“BELAS KASIH BAPA SENANTIASA MEMBIMBING GEREJA”
Nota Pastoral Administrator Apostolik Keuskupan Pangkalpinang
Pada Puncak Tahun Jubileum Kerahiman Ilahi
Minggu 13 November 2016
=======================================================================
Saudara-saudari, umat beriman Keuskupan Pangkalpinang yang terkasih, hari ini tibalah saatnya bagi kita, Gereja Keuskupan Pangkalpinang dalam kebersamaan dengan semua Keuskupan di seluruh dunia, menutup ret-ret panjang Tahun Jubileum Kerahiman Ilahi. Hamper setahun (13 Desember 2015– 13 November 2016) kita semua disatukan dalam adorasi iman yang intens akan misteri Kerahiman Allah. Tentu saja puncak Jubileum ini yang akan ditandai dengan tindak simbolis penutupan Pintu Kudus, bukan merupakan akhir dari sebuah perjalan rohani Gereja. Tindak simbolik tersebut lebih merupakan kesempatan untuk menyegarkan kembali komitmet iman kita sebagai rasul-rasul kerahiman, yang akan terus dibimbing oleh Roh Kudus, Roh Cinta Kasih dari Bapa dan Putera. Oleh karena itu segala kekayaan iman yang telah kita timbah selama Tahun Jubileum ini, niscaya akan menjadi amunisi spiritual yang menyakinkan setiap kita, bahwa Bapa yang berbelas kasih, yang menyatakan kuat-kuasa belas kasihNya dalam diri Yesus Kristus PuteraNya senantiasa berdiam dan berkarya melalui kehadiran kita. Sesungguhnya kita adalah tanda-tanda rahmat yang hidup dan bergerak, merangkul semua yang jauh kepada belas kasih Bapa.
1. Belas kasih: Fondasi hidup Gereja.
Saudara-saudari terkasih, Belas kasih sesungguhnya bukan hanya perasaan hati yang baik untuk menghadapi kerasnya konflik dengan menempatkan sedikit perdamaian di dalamnya. Belas kasih adalah kata kunci yang menunjukkan tindakan Allah terhadap kita. Kata kunci Allah inilah yang mengarahkan dan membimbing perjalan Gereja (MV, 9). Oleh karena itu, kita yang telah disegarkan olehnya, hendaklah tidak kehilangannya, sebab kata ini adalah identitas kita.
Paus Fransiskus dalam Bulla Misericordiae Vultus menegaskan bahwa “belas kasih adalah landasan yang mendukung kehidupan Gereja…dan Gereja memiliki keinginan yang tak habis-habisnya untuk menawarkan kemurahan (MV, 10)”. Keinginan tanpa batas ini tidak dapat memudar dari waktu ke waktu.
Merenungkan misi Gereja di dunia, Paus Fransiskus mengatakan: “Pada hari ini, ketika Gereja berkomitmen untuk evangelisasi baru, tema kerahiman hendaknya dihidupkan kembali dengan semangat baru dan tindakan pastoral yang baru pula. Sebab kebenaran utama Gereja adalah kasih Kristus,… Oleh karena itu, di mana Gereja hidup, Gereja harus membuktikan bahwa kemurahan Bapa itu ada. Melalui cara bicara dan cara tindakannnya Gereja harus meneruskan kerahiman, sehingga menyentuh hati semua orang dan mengilhami mereka untuk menemukan jalan menuju kepada Bapa (MV, 12)”.
Dalam sebuah wawancara di Vatican, ketika ditanya siapakah Allah, Paus Fransiskus menjawab, “Nama Allah kita adalah Belas Kasih”. Mengutip teks Lukas “Perumpamaan tentang anak yang hilang”, Paus menegaskan bahwa identitas Allah yang berbelas kasih ini, ditemukan dalam karakter “pengampun-Nya”. Dalam berbagai tindak penyembuhan, Tuhan Yesus selalu memulainya dengan “mengampuni dosa” (lih. Luk 7:36-50, Mrk 2:2-12; Luk 5:17-26, dll.). Ketika menjawab pertanyaan Petrus, “sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berdosa terhadapku, sampai tujuh kali? Yesus berkata kepadanya, Bukan! Aku berkata kepadamu, bukan sampai tujuh kali, melainkan tujuh puluh kali tujuh kali (lih. Mat 18:21-34)”. Teks-teks ini mengingatkan kita, bahwa menjadi kristiani – pengikut Kristus, adalah menjadi orang-orang yang siap mengampuni tanpa batas.
Ketika kita menjumpakan ajaran pengampunan ini dalam realitas hidup kita, sering kali yang kita jumpai adalah betapa sulitnya orang mengampuni. Kesulitan mengampuni inilah yang melahirkan tindak kekerasan dan ragam kejahatan kemanusiaan lainnya. Ketakmampuan mengampuni menjebak orang dalam kebencian, balas dendam, serta tindakan menghilangan harta dan nyawa orang lain. Bahkan lebih tragis lagi, ketika dalil agama dijadikan pembenaran untuk tindak kekerasan.
Di Tahun Kudus Kerahiman, secara istimewa kita telah menerima “indulgensi penuh” dari Gereja. Dengan indulgensi penuh ini, bukan hanya kita yang hidup yang mendapat anugerah pengampunan dosa, tetapi juga untuk orang-orang yang telah meninggal dunia. Oleh karena itu, sudah sepantasnya rahmat Cuma-Cuma ini juga kita bagikan dan wujudkan dalam hidup nyata kita. Meski sering kali kita dikurung dalam digdayanya kebencian, di dalam suatu system social yang sinis, namun berada sebagai pengikut Kristus, mengikat kita untuk tidak meredupkan cahaya pengampunan. Dimana ada pengampunan, belas kasih pun menampakan dirinya.
2. Kesinambungan misi belas kasih diserap oleh setiap akar Gereja yakni Komunitas
Basis Gerejani.
Saudara-saudari terkasih, mendiang Uskup kita, Mgr. Hilarius Moa Nurak yang setahun lalu secara simbolik membuka Pintu Kerahiman ini, dalam catatan refleksi beberapa waktu sebelum wafatnya, mengibaratkan Gereja sebagai Pohon. Keuskupan diibaratkannya sebagai batang dan Paroki-paroki sebagai dahan. Dari batang dan dahan ini bertumbuh cabang dan ranting yang menghasilkan buah yang bermanfaat bagi semua mahluk hidup. Namun menurutnya, apalah artinya batang, dahan, cabang dan ranting, jikalau mereka tidak ditopang dan menerima sari-sari dan vitamin yang disalurkan oleh akar-akar, yakni Komunitas-komunitas Basis Gerejani.
Analogi Gereja sebagai Pohon yang dihidupkan oleh akar-akar yakni KBG, mengantar kita pada sebuah kesadaran iman yang mendasar, bahwa jati diri belas-kasih kristiani, yang telah kita segarkan di Tahun Jubileum Kerahiman Ilahi, hendaknya terus bergerak di setiap akar-akar Gereja kita yakni KBG. Jemaat Gereja Perdana (Kis 2:41-47), tak henti menghadirkan dan menghidupkan pesan Yesus Kristus – “Lakukanlah ini sebagai kenangan akan Daku (Luk 22:19)” – dalam temu bersama dari rumah ke rumah.
Dalam pertemuan tersebut, mereka tidak hanya berdoa, memecahkan roti, mendengar dan merenungan Sabda Tuhan, tekun di bawah wibawa pengajaran Para Rasul; tetapi juga mengumpulkan segala apa yang mereka miliki, dibawa ke hadapan para Rasul lalu dibagikan kepada orang-orang yang membutuhkannya. Ciri-ciri yang disebutkan ini merupakan tanda-tanda hidup dan kelanjutan dari tindak belas kasih Tuhan Yesus Kristus, yang secara sempurnah dihadirkan pada Perjamuan Terakhir dan mencapai puncaknya pada peristiwa salib.
Sebagai Gereja Keuskupan Pangkalpinang, kita patut bersyukur, bahwa identitas belaskasih Kristus yang diwariskan oleh para Rasul melalui Gereja senantiasa hidup, bertumbuh dan berbuah di setiap KBG kita. Dengan demikian menjadi penting bagi kita untuk selalu dan senantiasa menyadari bahwa KBG-KBG merupakan ruang istimewa bagi kita untuk menimbah belas kasih Kristus. Sebagaimana Tuhan Yesus pada Perjamuan Terakhir menyatakan, “Kamu tidak Kuanggap sebagai hamba,… tetapi sahabat… (Yoh 15:15)” maka kita yang berkumpul di KBG-KBG adalah himpunan para sahabat yang mengenal betul kebutuhan sahabat-saabat kita yang lain.
3. Komunitas Basis Gerejani: Locus Evangelisasi Baru Para Rasul Belas Kasih.
Saudara-saudari terkasih, Paus Fransiskus dalam Bulla Misericodiae Vultus, menegaskan bahwa ret-ret agung Tahun Kerahiman merupakan momentum untuk memulai kembali misi Gereja yang sesungguhnya, yakni misi belas kasih. Pengkhususan tema “belas kasih” di Tahun Kudus yang sebentar lagi akan kita puncaki dengan ritus penutupan Pintu Kudus, oleh Santo Bapa disebut sebagai tindakan kebali kepada akar misi Gereja sebagai tanda hidup dari Belas Kasih Bapa dan Putera. Dengan demikian kita boleh bersyukur bahwa Tahun Kudus Kerahiman adalah Tahun dimana kita kembali ke akar iman kita, yakni belas kasih.
Sebagaimana Tuhan Yesus berkata: “Hendaklah kamu murah hati, sebab Bapamu yang di surga adalah murah hati (Luk 6:36)”, maka kita yang telah diberi kesempatan istimewa untuk kembali ke akar kita, diikat olehnya untuk mewartakannya dalam pola pikir dan pola tindak kita setiap hari. Penutupan Pintu Kudus sesunguhnya bukan akhir, tetapi lebih merupakan puncak perayaan ritual dan ziarah Jubileum yang tak lain adalah awal yang baru bagi kita semua untuk menggiatkan seluruh nilai teologis, spiritual dan pastoral yang akan terus diperbaharui dalam kehidupan Gereja.
Karena misi Gereja adalah tindakan komuniter, maka misi tersebut hanya sukses jika kita secara sadar menyatukan diri dengan saudara-saudari seiman dalam sebuah gerakan bersama dan berkesinambungan. Ruang paling solid dari gerakan bersama itu adalah Komunitas Basis Gerejani. Sebagai rumah bersama yang dihidupkan oleh Sabda Allah dan Sakramensakramen, yang mengikat kita dalam persaudaraan sejati, dan menggerakan kita untuk mewartakan kekayaan rohani dalam sikap dan tindakan nyata kepada dunia, maka KBG sesungguhnya merupakan locus evangelisasi baru yang digerakan oleh belas kasih Tuhan.
4. Belas kasih: Misi berkelanjutan dalam kehidupan pastoral Gereja
Saudara-saudari terkasih, undangan dari Jubileum untuk menjadi “murah hati seperti Bapa”, menunjukkan perlunya Gereja untuk terbuka, ramah, “keluar”, dan siap untuk berdialog. Gereja tidak hadir untuk dirinya sendiri, tetapi untuk dunia, untuk orang lain, untuk semua, dengan penuh keberanian. Tak dapat dipungkiri bahwa sering kali kita mudah ditaklukan oleh rasa takut, curiga, dan ketertutupan. Berbagai krisis yang kita alami menjebak kita untuk menutup diri dalam pembelaan diri, sekat-sekat pembatas, dan cenderung menjadi kaku. Tahun Kudus ini benar-benar mendukung dan mengundang kita untuk membuka ketertutupan dan kekakuan pastoral kita.
4.1. Dimensi pribadi.
Hal pertama dan terutama yang harus kita perhatikan untuk melanjutkan misi belas kasih adalah menyembuhkan pribadi-pribadi kita, melalui latihan secara konsisten dan setia segala karya jasmani maupun rohani dari belas kasih. Karya-karya ini memiliki kemampuan untuk “membangunkan kembali hati nurani kita yang sering tertidur di depan drama kemiskinan dan mendorong kita untuk masuk lebih dalam ke jantung Injil (MV,15)”. Ketika kita menghadapi kesulitan untuk menghidupkan belas kasih dalam hubungan interpersonal, maka melatih diri untuk melaksanakan karya-karya belas kasih menjadi utama dan mendasar dalam upaya kita untuk menjadi “murah hati seperti Bapa.” Jika latihan belas kasih ini menjadi gerakan setiap pribadi maka otomatis dalam setiap kesempatan kita akan berhadapan muka dengan orang-orang yang hanya menghendaki kebaikan bagi orang lain. Orang-orang yang dalam keseharian hidupnya memancarkan wajah belas kasih Bapa. Namun patut disadari betul bahwa latihan yang sifatnya personal lebih merupakan pintu masuk kepada lingkup yang lebih luas, yakni Gereja dan masyarakat.
4.2. Dimensi gerejani dan social
Hal berikutnya yang harus kita perhatikan adalah dimensi gerejani dan social. Dalam sejarah, Gereja Katolik dikenal sebagai institusi rohani yang mempunyai komitmen yang konsisten terhadap karya amal kasih. Di banyak paroki terdapat berbagai jaringan yang terkait erat dengan karya amal kasih dan solidaritas, seperti: Rumah Singgah, Dapur Umum, Panti Jompo, tempat perlindungan anak, tempat bagi kaum muda yang bermasalah, dan para pecandu narkoba. Namun harus kita akui pula bahwa tidak semua paroki di wilayah keuskupan ini yang memiliki karya-karya amal kasih teroganisir. Meskipun seksi Sosial Karitatif ada hampir di semua paroki, namun konsistensinya belum maksimal. Banyak yang baru bergiat jika ada musibah atau bencana alam. Oleh karena itu perjalanan rohani selama Tahun Kudus Kerahiman ini seharusnya menjadi awal yang baru bagi kita untuk menghidupkan kembali karya-karya amal kasih tersebut.
Segala kesulitan yang dihadapi seperti kurangnya partisipasi, seyogianya sudah menemukan kembali spiritnya selama Tahun Kudus Kerahiman ini. Penting untuk diingat bahwa partisipasi hanya mungkin jika ditopang oleh komitmen, kolaborasi dan inovasi dengan berbagai pihak. Kita dapat melibatkan diri dengan segala sumber daya yang kita miliki untuk mendukung dan mengambil bagian ecara aktif dalam berbagai karya social karitatif yang sudah ada dan bergerak dalam masyarakat kita saat ini.
Dalam hal ini kaum muda hendaknya didorong untuk terlibat seluas-luasnya dalam aktivitas social-karitatif, baik di paroki-paroki maupun di masyarakat. Sebab melalui diri mereka misi belas kasih mempunyai prospek yang cerah. Dan sesungguhnya KBG adalah ruang paling istimewa bagi kita untuk melatih diri mempertajam dimensi gerejani dan social dari misi belas kasih. Dari dan dalam komunitas kecil tersebut kita disentuh secara personal dan komuniter untuk memahami dan mengalami secara lebih intensif pribadi-pribadi, saudara-saudari kita, yang tak lain adalah Gereja yang hidup. Di dalam KBG kita secara personal disatukan dalam ziaran bersama sebagai umat Allah, yang berkata dan berbuat secara langsung kepada saudara-saudari sekomunitas. Gerak bersama yang dilatih dan diolah dalam KBG akan mempertajam sensibilitas belas kasih kepada lingkup yang lebih luas, yakni masyarakat.
4.3. Dimensi structural – Politik
Negara atau pemeritah sesungguhnya memiliki segala fasilitas yang secara structural dapat menampung sebanyak mungkin orang yang dalam kesulitan atau dalam kondisi termarjinalkan. Namun sering kali kebijakan social-politik para pemangku kepentingan, tak berjalan sebagaimana mestinya. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa para penguasa politik hanya bertarung untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya sendiri.
Berbagai tragedy kemanusiaan seperti perdagangan manusia, jaring laba-laba narkotika yang menjerat siapa saja, bencana alam, keterbatasan kebutuhan pokok, terbatasnya akses pendidikan dan kesehatan orang-orang miskin, dan lain-lain, sering kali terabaikan. Perbedaan pandangan politik dan ideology menjebak para pemimpin politik dalam perseteruan. Di hadapan realitas social-politik ini, misi belas kasih berkelanjutan mengikat setiap kita untuk menularkannya dalam ruang-ruang social-politik.
Setiap murid Kristus yang karena jalan politik telah berada di level pengambil keputusan, mengemban tanggung-jawab iman untuk merealisasikan nila-nilai belas kasih, tanpa harus secara terang-benderang mengeksplorasi label kristianinya. Meskipun dengan cara itu, kita seolah-olah menyembunyikan identitas krisitiani kita. Namun sesungguhnya bukan orang yang terusmenerus menyerukan nama Tuhanlah yang akan masuk ke dalam Kerajaan Surga, melainkan orang yang melakukan kehendak Bapa di Surga (bdk. Mat 7:21).
5. Penutup
Saudara-saudari sekalian umat beriman yang terkasih, mengakhiri Nota Pastoral ini, saya ingin menegaskan kembali pernyataan Paus Fransiskus yang mengharapkan agar perayaan Tahun Jubileum Luar Biasa Kerahiman ini, melahirkan sebanyak mungkin orang yang karena telah ditenggelamkan dalam kerahiman Allah, bergiat secara massive untuk menghadirkan kebaikan dan kelembutan Allah. Harapan Paus ini mengisyaratkan bahwa meskipun ia sendiri akan menutup Pintu Kudus Basilika St. Petrus di Roma, pada tanggal 20 November mendatang namun pintu belas kasih tidak akan pernah tertutup untuk siapapun. Dan hari ini di tempat yang istimewa ini, kita yang akan secara simbolik menutup Pintu Kerahiman ini, juga memiliki harapan dan komitmen yang sama untuk menggandakan rasul-rasul belas kasih, bagi dunia yang meski tampak sinis, kaku dan keras, namun tidak akan pernah kehilangan harapan. Semoga kelimpahan rahmat belas kasih yang telah kita timbah di Tahun Jubileum Luar Biasa Kerahiman Ilahi ini semakin memperkokoh akar dan jati diri kita sebagai tanda-tanda kelihatan Belas Kasih Bapa.
Sebagai Administrator Apostolik Keuskupan Pangkalpinang, tidak lupa saya mengucapkan limpah terima kasih kepada semua pihak, para imam, biarawan/biarawati, umat awam, yang dengan kharismanya masing-masing telah mendukung perjalanan ret-ret agung Tahun Kerahiman ini. Kiraranya segala daya-upaya, pikiran, tenaga dan dana yang telah kita dedikasikan di Tahun Jubileum ini, dilipat-gandakan oleh Dia yang memiliki semuanya, yakni Allah, Bapa dari Tuhan kita Yesus Kristus dan Bapa kita semua yang menyatakan diriNya sebagai Bapa yang berbelas kasih. Semoga dengan bantuan doa Maria, Bunda yang berbelas kasih, dan para Kudus Gereja, kita dimampukan untuk membuka pintu-pintu belas kasih di setiap tempat dan waktu dimanapun kita berada.
Pangkalpinang, 13 November 2016
Doa dan berkatku,
Mgr. Yohanes Harun Yuwono
Administrator Apostolik