.
Para siswa yang berbicara dalam ‘ratio’, tidak terkesan diadili. Ia membimbing dengan penuh kesabaran, kelembuhan. Pada Hila ada integrasi antara kewanitaan hal mana sangat didampakan para seminaris di tengah persaingan yang begitu ketat.
Sumber Berita
Perjumpaan dengan Pater Hila terlampau singkat. Tetapi rasa kehilangan itu segera dipenuhi dengan aneka informasi lain yang membuat saya tercengang. Kepergian dari Hokeng ternyata menjadi sebuah langkah yang drastis karena di sana Pater Hila akan jadi rektor Seminari Hokeng.
Sebuah pengangkatan yang bisa saja terlihat terlambat. Baru setelah 12 tahun menjadi imam (tepatnya 2 Agustus 1972), ia jadi pemimpin di lembaga. Apalagi ia sudah menyelesaikan studi pendidikan di Roma (1974-1976). Artinya, dari segi kepribadian dan dukungan pendidikan, mestinya ia sudah jadi ‘orang besar’ lebih cepat.
Tetapi itu bukan karakter Hila. Ia pasti memilih jadi ‘orang kecil’, dan ‘bersembunyi’ di lembah nan sunyi Hokeng. Ia pilih jadi guru karena di sana punya kontak secara pribadi dengan siswanya. Ia membentuk mereka dari awal. Tak heran, seluruh karya hidupnya sebagai imam dilewati di Hokeng. Ia tahu, sekali menerima tugas, ia pasti tidak akan lagi mengalami kesunyian yang membahagiakan.
Dari sana, ia bisa berdoa untukmu, sebuah sapan penuh kekentalan pengenalan akan pribadi. Moto ini pula yang kemudian terpilih karena membahasakan secara tepat kerinduannya untuk berdua untuk masing-masing orang secara pribadi yang ia kenal “Ego Autem Rogavi Pro Te” (Aku telah berdoa untukmu).
Tetapi Hila tidak bisa terus bersembunyi. Menjadi Rektor Seminari Mataloko menjadi awal dari serangkaian kepercayaan yang membuatnya jadi ‘sumberberita’. Hal itu terjadi. Baru setahun pindah dari Seminari Hokeng, saat menjadi Rektor Seminari Mataloko, tepatnya pada akhir tahun 1985, ia sudah masuk orbit untuk menjadi uskup. Saat itu, Keuskupan Weetebula Sumba lagi vacant alias kosong.
Saat itu dua putera Maumere menjadi kandidat, Pater Cherubim Parera, SVD dan P. Hilarius Moa Nurak, SVD. Pilihan itu tentu saja berat: Keduanya sama-sama dari Maumere, pernah belajar di Roma. Untuk Pater Hila, kelihatan kembali ke Sumba adalah kembali ke tempat lahirnya. Tetapi akhirnya pilihan jauh kepada seniornya Kali Pater Cherubim Parera, yang jauh lebih mengenal Sumba karena saat itu jadi Provinsial SVD Ruteng dan ditahbiskan Uskup pada 25 April 1986. Tetapi dengan cepat orang sadar, giliran Pater Hila tidak akan lama lagi. Setahun kemudian, ketika umat Pangkal Pinang mencari uskupnya, tidak ada keraguan lagi untuk meminta kesediaan Pater Hila. Vatikan masih menyimpan data bahwa dalam pemilihan uskup Weetebula, dua kandidat sama kuat dihadirkan. Yang satu sudah jadi uskup, yang keduanya tinggal tunggu waktu yang tepat.
Tetapi mengapa Pangkal Pinang? Di sana SVD belum bekerja? Dari banyak alasan, di Pangkal Pinang terdapat begitu banyak orang asal Flores terutama Maumere dan Flores Timur. Figur Pater Hila dirasa sangat tepat untuk mengisi posisi ini. Singkatnya, ia memiliki semua kriteria untuk bisa berkarya di Pangkal Pinang.
Tentang pengangkatan sebagai uskup, masih ada berita yang bisa saja tidak tersibak. Uskup Hila adalah uskup terahir SVD. Serikat Sabda Allah, sejak 30 tahun lalu sudah sepakat bahwa tuags sebagai kongregasi adalah menyiapkan Gereja Lokal. Ketika Gereja lokal sudah mandiri, maka semua kepercayaan diserahkan kepada Gereja Lokal termasuk pemimpinnya yakni Uskup.
Ini sebuah gebrakan yang termasuk berani. Tahun 80an hingga 2000, Gereja Nusa Tenggara dipenuhi dengan uskup dari kongregasi SVD. Dari Keuskupan Denpasar, Weetebula, Kupang, Atambua, Larantuka, Ende, dan Ruteng, semuanya adalah uskup yang berasal dari SVD.
Setelahnya kebijakan berubah, khusus Gereja Katolik Indonesia. Bila di daerah lain di dunia, uskup SVD masih bisa diangkat jadi uskup, maka SVD Indonesia punya komitmen lain.
Kembara Pangkal Pinang
Berita pengangkatan Pater Hila jadi uskup dengan cepat tersebar. Hokeng begitu menyatu dengan Pater Hila, dan Pater Hila pun menganggap Hokeng pada khususnya dan Keuskupan Larantuka pada umumnya adalah ‘rumahnya’.
Hal itu benar adanya. Saat terpilih dan hendak ditahbiskan menjadi uskup, yang dipilih jadi uskup penahbis adalah Mgr Darius Nggawa SVD. Pater Hila merasa, Uskup Darius adalah seperti ayahnya sendiri. Seluruh hidup dan karya pastoralnya dilewati di Larantuka. Jadinya, 2 Agustus 1987, Uskup Hila ditahbiskan di Pangkal Pinang.
Perayaan di Hokeng tidak saja meriah tetapi penuh keakraban. Semua orang yang mengenal Pater Hila, terutama karyawan, keluarga, para suster, para pastor, begitu akrab menyambut sang yubilaris.
Untuk siswa seminari, meski tidak mengenal secara pribadi uskup (hanya angkatan kami yang juga hanya diberi pelajaran sekali), tetapi mempersiapkan acara dengan sangat khikmad. Setiap kelas menyiapkan acaranya. Siswa KPA membawakan lagu dalam ritme dolo-dolo “2 Agustus, tanggal bersejarah. Monsenyur Hila diutus, jadi gembala umat Pangkal Pinang. Mari kita bersukaria……………dan selanjutnya”.
Untuk angkatan kami yang berada di tahun terakhir, membawakan sebuah lagu. Sayang, saya sudah lupa judul lagu itu. Tetapi yang menarik (bagi saya secara pribadi), di antara lagu itu saya diminta membuat satu puisi atau lebih tepat sebuah sajak: KEMBARA PANGKAL PINANG.
Sajak itu pun saya sudah lupa isi seluruhnya. Yang masih teringat, sebuah sajak yang berisi doa dari seorang ibu. Dari pusaranya ia bersenandung gembira meski dalam suasana duka, memohon agar anaknya yang dirantau dapat dimbingan dan arahan dari sang uskup.
Juga puisi mengingatkan kembara sang uskup tidak saja untuk umatnya di Panngkal Pinang tetapi juga untuk ribuan wajah, pengungsi asal Vietnam.
Mereka adalah orang Katolik dari Vietnam yang terpaksa keluar dari negaranya akibat perang saudara 1975. Vietnam Utara yang dikuasai oleh partai komunis, menang dalam perang melawan AS yang saat itu berkuasa di bagian Selatan. Di sana kisah tragis bermula.
Bekas daerah jajahan Perancis itu lalu masuk dalam perang tak berujung yang nota bene awalnya dilakukan oleh para biarawan-biarawati: pastor, bruder, suster dan umat awam. Mereka akhirnya melanglangsang buana dan cukup banyak orang atas izin pemerintah Indonesia diungsikan sementara di Galang, 50 km dari Batam. Kelompok terakhir yang dipulangkan pada tahun 1996, meskipun yang lain karena trauma atas derita, memilih bunuh diri daripada kembali mengalami duka lara seperti sebelumnya.
Puisi itu tidak tahu cukup menyentuh. Setelah selesai sacara, ada beberapa orang, termasuk suster meminta salinan puisi. Saya merasa senang karena ‘seumur-umur’, belum pernah membuat puisi yang diminati. Kali ini, berkat Uskup Pangkal Pinang, saya buat puisi dan diminta.
Setelah tahbisan, sebagai ucapan syukur, sang yubilaris ‘pulang kampung’. Hokeng tentu jadi rumahnya. Persiapan perayaan begitu meriah. Yang jadi dasar bagi siswa seminari adalah kisah tentang Pater Hila, karena memang yang hadir saat itu tidak punya pengalaman khusus dengan Pater Hila, kecuali angkatan kami yang juga hanya mendapatkan pelajaran satu kali saja dari Pater Hila.
Tetapi pertemuan itu cukup berkesan. Tidak sedikit yang saat itu mengenal untuk pertama kali, karena saat masuk ke seminari, sang uskup sudah pindah ke Mataloko. Tetapi pertemuan itu sangat berkesan. Ada beberapa teman, yang sempat saya ingat, Lusius Poya (Kini Rm Lusius Poya Pr, Vikjen Keuskupan Pangkal Pinang) dan Niko Duli (kini Rm Niko Duli, Pr) menjadi imam projo di Pangkal Pinang), yang saat itu berada di tingkat akhir Kelas Persiapan Atas (KPK) memutuskan untuk menjadi imam di Keuskupan Pangkal Pinang.
Mereka sangat terkesan dengan kesederhanaan, kebapakan, dan persaudaraan yang ditampilkan oleh Uskup Hila. Tidak hanya itu. Bukti bahwa kesederhanaan dan kedekatan itu begitu kuat oleh mantan siswanya, maka tidak sedikitnya yang akhirnya memilih jadi imam projo bahkan setelah ditahbiskan menjadi imam di kongregasi tertentu. Atau ada yang setelah gagal, tidak sempat jadi imam di kongregasi atau keuskupan tertentu, lalu diterima jadi imam keuskupan Pangkal Pinang.
Selamat Jalan
Wafanya Monsenyor Hila benar-benar sebuah kembara mengelilingi keuskupannya. Dari Singapura, sang gembala harus mewlati Batam.
Di sana ia ingin bertemu dengan ribuan warga Flores yang ‘melarat’ di Batam. Di sana mereka mengadu nasib, bukan saja sekarang, tetapi saat Singapura belum apa-apa. Di Batam juga, sang uskup menjadi gembala bagi para pengungsi yang harus meninggalkan negerinya karena perang saudara yang tak berkesudahan.
Dari Batam, sang Uskup kembali ke kampung. Di sana, ia menyatu menjadi bagian dari warga Pangkal Pinang. Umat mengantarnya dengan penuh haru, tidak saja orang dewasa tetapi anak-anak. Mereka semua mengucapkan selamat jalan untuk SANG PENGEMBARA PANGKAL PINANG
Robert Bala (Murid ‘sehari’ Uskup Hila 1984).
source : https://bertoamigo.wordpress.com