Profesor Paul Steffen, SVD
Asian Integral Pastoral Approach – Cara Baru Hidup Menggereja di Asia
Sebuah Model Kontekstual dan Konkret dalam Evangelisasi Misi Gereja
Gereja selalu berusaha untuk memberikan jawaban yang sesuai dengan tantangan zaman, dengan beradaptasi dengan mentalitas orang-orang dan budaya mereka dan khususnya situasi konkret orang dalam memenuhi tugas dasar nya, yaitu, mengabarkan Kabar Baik untuk semua umat manusia. Untuk mencapai tujuan ini Gereja telah terus-menerus untuk menganalisis metode pastoral dan pelayanannya. Apakah Gereja masih menggunakan cara yang tepat dan efektif untuk mencapai tujuannya? Apakah bahasa nya masih mampu melanjutkan tugas mendasar nya yaitu evangelisasi? Apakah Gereja masih menangani manusia dan masyarakat pada waktu tertentu dengan tepat? Dunia yang berubah cepat selalu menuntut pendekatan terkini untuk menjangkau orang-orang dalam konteks perubahan dan situasi mereka. Inilah apa yang para Bapa Konsili pikiran. Oleh karena itu, setengah abad kemudian visi pastoral mereka masih menjadi orientasi yang valid untuk waktu kita saat ini.
Dokumen Konsili Vatikan II telah membantu Gereja untuk membuka diri dengan dunia yang berubah dan untuk menjangkau dan melayani aspek kemanusiaan. Dengan percaya pada Roh Konsili, Gereja mampu menemukan kembali dan memperbaharui misinya dalam penginjilan di dunia saat ini. [1]
Situasi aktual menuntut untuk memikirkan kembali misi dari Gereja untuk menentukan prioritas Gereja dalam proyek pastoral yang baru. Bagaimana seseorang mendefinisikan misi Gereja di dunia saat ini dengan tepat? Bagaimana dan di mana seseorang menempatkan berbagai tindakan dan kegiatan Gereja untuk memberikan gambaran holistik dari misi Gereja? Apa rencana pastoral yang harus Gereja asumsikan untuk mengatasi krisis kredibilitas saat ini dan berbuah dalam misinya penginjilannya?
Saya akan mempresentasikan beberapa gerakan pastoral di berbagai belahan dunia dan lebih khusus pengembangan pembaharuan pastoral di Gereja Asia. Tulisan ini tidak bermaksud untuk menjadi rujukan yang lengkap, namun berfokus pada dinamika misionaris dari program-program pembaharuan di Gereja Lokal Asia.
Misi yang berorientasi teologi pastoral harus mencoba untuk menjawab dua kebutuhan mendasar saat ini:
- Bagaimana menerjemahkan visi Konsili Vatikan II ke dalam gaya hidup dan tindakan ?
- Bagaimana kita bisa mengevangelisasi orang-orang Kristen dan lingkungannya, dan dievangelisasi pada saat yang sama ?
Saya setuju bahwa Konsili Vatikan II secara sah berkarakter ekumenis dan pastoral. Gereja dibangun tidak hanya melibatkan peserta dari seluruh dunia tetapi dapat berbicara kepada perwakilan Gereja-gereja lokal dari seluruh dunia yang kaya akan pengalaman, disambut dalam konsili sebagaimana tercatat dalam dokumen resmi Gereja.
Gereja telah menemukan sebuah pemahaman diri yang baru yang memungkinkannya untuk membangun hubungan baru dengan dunia, budaya dan berbagai tradisi manusia. “Komunio” baru [eklesiologi Vatikan II] telah banyak melahirkan buah dalam dekade terakhir dan membantu Gereja untuk memperbaharui misinya dan menyatakan dirimya kepada dunia. Sebuah pemahaman baru tentang teologi pastoral dan pelayanan pastoral dalam Gereja telah membuka pintu ke era baru misi. Karya misi Gereja tidak lagi dianggap sebagai salah satu aset dari antara yang lain, tetapi sebagai pusat aktivitas Gereja.
Pada hakekatnya Gereja peziarah bersifat misioner, sebab berasal dari perutusan Putera dan perutusan Roh Kudus menurut rencana Allah Bapa (Ad Gentes, n. 2, [Walter M. Abbott, SJ]).
Perkembangan misiologi dan teologi pastoral setelah Konsili menunjukkan bahwa kita tidak bisa lagi memiliki Pastoral Theology (Practical Theology) di satu sisi dan misiologi dan praktek misioner di sisi lain, karena keduanya adalah disiplin yang hampir independen. Konsep pra-Vatikan memisahkan pelayanan pastoral dari karya misioner sebagai dua realitas independen, yang pertama dilakukan di negara-negara Kristen dan yang kedua di negara-negara non-Kristen.
Eklesiologi yang baru memungkinkan kita untuk melihat kesamaan dari satu misi Gereja dengan dimensi yang berbeda karena dilakukan dalam situasi yang berbeda. Karunia besar Konsili terutama pemahaman baru dari pelayanan pastoral dengan perspektif misioner yang berakar dalam Sakramen Pembaptisan dan Penguatan semua orang Kristen. Oleh karena itu Konsili memulai proses untuk mengatasi dikotomi antara klerus dan awam dengan memberikan lebih penting untuk Gereja lokal ketika Konsili berbicara tentang umat Allah sebagai bait Roh Kudus. Proses itu membuka jalan untuk mengenali komunitas Kristen sebagai subyek pelayanan pastoral. Gereja lokal menyadari tanggung jawabnya untuk semua karya misioner Gereja.
Misi tidak lagi dipahami sebagai pekerjaan yang dilakukan secara eksklusif dari luar negeri, tetapi sebagai tugas Gereja di semua benua, di antara semua bangsa dan orang-orang dari berbagai latar belakang sosial. Secara simultan penerimaan tantangan misioner memperlebar pemahaman dan spektrum apa itu pelayanan pastoral. Gerakan eklesiologis ini membuka jalan bagi pemahaman yang lebih holistik panggilan Gereja dalam misi yang Gereja terima dari Pendirinya, Yesus Kristus. Karya misioner dan pelayanan pastoral adalah dua aspek dari satu misi Gereja. Pelayanan pastoral dipanggil untuk menyadari dan menghidupi dimensi misionernya.
Paus Paulus VI dan Yohanes Paulus II mengajarkan kita pentingnya misi evangelisasi Gereja Ad intra untuk anggota Gereja dan Ad extra untuk seluruh umat manusia di luar Gereja.
Kontribusi luar biasa pastoral (praktis) teologi telah terjadi dalam beberapa dekade terakhir luar biasa. Dimanapun pastoral teologi dilakukan, baik dalam fakultas teologi di universitas-universitas, seminari, dan institut pastoral atau di pusat keuskupan, hal itu dilakukan untuk membantu Gereja untuk melakukan misi penyelamatannya kepada manusia dengan cara yang paling efisien saat ini. Hanya jika Gereja menjangkau orang-orang marginal dalam masyarakat Gereja dapat memenuhi misi yang telah diberikan Tuhan padanya.
Disinilah bahwa kita melihat dampak yang kuat dari pusat pastoral dan lembaga-lembaga, memberikan dampak yang menguntungkan, menjadi lebih dekat dengan realitas pastoral dan karena itu lebih tahu tantangan nyata untuk misi Gereja di tempat-tempat di mana orang Kristen hidup dan bertindak sebagai anggota dari komunitas Kristen masing-masing. Teologi pastoral dikembangkan yang belum pernah ada sebelum periode pasca-Vatikan II. Pekerja pastoral akan mendapatkan manfaat dari refleksi tersebut dalam pelayanannya Injilnya kepada orang-orang dalam konteks sosio-budaya tertentu [2], melalui kontak berkelanjutan dengan penelitian pastoral-teologis.
Dua lembaga pastoral luar biasa: AMECEA Gaba Pastoral Institute, di Eldoret, Kenya, dan Lumko Pastoral Institute dari Konferensi Uskup Afrika Selatan [3], merepresentasikan dua tempat yang dikontekstualisasikan dan terinkulturasi dalam formasi pelayanan yang telah mengilhami Gereja-gereja lokal di seluruh dunia. Disebut pendekatan Lumko dikembangkan oleh Mgr. Fritz Lobinger dan Mgr. Oswald Hirmer dengan seluruh staf Lumko. Dari tahun 1986 Pastor Anselm Prior, OFM, dan dari tahun 2001 Pastor Gabriel Afagbegee, SVD, menjabat sebagai direktur Lumko dalam rangka untuk mempromosikan pendekatan Lumko.
Federasi Konferensi Waligereja Asia (FABC)
Konsili Vatikan II (1962-1965) untuk pertama kalinya memberi para Uskup Asia kesempatan untuk mengenal satu sama lain di luar batas-batas negara dan budaya. Pada tahun 1970 para Uskup Asia bertemu untuk pertama kalinya di tanah Asia.
Benih-benih FABC muncul pada bulan November 1970 ketika Paus Paulus VI bertemu dengan 180 Uskup Asia di Manila. Ia berinisiatif meminta 11 uskup untuk bertemu di tahun berikutnya di Hongkong, untuk mulai menyusun struktur yang akan menghubungkan semua Uskup Katolik di Asia. [4]
Paus Paulus VI berpidato dalam siaran, di Radio Veritas di Manila, untuk “semua orang dari Asia”, “yang berintensi terutama pastoral dan melampaui batas-batas Gereja” [5]. Tahta Suci menyetujui status experimentum FABC pada tahun 1972. Bagi Thomas Fox, pertemuan di Manila ini menunjukkan kedewasaan baru dalam pemikiran para pemimpin Gereja Asia. Bagi teolog India Felix Wilfred pertemuan itu “menandai awal dari sebuah kesadaran baru dari banyak relasi tradisional yang menyatukan berbagai bangsa” dari Asia yang, meskipun banyak perbedaan, terikat bersama “oleh afinitas spiritual dan sharing pandangan moral umum dan nilai-nilai agama. [6]
Halaman web FABC menjelaskan tujuan dan sasaran sebagai berikut:
Federasi Konferensi Waligereja Asia (FABC) adalah asosiasi sukarela dari konferensi uskup di Selatan, Tenggara, Timur dan Asia Tengah, didirikan dengan persetujuan dari Tahta Suci. Tujuannya adalah untuk mendorong di antara anggotanya solidaritas dan tanggungjawab bersama untuk kesejahteraan Gereja dan masyarakat di Asia, dan untuk mempromosikan dan mempertahankan apa yang ada untuk kebaikan yang lebih besar. [7]
Sementara itu anggota FABC telah berkembang dari sebelas Konferensi Uskup di Timur, Tenggara dan Asia Selatan menjadi sembilan belas anggota saat ini, termasuk satu di Asia Tengah. Sembilan yurisdiksi Gereja lainnya di Asia yang tidak memiliki Konferensi Uskup diikutkan dalam anggota asosiasi FABC [8]. Pada 2012 ulang tahun ke-40 FABC, Sidang Pleno FABC berlangsung untuk pertama kalinya di Vietnam. Inisiatif Paus Paulus VI untuk memberdayakan para Uskup Katolik di Asia untuk bekerja sama, selama empat dekade terakhir, sebuah buah awal dari “a new way of being church” di Asia. Semua dokumen General Assembly FABC dan dokumen khusus badan-badan FABC tersedia sampai 2006 dalam empat volume dengan judul For all the People of Asia. Seorang teolog misi yang menetap di Indonesia John Prior, SVD, memberikan komentar atas kayanya dokumen-dokumen FABC:
Di sini Anda akan menemukan sebuah ongoing thinking dari FABC dalam menciptakan kultur damai di tengah-tengah kekerasan, migrasi, tentang dampak perubahan komunikasi global yang cepat. Berikut adalah pemikiran yang mendalam dari Wajah Kristus di Asia dan sebuah kesaksian kristiani yang otentik. Dua badan baru telah dibentuk dari permenungan yang konsern mengenai hidup bakti dan formasi klerus (consecrated life and clergy formation). Tak perlu lagi ada Gereja yang berjuang sendirian “seperti katak dalam tempurung”. Apapun masalah lokal yang terjadi, refleksi yang luas akan Asia ini akan menambah kedalaman dan luasnya baik bagi program pastoral keuskupan maupun pendidikan teologi. Kita begitu cepat menjadi Gereja yang Bermisi di Asia [10].
A new way of Being Church
Seorang Penulis, Ahli Misiologi dan teolog pastoral, menulis pada tahun 2010: “Sebuah slogan yang terprogram ‘A new way of Being Church’ membawa visi pastoral dan misioner yang besar dari Vatikan II. Ini mengungkapkan serta kesadaran dan kepedulian dari Gereja-gereja mereka dari benua yang berkembang untuk menemukan dan membangun pendekatan pastoral yang lebih kontekstual yang akan mempertimbangkan budaya, aspirasi agama dan manusia dan kebutuhan masyarakat dalam Gereja lokal mereka dari benua tersebut” [11].
Teolog Vietnam-Amerika Peter C. Phan merefleksikan tentang A New Way of Being Church.
Cara baru hidup menggereja di Asia ini, membutuhkan eklesiologi yang berbeda, suatu yang de-center dari Gereja dalam arti bahwa hal itu telah membuat pusat kehidupan dan doa orang Kristen bukanlah Gereja tetapi Kerajaan Allah. Ini semacam revolusi Copernican dalam eklesiologi dalam melihat tujuan dan maksud misi Gereja tidak menjadi ekspansi geografis dan kelembagaan Gereja (plantatio ecclesiae), tetapi untuk menjadi tanda yang terang, dan instrumen yang efektif untuk, kehadiran penyelamatan Kerajaan Allah dimana keadilan memerintah, perdamaian, dan kehidupan, yang berasal dari Gereja [12].
Uskup Agung Orlando B. Quevedo, OMI, salah satu promotor awal Komunitas Basis Gerejawi di Asia, yakin bahwa:
Visi FABC tentang “Cara Baru Hidup Menggereja di Asia” meliputi visi menjadi Gereja inkulturatif, Gereja Pelayan (a servant-Church) dan Gereja Partisipatif [13]. Baginya, “Di dalam Komunitas Basis Gerejawi lah, dan di antara masyarakat setempat bahwa inkulturasi kepemimpinan pastoral dan pengelolaannya umumnya ditemukan” [14].
“Berjalan Bersama Menuju Milenium Ketiga” – Konstitusi Pastoral Asia
Sidang Pleno ke 5 FABC berlangsung di Bandung, Indonesia dengan moto “Berjalan Bersama Menuju Milenium Ketiga”.
Dokumen Final dari Sidang Pleno FABC ke lima ini, tertanggal 27 Juli 1990, sering disebut Konstitusi Pastoral Asia, karena begitu pentingnya untuk Gereja Asia sama seperti Gaudium et Spes untuk Gereja Katolik di seluruh dunia. Dalam dokumen ini para uskup memberi kita analisis yang berbeda dari situasi sosial-budaya, politik, ekonomi dan agama di mana orang-orang dari Asia harus menghidupi iman Kristen mereka. Mereka tidak ragu-ragu untuk menyebutkan kejahatan sosial yang mereka alami di Asia seperti kemiskinan yang masif, eksploitasi perempuan, over eksploitasi sumber daya alam, kurangnya perspektif generasi muda. Dalam dokumen yang sama Uskup Asia menyatakan: “Dalam menghadapi masalah besar yang disebabkan oleh perubahan sosial dan dalam menghadapi kemiskinan besar, namun kita bisa melihat, banyak tanda-tanda harapan” [15].
Para Uskup Asia menyebutkan di antara tanda-tanda positif: kesadaran baru akan solidaritas, banyak orang berjuang untuk hak asasi manusia, demokratisasi dan dialog antaragama dan ekumene: “Dialog antara tradisi keagamaan, gerakan ekologi, dan aspek-aspek gerakan perempuan menawarkan harapan untuk bertambahnya spiritualitas yang menyeluruh” [16].
Mengenai misi, Uskup Asia menyatakan:
Misi di Asia juga akan berusaha melalui dialog untuk menemukan faktor kesatuan bangsa Asia yang ditandai dengan, seperti keragaman keyakinan, budaya dan struktur sosial-politik. Di Asia yang ditandai dengan keragaman dan perpecahan oleh konflik, Gereja harus dengan cara yang khusus menjadi sakramen – tanda yang terlihat dan instrumen persatuan dan harmoni [17].
Pada bagian ke 7 “Living in the Spirit: Pastoral Responses”, menjelaskan apa itu istilah: “Proses Kami”. Refleksi kita pada situasi Asia dalam terang misi evangelisasi telah membawa kita untuk mewujudkan arti yang benar dari proses: (a) berdialog dengan realitas Asia, (b) discerment gerakan Roh Allah di Asia; dan (c) menerjemahkan ke dalam perbuatan apa yang Roh mau dari kita. Proses ini harus menjadi pendekatan umum sebagai respon yang total sebagai Gereja Asia [18].
Terkait tentang reformasi formasi pastoral, dokumen memuat pendekatan yang lebih terinkulturasi: Pentingnya mempertajam visi dan merencanakan kembali proses formasi, dengan perhatian khusus yang diberikan kepada nilai-nilai budaya dan faktor-faktor struktural.
Dokumen Sidang di Bandung mempunyai sebuah bab tentang “A New Way of Being Church in Asia in the 1990s”. Eklesiologinya didasarkan pada eklesiologi persekutuan dari Vatikan II, tetapi eklesiologi ini secara kreatif diadaptasi dan dikembangkan untuk Gereja-gereja Asia.
Berikut ini para Uskup Asia dengan tegas menyatakan bahwa “Sidang ke 5 di Bandung memberi visi cara-cara alternatif-Gereja di Asia dari tahun 1990-an. Tapi cara baru ini memiliki beberapa aspek umum:
-
Gereja di Asia harus menjadi persekutuan komunitas-komunitas, di mana kaum awam, religius dan para imam mengakui dan menerima satu sama lain sebagai saudara dan saudari. Mereka dipanggil bersama-sama oleh Sabda Tuhan yang …membawa mereka untuk membentuk Komunitas Basis Gerejawi.
-
Disebut Gereja Partisipatif, dimana karunia Roh dianugerahkan kepada semua orang beriman – awam – religius – imam, saling mengakui dan aktif, sehingga Gereja dapat dibangun dan misinya diwujudkan.
-
[Mereka] membangun jiwa orang-orang, adalah Gereja yang setia dan penuh cinta bersaksi akan Tuhan Yesus yang bangkit dan menjangkau orang dari agama dan keyakinan lain dalam dialog kehidupan menuju pembebasan integral yang menyeluruh.
-
Menjadi ragi transformasi di dunia saat ini dan melayani sebagai tanda kenabian, berani menjadi bagian dari gambaran Kerajaan yang belum sepenuhnya terwujud [19].
Empat Puluh Tahun Karya Teologi dan Pastoral FABC
General Assembly FABC berikutnya berlangsung pada Desember 2012 di Kota Ho Chi Minh di Vietnam. Dalam Dokumen Finalnya, “FABC at Forty Years – Responding to the Challenges of Asia — A New Evangelization”, para Uskup Asia merangkum visi pastoral, orientasi, praksis dan teologi yang telah mereka kembangkan lebih dari empat puluh tahun:
Kami bersyukur kepada Tuhan atas visi yang menantang akan Gereja di Asia. Visi Gereja ini adalah keseluruhan tujuan dan refleksi pastoral, discernment, doa, dan tindakan pastoral FABC. Kami memberikan visi sebuah Gereja yang:
- Benar-benar Asia, dalam tripel dialog; agama, budaya dan bangsa Asia, terutama masyarakat miskin;
- Hamba bangsa Asia, menemani mereka menuju Kerajaan Allah;
- Pemberita Injil yang kredibel, murid-komunitas yang bermisi tentang evangelisasi yang integral menceritakan kisah Yesus ke Asia dalam suka dan duka
- Dalam dirinya, membawa wajah Yesus di Asia, Allah yang menjadi manusia, yang penuh kasih, mencintai, memaafkan, rela berkorban; guru, hamba, penyembuh, nabi, pemberi hidup, pembantu orang miskin
- Persekutuan komunitas-komunitas, yang mencerminkan persekutuan Tritunggal;
- Gereja Partisipatif, pelayan-pemimpin yang diperbaharui, kenabian religius dan pembedayaan awam
- Gereja kaum miskin, rumah bagi orang sakit dan miskin dan orang yang tak punya tempat tinggal
- Gereja Kaum Muda, di mana mereka menemukan solidaritas dalam perjuangan mereka untuk hidup yang otentik;
- Gereja dalam solidaritas dengan seluruh ciptaan [20]
Asian Integral Pastoral Approach (AsIPA)
AsIPA dikembangkan setelah sidang ke 5 (Fifth General Assembly) Federasi Wali Gereja Asia/ FABC pada tahun 1990 di Bandung, Indonesia. Upaya konkret dimulai pada tahun 1991. Para Uskup Asia diperkaya visi yang sejalan dengan Vatikan II: sebagai “Umat Allah”, dan “Gereja Peziarah” dan ini telah dikembangkan menjadi sebuah komunio Gereja yang menyadari bahwa persekutuan dan misi secara intrinsik terhubung satu sama lain. Sebagaimana Gerard Kelly katakan, “saling merasuk dan saling mengimplikasikan satu sama lain, ke sebuah titik bahwa persekutuan merepresentasikan baik sumber dan buah misi. Komunio menimbulkan misi dan misi dicapai dalam persekutuan” [21].
Para Uskup Asia dengan jelas menyatakan “Gereja Partisipatif….sebuah Persekutuan Komunitas-komunitas….” (cf. FABC, art. 8) [22].
Para Penulis Asia mengakui nilai fundamental setiap orang dalam pendekatan AsIPA dengan menjelaskan: “Metode partisipatif percaya bahwa” Setiap orang adalah seseorang”, dimana setiap orang itu berbakat dan mampu membangun Gereja, bahwa setiap orang memiliki sesuatu untuk berkontribusi dalam proses pembelajaran. Selain itu, daripada harus kuliah atau bertanya pada ahli, tim fasilitator mampu menangani sesi. Tugas mereka adalah untuk membantu peserta menjadi sadar bahwa masing-masing memiliki sesuatu untuk berkontribusi, untuk memungkinkan mereka untuk berbagi dalam proses pembelajaran dan memotivasi mereka untuk menemukan kebenaran oleh dirinya sendiri dan memutuskan untuk melakukan sesuatu tentang situasi mereka” [23].
Materi pertama, baik kursus internasional dan nasional, yang disebut “Lumko Courses”, menggunakan bahan dan metodologi Institut Lumko di Afrika Selatan. Pada November 1993 sekelompok fasilitator, merefleksikan hasil Lumko Courses, yang telah mereka berikan di banyak negara Asia di bawah judul : “Menuju Menjadi Gereja Partisipatif” dan “Dalam konteks Asia: orang-orang, budaya mereka, kebutuhan mereka … karena kita bergerak menuju visi” [24].
Mereka menyadari bahwa program tersebut harus dikontekstualisasikan agar bermanfaat bagi orang-orang Asia. Dalam pertemuan itu nama AsIPA – Asian Integral Pastoral Approach diciptakan [25].
Melalui formasi yang integral dan kontekstual, AsIPA bertujuan untuk menemukan cara baru hidup menggereja yang adalah Gereja Partisipatif dan persekutuan Komunitas Basis Gerejawi (KBG). Dalam komunitas ketetanggaan formasi integral dan kontekstual diberikan. Selama proses formasi, anggota menemukan dan memahami dengan melangkah ke arah yang baru apa itu menjadi Gereja dengan cara yang baru sebagai persekutuan partisipatif dalam Komunitas Basis Gerejawi (KBG) [26].
Pemahaman AsIPA menurut Badan Kerawam FABC (FABC Office of Laity)
FABC Office of Laity Desk for AsIPA menunjukkan bahwa “AsIPA adalah pencapaian proses yang panjang: Karena pentingnya peran kaum awam menjadi lebih diterima, Gereja-Gereja lokal juga menyadari bahwa ada kebutuhan tanggungjawab bersama untuk formasi awam, sehingga bahwa orang awam bisa berperan di Gereja. Dalam beberapa upaya awal dalam formasi awam, penekanannya adalah pada pendekatan akademik yang membawa kesadaran bahwa model formasi yang berbeda dibutuhkan: Sebuah model yang akan menggabungkan prinsip-prinsip pendidikan orang dewasa, menghormati pengalaman peserta dan terbuka dengan situasi nyata dan kebutuhan masyarakat setempat.
Makna AsIPA (Asian Integral Pastoral Approach)
AsIPA adalah Asian karena berusaha untuk melaksanakan visi yang diartikulasikan oleh para Uskup Asia dan untuk menghadapi realitas bangsa Asia, yang menantang Gereja di Asia: pluralisme kita, keberadaan agama-agama Asia yang besar, jumlah besar orang muda dan vitalitas mereka, kemiskinan yang masif, gerakan perempuan, gerakan ekologis, dll.
Integral, berusaha untuk mencapai keseimbangan antara “spiritual” dan “sosial”, antara individu dan masyarakat, antara kepemimpinan hierarkis dan tanggungjawab awam. Oleh karena itu integral dalam kedua pendekatan dan isinya.
Pastoral, bahwa tujuannya adalah untuk menerapkan visi cara baru hidup menggereja, dan khususnya untuk melatih orang awam untuk melaksanakan misi mereka di Gereja dan di dunia. Hal demikian menuntut imam dilatih untuk mendorong tanggung jawab bersama dari kaum awam dan bekerja dalam tim. Hal ini memerlukan gaya baru kepemimpinan.
Approach (pendekatan), Pendekatan AsIPA adalah proses mewujudkan visi Gereja Partisipatif, ditujukan kepada seluruh Umat Allah. Ini adalah proses pastoral yang “Berpusat pada Kristus dan komunitas”, di mana para peserta mencari dan mengalami “New Way of Being Church” [27].
Pemahaman AsIPA menurut Singapore Pastoral Institute
Wendy Louis, mantan direktur Singapore Pastoral Institute, menyoroti visi AsIPA dengan kata lain: [28]
- Asian – karena kita ingin menjadi bagian dari budaya lokal dan Injil harus mengambil ekspresi dari masyarakat setempat dan menjadi bagian dari cara hidup mereka sendiri. Kadang-kadang kita dianggap sebagai sebuah gereja asing. Ini akan terbukti tidak benar jika kita berakar dalam kehidupan sehari-hari orang-orang biasa.
- Integral – artinya menyatukan berbagai aspek kehidupan paroki pada komunitas dalam dan dengan misi Kristus. Integral adalah tentang menenun bersama-sama iman kita dengan pilihan dan tindakan kita sehari-hari. Ini adalah tentang mencoba untuk menyatukan generasi yang berbeda dan berbagai keluarga dalam Komunitas Basis Gerejawi.
- Pastoral – artinya merawat semua yang hidup dengan dan di sekitar kita, terlepas dari ras atau agama mereka. Pendekatan ini tentang membuat mungkin bagi setiap orang untuk berpartisipasi sesuai dengan bakat mereka dalam karya Kerajaan Allah. Pastoral karena karya semua umat Allah adalah sama dengan Gembala mereka.
- Approach – alat yang digunakan untuk membangun masyarakat harus sedemikian rupa sehingga mereka memungkinkan partisipasi, membangun kepercayaan diri, keterampilan di berbagai pelayanan serta selalu menyikapi pertanyaan: “Mengapa kita melakukan ini?” Latar belakang teologis untuk semua yang kita lakukan adalah membuat tersedia melalui teks yang sederhana dan Kitab Suci. Alkitab adalah kehadiran Kristus yang Bangkit di tengah-tengah kita dan itu adalah cara utama Alkitab digunakan dalam program-program AsIPA.
Bagi Wendy Louis “tidak ada ‘ahli’ dalam pendekatan ini. Semua memiliki sesuatu untuk dibagikan dan semua memiliki akses ke informasi yang sama dan mencari bersama-sama. Menemukan misi kita bersama yang muncul dari visi kita bersama adalah karya para anggota KBG. Hanya memberitahu dan mengharapkan hasil adalah lawan dari pendekatan ini [29].
Cara India: Dari AsIPA ke DIIPA
DIIPA adalah singkatan dari Developing Indian Integral Pastoral Approach. Visi DIIPA kembali ke program pelatihan KBG Lumko yang menjadi terkenal di keuskupan-keuskupan di India pada 1990-an. Sejak tahun 1995 Uskup Oswald Hirmer dan Pastor Thomas Vijay, SAC, telah mengadakan beberapa lokakarya tentang AsIPA di berbagai keuskupan di India. Pada bulan September 2001 beberapa animator KBG memperkenalkan nama India “DIIPA” dan program disesuaikan untuk situasi dan kebutuhan India [30].
DIIPA ingin menggali konteks sosio-budaya dan agama di India dan bagaimana situasi orang hidup. Tentu saja, DIIPA juga merupakan cara untuk membangun, mengontekstualisasikan dan meng-inkulturasikan Pesan Ke-Kristenan dan komunitas dalam banyak budaya dan masyarakat India. Program DIIPA dapat diterima secara luas dan beberapa bahan DIIPA telah diterjemahkan ke dalam dua belas bahasa India. Bagi Pastor Thomas Vijay, setiap permulaan DIIPA memiliki konotasi Theological, Pastoral dan Spiritual yang khusus.
Developing: mengingatkan kita dan pekerja pastoral di India bahwa tidak ada program pastoral yang sudah final. Roh selalu hadir dan aktif dalam komunitas, memperbaharui, menantang dan mengubahnya terus menerus dan membantu untuk merespon dengan cara Kerajaan-Nya pada perubahan situasi dan kebutuhan masyarakat di tempat dan waktu yang berbeda.
Indian: menempatkan visi Uskup Asia ‘dalam situasi India dan berusaha untuk memberdayakan orang-orang India untuk menanggapi visi ini bersama-sama, sebagai orang-orang dari dalam konteks kehidupan mereka. Dengan cara ini mereka membuat visi ini menjadi milik mereka dan menerima tanggung jawab untuk mewujudkannya dalam hidup mereka.
Integral: berarti kita mencari pertumbuhan yang integral, bagi semua orang, semua komunitas, mengintegrasikan jiwa dan raga, sekuler dan sakral, teori dan praktek, iman dan kehidupan dan membangun klerus dan awam menjadi satu tubuh.
Pastoral: konsern pastoral adalah untuk memungkinkan orang-orang kami untuk kembali bermimpi tentang mimpi Yesus dalam konteks kehidupan mereka dan menanggapi bersama-sama di lingkungan mereka. Dengan cara ini mereka menjadi instrumen bagi Allah untuk mengungkapkan wajah India Yesus kepada orang-orang India.
Approach: DIIPA adalah pendekatan, salah satu cara untuk melayani rencana Kerajaan Allah, tetapi cara yang sangat efektif dan Alkitabiah. Pendekatan ini memiliki karakteristik tertentu:
- Berpusat pada Kristus – karena menekankan Sharing Injil sebagai cara dan sarana dimana komunitas dituntun mengalami Tuhan yang bangkit dalam kehidupan mereka dan untuk mengendapkan kehendak Allah bagi mereka dalam situasi kehidupan mereka dan untuk merespon dengan mantap dan positif
- Berpusat pada Komunitas – karena semua anggota komunitas dipanggil untuk berkontribusi secara aktif dalam proses pembangunan komunitas
- Orientasi Misi – karena membantu seluruh komunitas untuk menyadari bahwa melalui Pembaptisan dan Penguatan mereka semua menerima tanggung jawab untuk melanjutkan misi Yesus di tempat mereka masing-masing dengan cara yang konkret. Semua memiliki tugas untuk secara aktif berpartisipasi dalam membangun Tubuh Kristus dan untuk mewartakan Injil di tempat dan waktu mereka sendiri.
- Kepemimpinan yang Tidak Mendominasi – Gereja masa depan, sebagaimana Uskup Asia katakan para ahli pastoral dan pemimpin tidak akan menjadi pemimpin yang mendominasi, tetapi pelayan dan animator komunitas. Yesus dan komunitas adalah titik fokus karena mereka akan bekerja sama untuk meng evangelisasi lingkungan, untuk menghadirkan Kerajaan Allah [31].
AsIPA sebuah Model Formasi
Gereja harus memiliki formasi sebagai prioritas pastoral jika ingin bergerak menuju visi dari Gereja partisipatif dan Gereja komunio yang menciptakan hubungan spiritual antara semua anggota nya (awam, religius, imam).
Kebanyakan pelayanan pastoral hidup pada paroki atau tingkat keuskupan, oleh karena itu formasi formal dan nonformal awam juga menjadi tugas mereka di tingkat pastoral. Paroki sebagai persekutuan komunitas-komunitas memiliki tugas mentransformasikan stasi dan semua bagian dari paroki menjadi Komunitas Basis Gerejawi [32]. Badan Kerawam dan Human Promotion FABC ingin mengembangkan lebih lanjut model formasi integral dan mempromosikan “A New Way of Being Church in the 1990s” sebagaimana harapan sidang ke lima General Assembly FABC. Komisi menyatakan akhirnya: Kami telah mengidentifikasi unsur-unsur inti yang diperlukan untuk sebuah formasi integral dan ini termasuk kebutuhan untuk mempromosikan Komunitas yang “Berpusat pada Sabda” yang melibatkan formasi komunitarian dan partisipatif yang memberikan penekanan pada “Belajar dari Pengalaman” daripada “pengajaran satu arah” [33].
Unit Pastoral baru yang telah dibentuk di banyak keuskupan di Eropa tidak secara otomatis solusi untuk kebutuhan umat beriman untuk berpartisipasi aktif dalam misi Gereja. Mereka bisa saja berbahaya yang dapat menghambat kehidupan komunitas dengan menawarkan pelayanan yang relatif efisien dengan jumlah imam yang terbatas dan bukan mempromosikan keterlibatan komunitas, semua umat beriman [34].
Gereja sebagai Persekutuan Komunitas-komunitas
Karena Gereja adalah persekutuan, maka harus ada partisipasi dan tanggungjawab bersama pada semua lapisannya [35].
Setelah Vatikan II Gereja ingin melaksanakan visi eklesiologis dari persekutuan. Tumbuhnya Komunitas Basis Gerejawi mungkin adalah ekspresi yang paling signifikan dari gerakan ini dengan potensi untuk mencakup semua anggota Komunitas Kristen dalam misi Gereja. “Mewarkatan Injil sebenarnya adalah rahmat dan panggilan Gereja, identitas terdalamnya. Ia ada untuk mewartakan Injil” sebagaimana Paus Paulus VI masukkan dalam dokumen Evangelii Nuntiandi (n. 14). Dimensi komunitas dari panggilannya dikembangkan lebih lanjut oleh Paus Paulus VI: “Untuk komunitas Kristen tidak pernah tertutup untuknya sendiri. Kehidupan intim komunitas ini – kehidupan mendengarkan Firman dan pengajaran rasul-rasul, amal hidup dengan cara kasih persaudaraan, memecahkan roti – kehidupan intim ini hanya akan memperoleh arti yang penuh ketika menjadi saksi, ketika membangkitkan pengakuan dan pertobatan, dan ketika menjadi pengkotbah dan pewarta Kabar Baik. Oleh karena itu seluruh Gereja yang menerima misi evangelisasi, dan karya masing-masing individu anggotanya adalah penting secara keseluruhan” (ibid., n. 15).
Lumko, Pendekatan AsIPA dan DIIPA hanya bertujuan untuk menempatkan visi kenabian Paus Paulus VI dalam praktek nyata [36]. Dalam pendekatan pastoral ini “setiap anggota individu adalah penting bagi keseluruhannya” dan tanggungjawab bersama atas misi Gereja. Sharing Injil mingguan sebagaimana dipraktekkan dalam KBG menjamin akses sumber air mengalir yang memberi hidup dari iman Kristen yang adalah Firman Allah dalam tradisi gerejawi nya [37].
Bishops’ Institute for Laity of the FABC (BILA) baru-baru ini menyatakan: munculnya KBG telah secara langsung memfasilitasi kebangkitan baru ribuan awam yang terinspirasi dan termotivasi untuk melayani komunitas. Melihat pembaruan yang KBG bawa dalam Gereja, Bapa Gereja Asia menegaskan bahwa “KBG merupakan cara yang efektif untuk mempromosikan persekutuan dan partisipasi di paroki-paroki dan keuskupan” (Ecclesia in Asia, n. 25). KBG membuat wajah Yesus di Asia terlihat dan melalui pelayanan kasih mereka menjadi benih untuk sebuah masyarakat baru berdasarkan cinta kasih (Redemptoris Missio, n. 51) . [38].
Evangelii Nuntiandi menawarkan kita sebuah kriteria penting untuk merevisi metode pastoral kita dan untuk membuat pesan Kekristenan yang kita harus sampaikan agar dapat dimengerti kepada orang-orang di waktu kita. “Kondisi masyarakat di mana kita hidup mewajibkan kita semua untuk merevisi metode, untuk mencari dengan segala cara untuk belajar bagaimana kita dapat membawa pesan Kekristenan pada dunia modern ini (n.3). Oleh karena itu Paus Paulus VI melihat bahwa “mutlak diperlukan bagi kita untuk mempertimbangkan warisan iman bahwa Gereja memiliki tugas menjaga kemurniannya dan menyajikannya kepada orang-orang dari waktu kita, dengan cara yang sama dapat dimengerti dan dengan cara persuasif “( n. 3).
Akhirnya, Evangelii Nuntiandi menggambarkan dengan penuh makna tantangan karya evangelisasi yang direpresentasikan oleh semua pelayanan Gereja, ketika ia mengatakan : “Kesetiaan, baik kepada amanat yang kita layani, maupun kepada umat yang harus menerima pewartaan amanat itu secara hidup dan utuh, merupakan poros pusat pewartaan Injil” (n.4). ***
Notes:
1 Alberich E. – J. Vallabaraj: Communicating a faith that transforms. A Handbook of fundamental Catechesis, Bangalore 2004, 33. 2 “Difatti, nei Seminari la formazione pastorale è tutta incentrata sullo studio della teologia…. La teologia non punta direttamente all’evangelizzazione e alla catechesi, né cerca in primo luogo la conversione…. La stessa sollecitudine per la coerenza e intelligibilità della fede anima le tante iniziative di formazione teologica, anche non universitaria, che sono sorte dappertutto, specialmente dopo il Concilio. Sono iniziative rivolte prevalentemente ai laici, ma possono anche venire utilizzate nella formazione permanente del clero…. Bisogna però notare che queste formazioni si mettano prevalentemente sul versante del sapere, lasciando spesso nell’ombra l’essere e il saper-fare, che sono dimensioni essenziali di ogni lavoro propriamente catechetico”, in: E. Alberich – A. Benz, Forme e modelli di catechesi con gli adulti. Esperienze e riflessioni in prospettiva internazionale, Leumann (To) 1995, 212-213. 3 Paul B. Steffen, Places and Models for Formation and Ministry. Pastoral Institutes in Africa and Asia, in “Verbum SVD” 51:4 (2010) 423-438; id., L’inizio dell'idea degli istituti culturali e pastorali, in “Verbum SVD” 52:4 (2011) 287-307. 4 http://www.fabc.org/10th%20plenary%20assembly/Documents/FABC%20History.pdf (03-03-2014) 5 Thomas C. Fox, Pentecost in Asia. A New Way of Being Church, Maryknoll, New York 2002, 17. – “For their part, the Asian Bishops had chosen as the theme for their gathering the Pope’s Encyclical Populorum Progressio. It was a remarkable moment, providing a rich new opportunity for a blending of visions. Never before had the Asian Bishops gathered on Asian soil to exchange their experience and deliberate on common matters facing them”, ibid., 17. 6 Ibid., 17. 7 http://www.fabc.org/ (03-01-2014). 8 Cf. Fox, Pentecost in Asia…, op. cit. 9 See: Rosales, G. - Arevalo, C.G. (Eds.). For All the Peoples of Asia, FABC Documents from 1970-1991, vol. 1., Manila 1997; Eilers, Franz-Josef (Ed.). For All the Peoples of Asia, FABC Documents from 1992-1996, vol. 2., Manila 1997; Eilers, F.-J. (Ed.). For All the Peoples of Asia, FABC Documents from 1997 to 2001, vol. 3., Manila 2002; Eilers, F.-J. (Ed.). For All the Peoples of Asia, FABC Documents from 2002 to 2006, vol. 4., Manila 2007. 10 http://www.fabc.org/pub_p1.html (03-01-2014) 11 P. Steffen, Places and Models for Formation and Ministry: Verbum 51:4 (2010) 436. 12 Peter Phan, In Our Tongues. Perspectives from Asia on Mission and Inculturation, New York 2003, 14-17, here 14. 13 Orlando B. Quevedo, OMI, Inculturating Church Leadership and Governance, in: Mario S. Dias (ed.), Rooting Faith in Asia. Source Book for Inculturation, Quezon City – Bangalore 2005, 341-346, here 342-343. – He elaborates on the issue further: “Vatican II renewal brought in a new organizational culture within the Church. As a result, two organizational cultures are in tension. The old emphasizes institution, hierarchy and the power of the ordained minister in the Church. The emergent organizational culture more insistently emphasizes the notions of People of God, communion, participation, and coresponsibility. The old organizational culture with its corresponding non-participatory style of leadership and governance still prevails in many dioceses and parishes in Asia. A participatory leadership paradigm is beginning to take hold in many places, but it largely depends on personal interests, inclinations and skills”, ibid., p. 342. 14 Ibid., 343 – “In these BEC clusters of families, family orientation, face-to-face interaction, co-responsibility, participation, transparency and accountability are most palpably demonstrated. With pastors guiding the process, due respect is given to the fundamental authoritative, not authoritarian, role that Bishops and priests have in the community by ordination. The participatory ethos in a Church of Communion is systematically developed. Leadership and governance empower people for the common good. It is transformational in view of the Kingdom of justice, truth, peace and love”, ibid., 346. 15 2.3 Hope at the Crossroads, in: Journeying Together Toward the Third Millennium, in: Rosales, G. - Arevalo, C.G. (eds.). For All the Peoples of Asia, FABC Documents from 1970-1991, vol. 1, Manila 1997, 277. 16 Ibid, 2.34, 278. 17 4.0 The mode of Mission, in: ibid., 282. 18 7.0 Living the Spirit: Pastoral Responses, in: ibid., 284. 19 A New Way of Being Church in Asia in the 1990s, in: Journeying Together Toward the Third Millennium. Statement of the Fifth Plenary Assembly, Bandung, Indonesia, 27 July 1990, in: Rosales, G. - Arevalo, C.G. (Eds.). For All the Peoples of Asia, FABC Documents from 1970-1991, vol. 1. Manila: Claretian Publications, 1997, 287-288 20 A Vision of Church in Asia, in: FABC Papers 138: FABC at Forty Years: Responding to the Challenges of Asia, X FABC Plenary Assembly 10 – 16 December, 2012, Ho Chi Minh City, Vietnam, 9-10. 21 Gerald Kelly, Communion and Mission: The Idea of Church in Christifidelis Laici, p. 291. – The Australian theologian Richard Lennan is convinced that: “Properly understood, communion ecclesiologies promote the engagement of every baptised person in shaping the Church in ways that respond to the initiative of the Holy Spirit. Such a Church must not only be constructed from the gifts and wisdom of all the baptised, but also be open, in all its dimensions, including, therefore, its structures and agencies, to that conversion which is inseparable from faithful reception of the Spirit”, in: R. Lennan, Communion Ecclesiology: Foundation, Critique, and Affirmations: Pacifica 20 (February 2007) 35. 22 E. Vaz – C. Mateo – V. Saldanha, Adult Formation Towards a Participatory Church – The Asian Integral Pastoral Approach (AsIPA), in: Colloquium on Church in Asia in the 21st Century, Office of Human Development – FABC, Manila [1998], 315- 316, here 316. 23 Ibid. 24 Ibid. 25 See www.fabc.org/ol/asipa_desk and FABC-Papers http://www.fabc.org/offices/csec/ocsec_fabc_papers.html (15-01- 2014) 26 “Through integral and contextualized formation, discover a new way of being Church that is participatory and a communion of Small Christian Communities (SCCs)” – Cf. E. Vaz – C. Mateo – V. Saldanha, Adult Formation Towards a Participatory Church – The Asian Integral Pastoral Approach (AsIPA), in: Colloquium on Church in Asia in the 21st Century, FABC Office of Human Development – FABC, Manila 1998, 315-334. 27 http://www.fabc.org/offices/olaity/asipa.html (03-01-2014) 28 Asian Integral Pastoral Approach Towards a New Way of Being Church. Compiled by Wendy Louis, January 3, 2006. In: http://www.catholicspi.org/images/FAQs%20on%20AsIPA%20for%20web.pdf (21-01-2014) 29 Ibid. 30 Thomas Vijay, SAC, Theological Foundations of DIIPA Vision for Small Christian Communities, in: Thomas Vijay (ed.), SCCs are Ministering Communities, Pallottine Animation Centre, Nagpur 2013, p. 145. 31 Ibid. 146-147. 32 The outstation system helped to serve the Christians living far away from the main station of the parish, but it remained deficient to the pastoral needs of the people. Cf. Patrick Kalilombe, From Outstation to Small Christian Communitie, Spearhead 82 – 83, Gaba Publications, Eldoret, Kenya 1984. – M.-F. Perrin Jassy, a cultural anthropologist found in her research that the outstations system caused the loss of many Catholics to the African Independent Churches because it did not give sufficient opportunity to participate actively in the mission of the parish or outstation. To feel part of a group always needs affirmation through an active role in the group and being recognized by a group is always easier if the group is small. See M.-F. Perrin Jassy, Basic community in the African churches, Maryknoll, Orbis Books, 1993; J.P. Vandenakker, Small Christian communities and the parish, Kansas City, 1994. 33 Asian Integral Pastoral Approach Towards a New Way of Being Church in Asia (AsIPA). Report of the Consultation on Integral Formation, Malaysia, 3 November 1993, in: F.J. Eilers (ed.). For All the Peoples of Asia, FABC Documents from 1992-1996, vol. 2. Manila 1997, p 108. 34 Cf. Anselm Prior, OFM: Towards a Community Church. The Way Ahead for Today’s Parish, No. 28T in the series Training for Community Ministries, Second revised edition, Lumko Institute, Delmenville, South Africa 1997. 35 The Final Report of the 1985 Extraordinary Synod, C. The Church as Communion, No. 6; cf. Walter Kasper, Il future dalla forza del Concilio. Sinodo straordinario dei vescovi 1985. Documenti e comment, Brescia 1986. – Kasper explains the ecclesiology of communion more profoundly: “According to the Council, the mystery of the Church means that in the Spirit we have access through Christ to the Father, so that in this way we may share in the divine nature. The communion of the Church is prefigured, made possible and sustained by the communion of the Trinity. Ultimately… it is participation in the Trinitarian communion itself. The Church is, as it were, the icon of the Trinitarian fellowship of Father, Son and Holy Spirit”, in: Walter Kasper, Theology & Church, Norwich 1989, p. 152. 36 Fritz Lobinger, Understanding ministries in SCCs in the perspective of Ecclesiology, in: Thomas Vijay (ed.), SCCs are Ministering Communities, Pallottine Animation Centre, Nagpur 2013, 1-12. 37 Thomas Vijay, Today this Scripture has been fulfilled (Lk 4:21). A Deeper Understanding of Gospel Sharing From my Involvement in Animating Gospel Sharing Groups, Pallottine Animation Centre, PAC Publications: Nagpur 2013. 38 Final Statement of BILA I on SCCs, Oct. 18-23 2010, Organized by AsIPA Desk, Office of Laity & Family of FABC, p. 2. In: http://www.fabc.org/offices/offices/olaity/docs/BILA%20I%20on%20SCCs%20Final%20Statement.pdf (04-01-2014).
Diterjemahkan oleh costmust/BerkatNews.com
Sumber : SEDOS Residential Seminar 2014, 20-24 May 2014, Centro “Ad Gentes” Nemi (Roma)