Home Feature Cinta akan Rumah-Mu Menghanguskan Aku

Cinta akan Rumah-Mu Menghanguskan Aku

by admin

(Sebuah usaha untuk mempertautkan jati diri antara Imam Disosesan sebagai Imam Gereja Lokal dan KBG sebagai jati diri Gereja modern)

RD. Lucius Poya Hobamatan (Imam Diocesan Pangkalpinang)

Pengantar

Judul tulisan ini dibuat hanya untuk menegaskan bahwa rumah seorang imam diosesan adalah keuskupan. Sebagai orang yang memiliki dan bertanggungjawab atas rumah, berarti imam diosesan mau tidak mau mendarmabaktikan hidup dan pelayanannya untuk membangun keuskupan sesuai visi dan misi keuskupannya, sebab Gereja Lokal  merupakan representasi Gereja Universal.

Karena Keuskupan merupakan representasi Gereja Universal, maka saya mengambil  Keuskupan Pangkalpinang sebagai jendela untuk merefleksikan imamat dan KBG sebagaimana dikatakan Gereja Universal dan Kontinental, dan bagaimana perjuangan mewujudkannya dari waktu ke waktu.

Sekilas KBG dalam Perziarahan Keuskupan Pangkalpinang

KBG bukan sebuah istilah yang asing bagi Keuskupan Pangkalpinang. Sejak para Bapa Gereja Asia, dalam pertemuan di Bandung, 1990, merumuskan visi Gereja Asia sebagai persekutuan komunitas-komunitas di mana kaum awam, religius dan klerus saling mengakui dan saling menerima sebagai saudara dan saudari, yang dipanggil oleh Sabda Allah yang adalah kuasi sacramental kehadiran Tuhan yang bangkit untuk membentuk komunitas-komunitas kecil kristiani;[1] Uskup Pangkalpinang bergerak cepat untuk mulai menata pola-pola pastoral.

Langkah pertama adalah mengirim beberapa awam dan imam untuk mengambil kursus tentang Kitab Suci dan Pastoral Keluarga di Philipina, sambil live in untuk mengalami bagaimana membangun KBG sebagai A New Way of Being Church.

Sekembalinya dari Philipina, kelompok ini mencoba membuat Seminar Orientasi Dasar (SOD), diawali dengan seminar KBG kepada para imam dan kaum awam di tingkat keuskupan, di bawah pendampingan Sr. Julma Neo DC. Kemudian dari tahun 1991-1995, Seminar Orentasi Dasar ini coba dilanjutkan ke lingkungan-lingkungan, komunitas-komunitas religius yang berada di Keuskupan, juga para calon imam di Seminari Tinggi, oleh team yang dibentuk di tingkat Keuskupan.  Seperti Israel di padang gurun, yang bergulat dengan perubahan antara hidup di Mesir dengan masa depan yang tidak menentu, SOD ini juga menimbulkan kesalahpahaman baik di kalangan imam maupun awam. Komentar-komentar yang bernada sinis terdengar di sana-sini.

Syukurlah bahwa komentar-komentar sinis itu muncul sehingga bisa dicari pola-pola pendekatan yang lebih sesuai untuk semakin melangkah maju mengimplementasikan Cara Hidup Meng-Gereja yang Baru itu. Oleh karena itu dari tahun 1995 – 2000, topik tentang KBG hampir menjadi materi utama dalam pembicaraan bersama dengan umat, dalam setiap kunjungan pastoral uskup ke paroki-paroki. Dengan bahasa yang sangat sederhana dan mudah ditangkap, serta contoh-contoh metaforis pendukung, Bapa Uskup mencoba  untuk membongkar kerumitan pemahaman KBG di kalangan umat.[2]

Tahun 1999, Bapa Uskup menetapkan tahun 2000 sebagai Sinode Keuskupan Pangkalpinang. Sinode ini dimaksudkan untuk menentukan visi, misi, prioritas dan spiritualitas pastoral Keuskupan Pangkalpinang dalam ziarahnya memasuki milenium kedua. Sebagai persiapan, tahun 1999, Sekretariat Pastoral menyebarkan hampir 2500 angket pastoral ke setiap umat di paroki-paroki untuk diisi. Angket-angket itu kemudian dirangkum oleh Sekretariat Pastoral, digodok oleh 113 utusan paroki dan sembilan  peninjau, sepanjang Sinode Keuskupan.

Ada dua hal yang menarik, sejauh saya mencermati lalu lintas sinode itu. Pertama, ternyata bahwa umat menghendaki agar KBG, Keluarga, Kaum Muda dan Anak-anak sebagai prioritas pastoral keuskupan. Kedua, karena suasana sinode sangat demokratis, maka umat memakai moment itu untuk mengemukakan uneg-unegnya. Salah satu di antaranya adalah bahwa para imam dirasa sebagai penghambat pastoral keuskupan, karena keputusan pastoral untuk melaksanakan KBG sebagai prioritas pastoral yang disepakati dalam temu pastoral tahunan para imam, sejak tahun 1991-2000, ternyata tidak dilaksanakan di paroki-paroki, bukan karena apatisme awam, melainkan karena apatisme para imam.[3] Walau kami, para imam, memilih diam, tetapi ada reaksi penolakan terhadap tuduhan itu. Akan tetapi ketika Sekretariat Pastoral Keuskupan menyebarkan angket ke setiap paroki untuk mengevaluasi hasil sinode, tahun 2005, ternyata hanya dua orang imam, dari ribuan responden yang mengisi angket.[4] Apatisme imam ini semakin membenarkan tuduhan sepanjang sinode bahwa imam sebagai penanggungjawab pastoral ternyata memposisikan diri sebagai penghalang.

Di manakah Jati Diri Imamatku?

 Pernyataan peserta sinode atas diri para imam “sebagai penghambat pastoral”[5] telah membantu para imam, paling kurang saya yang waktu itu baru berusia 2 tahun imamat, untuk merefleksikan kembali identitas imamatku. Dengan mendapat gelar baru sebagai penghambat pastoral berarti ada signal bahwa sakramen imamat kehilangan daya dobrak dalam  pembangunan Gereja Lokal. Jati diri imam sebagai sakramen keselamatan dalam Gereja mengalami penyusutan. Kuliah-kuliah verbal tentang Sakramentologi dan Ecclesiologi tampak tidak bisa dijelmakan dalam hidup dan pastoral. Dengan kata lain, pengenaan nama baru atas para imam sebagai penghambat pastoral menegaskan satu hal fundamental, yakni bahwa imam menjadi duri dalam daging ketika kaum awam sedang bergerak maju membentuk jati diri imaminya menuju A New Way of Being Church. Penyebab utamanya adalah orientasi imam yang lebih terfokus pada pengembangan diri sebagai pejabat kultis dalam upacara ritual, seraya melupakan dimensi apostolis dari kegiatan kultis itu untuk mengembangkan dunia menjadi medan keselamatan.

Tidak disangkal bahwa Gereja hidup dari Kristus Ekaristi,[6] karena sebagai misteri, Gereja secara hakiki berhubungan dengan Yesus Kristus.[7] Oleh karena itu, hakekat imam sebagai sakramen yang bertindak in persona Christi jelas tidak bisa tergantikan, karena sakramen imamat memberikan pejabat tertahbis partisipasi khusus di dalam jabatan Kristus, Gembala dan Kepala, dan dalam imamatnya yang kekal.[8] Dalam kata dan perbuatan itu imam bertindak sebagai alat Kristus yang menguduskan, mengampuni dan menycucikan. Hal itu berarti rahmat sakramen imamat, yang dengannya seorang imam dimeteraikan untuk serupa dengan Kristus sebagai Kepala dan Gembala, harus juga mengantar seorang imam untuk hidup dan berkarya atas kekuatan Roh Kudus, dalam pengabdian kepada Gereja dan demi penyelamatan dunia. Itulah sebabnya, seorang imam, karena sakramen yang diterimanya, harus bersekutu dengan Uskup beserta para imam lainnya, untuk melayani Gereja, yakni umat Allah dan untuk mengantar segenap umat manusia kepada Allah.[9]

Akan tetapi dalam bab awal Dekrit tentang Pelayanan dan Kehidupan Para Imam,  Konsili juga menegaskan bahwa tidak ada anggota yang tidak berperanserta dalam perutusan seluruh Tubuh, melainkan wajib menguduskan Yesus dalam hatinya dan dengan semangat kenabian memberi kesaksian tentang Yesus.[10] Dengan demikian, jelaslah bahwa posisi tak tergantikan seorang imam dimaksudkan agar bagaimana Gereja Tubuh Kristus, yakni semua umat Allah, menguduskan dirinya dan sekaligus melaksanakan tugas perutusan sebagai saksi Kristus di tengah dunia.

Kalau karakteristik imam diosesesan adalah bersatu dengan Uskup melayani Gereja, hal itu berarti ia harus menjadi penjamin utama terlaksananya visi Gereja universal, continental, dan nasional ke dalam Gereja Lokal, yang diputuskan oleh para Uskup. Dan jika salah satu jati diri imam diosesan adalah ketaatan kepada uskup, hal itu bukan sekedar taat pada perintahnya, melainkan bagaimana ia menghayatai hidup pribadi dan pastoralnya selaras dengan uskupnya sebagai Gembala Gereja Lokal. Kehadiran imam di paroki bukan atas nama pribadi, melainkan haruslah merupakan representasi uskup, sebagai pemegang otoritas.[11] Penghayatan jati diri seperti ini dirasa penting, karena konflik antara imam diosesan dengan uskup, maupun dengan umat, sebagaimana diistilahkan sebagai penghambat, sering disebabkan oleh penghayatan jati diri dan pengamalan pastoral yang berdasarkan pada  selera pribadi dan bukan berpatokan pada visi imamat dan visi Gereja.

Bagi saya, revitalisasi  seperti ini sangat mendesak, karena dengan pembaharuan seperti ini, sakramen imamat walau dimeteraikan pada pribadi-pribadi tetapi pemetaraian itu bermaksud supaya imamat itu dihayati demi  hidup dan perutusan Gereja dan bukan untuk hidup dan perutusan pribadi.

Gereja: Pemahaman Abstrak atau Pengalaman Konkret Persekutuan?

Selain revitalisasi jati diri, pembaharuan pemahaman Ecclesiologi juga dirasa penting dalam era ini. Harus diakui bahwa pastoral sacramental yang menjadi focus perhatian para imam selama ini,  sesungguhnya sangat dipengaruhi oleh pamahaman imamat sebagai pejabat kultis (pelayan sakramen) dan pemahaman abstrak tentang Gereja sebagai Umat Allah. Berurat-akarnya dua pemahaman ini berakibat pada aktivisme imam sebagai petugas pelayan sakramen dan pasivisme umat sebagai penerima sakramen.

Daya sakramen yang sejatinya adalah memberi hidup dan menumbuhkan, sehingga semua anggota Umat Allah lainnya terlibat aktip dalam membangun Tubuh Kristus, ternyata sangat kurang maksimal, karena Gereja dipahami secara abstrak dan dikelolah secara massal. Akibatnya, imam menjadi anggota Tubuh Kristus yang sangat aktif, sementara umat, walau merupakan bagian integral Tubuh Kristus, tetap mengalami mati suri. [12]

Kalau Gereja adalah Misteri, karena merupakan sakramen persekutuan dengan Bapa, dan mengambil sumber rahmat dari Kristus sang Kepala (Tubuh Kristus) dan dipenuhi Roh Kudus dalam perziarahannya, maka pada hakikatnya Gereja merupakan persekutuan Umat Allah,  karena Allah Triniter adalah asal dan sumbernya. Karena merupakan persekutuan, maka hidup komunitas beriman harus merupakan pengalaman relasional, pengalaman perjumpaan; sebuah pengalaman membagi hidup dalam Kristus dan dalam sesama. Harus ada kesatuan nyata dalam hubungan antar pribadi; saling ketergantungan satu dengan yang lain sebagai sesama kaum beriman, terlepas dari suku, budaya dan ras.

Persekutuan di dalam Kristus dan di dalam sesama ini merupakan sebuah keharusan, karena Gereja hadir untuk ber-evangelisasi-mewartakan khabar gembira kepada semua lapisan manusia dan melalui pengaruhnya membangun sebuah pembaharuan manusia dari dalam. Demikian juga, supaya evangelisasi ke tengah dunia dilakukan secara efektip, maka khabar gembira harus meresap dan memperbaharui inti dan struktur hidup anggota Tubuh Kristus, Umat Allah. Dengan kata lain, khabar baik harus merupakan bagian integral dalam hidup umat Allah hari demi hari, sehingga cara hidupnya menjadi kesaksian atas injil.[13]

Itulah sebabnya, walau struktur, wilayah atau bangunan tetap penting, tetapi upaya mewujudkan Gereja sebagai keluarga Allah, di mana kekerabatan yang dinyalakan oleh Roh yang mempersatukan, sungguh harus dialami dalam pengalaman beriman yang konkret. Gereja bukan lagi sebuah konsep abstrak, sehingga upaya perwujudannya sekedar mengumpulkan massa ala ghetto, yang lebih menampilkan individualisme, melainkan sebuah rumah keluarga yang terbuka bagi siapa saja. Itulah persekutuan kaum beriman.[14] Untuk membangun Gereja sebagai sebuah pengalaman persekutuan konkret dalam hidup beriman itu, maka penataan paroki sebagai persekutuan komunitas-komunitas basis, bukan lagi ditempatkan dalam konteks selera para imam melainkan harus merupakan sebuah tuntutan pastoral.

Pengembangan Komunitas Basis sebagai tuntutan pastoral, karena memang imam bertugas untuk   memberdayakan semua anggota Tubuh supaya berperanserta dalam perutusan seluruh Tubuh, menguduskan Yesus dalam hatinya dan dengan semangat kenabian memberi kesaksian tentang Yesus dalam hidupnya. Dikatakan demikian, karena:

  • Dalam dan melalui Komunitas Basis, persekutuan sungguh dialami sebagai sebuah persekutuan yang hidup; kaum beriman dapat mengkomunikasikan Sabda Allah dan mewujudkannya dalam pelayanan serta kasih seorang terhadap yang lain. [15]
  • Dalam dan melalui KBG, impian para Bapa Gereja Asia untuk mewujudkan sebuah Gereja persekutuan; yang berdialog dengan kaum miskin, kebudayaa-kebudayaan dan agama-agama; melayani dengan rendah hati memaklumkan khabar baik tentang Yesus yang menyelamatkan dan memerdekakan; berziarah bersama orang-orang lain menuju Kerjaan Allah; sungguh partisipatif; dipimpin oleh Roh Allah dalam spirtualitas yang integral; menghayati firman dan bersaksi tentang iman akan Yesus Kristus, sungguh menjadi sebuah kenyataan.[16]
  • Dalam dan melalui Komunitas Basis, Keluarga, Kaum Muda dan Anak-anak sungguh memainkan perannya sebagai anggota Gereja yang hidup; suasana persekutan umat dapat tercipta; kepemimpinan awam dapat terwujud; jarak antara gembala dan umat dapat dihilangkan.[17]

Itulah sebabnya, almaruh Sri Paus Yohanes Paulus II menegaskan agar Komunitas Basis harus dipandang sebagai cirri positif kegiatan Gereja untuk mewartakan injil.[18] KBG sebagai medan evangelisasi. Dengan demikian jelaslah bahwa  Komunitas Basis Gereja menjadi pilihan, dimaksudkan untuk mengubah Gereja dari konsep abstrak menuju sebuah Cara Hidup dalam perziarahan. KBG: A New Way of Being Church.

Cinta akan Rumahku Menghanguskan Daku: sebuah refleksi pribadi

Perjuangan untuk mewujudkan KBG berawal dari rasa kagumku kepada Paulo Freire, seorang tokoh yang saya angkat menjadi materi skripsiku. Melalui buku-buku, yang merupakan refleksi filosofisnya, saya disadarkan bahwa tidak ada manusia yang benar-benar pintar dan tidak ada manusia yang benar-benar bodoh. Kaum bawah bukan sekedar bank atau  robot, dan saya  bukan pemilik modal yang menabungkan pengetahuan saya kepada mereka dan menyetir mereka sesuai kemauan saya. We are all students, kata Magareth Mead.

Ketika menjalani masa TOP di daerah Suku Laut, kepulauan Lingga, di Riau Selatan, di mana mayoritas umatnya adalah orang-orang tidak sekolah,  refleksi Paulo Freire sungguh menjadi sebuah kenyataan. Ternyata banyak kekayaan dan kemampuan mereka, tidak saya miliki dan tidak saya peroleh di bangku kuliah.

Keyakinan pedagogis ini semakin tercerahkan, ketika Uskup Pangkal Pinang menugaskan saya, untuk bersama team Lembaga Pengembangan Komunitas Basis Jakarta, memproses Loka Karya AsIPA, yang wajib diikuti oleh semua imam dan utusan-utusan awam dari paroki-paroki, tahun 2004, di Tanjung Pinang-Riau. Loka Karya AsIPA  itu bagai matahari pagi yang membuka selubung kegelapan malam, karena dengan AsIPA,  segala kecemasan saya untuk membangun KBG, yang telah saya rintis sejak awal tahbisan, 1998, seakan mendapatkan titik terang.  Harus saya akui bahwa ketika berinsiatif mengembangkan KBG demi upaya membangun wajah Gereja Partisipatif, saya hanya menyandarkan diri pada pemahaman filosofis Paulo Freire atas manusia, dengan metode praksis: aksi-refleksi-aksi baru.[19] Akan tetapi ketika mengalami AsIPA, saya semakin disadarkan bahwa KBG bukan sekedar memperkecil sebuah kelompok umat, melainkan justru untuk menumbuhkan jati diri Gereja yang sesungguhnya, dengan empat sifat utamanya, yakni: Satu, Kudus, Katolik dan Apostolik.

Oleh karena itu, di samping pemekaran komunitas kecil, yang terus dilakukan setiap tahun, sehingga Komunitas Basis yang awalnya hanya berjumlah 12 buah, tahun 2003, berkembang menjadi 41 buah, tahun 2007; pemberdayaan AsIPA juga menjadi pilihan pastoral rutin dan visioner paroki,  dengan maksud agar komunitas-komunitas kecil itu bertumbuh menuju Komunitas Basis Gereja, untuk menampilkan Gereja Partisipatif.

Awalnya memang tidak mudah. Reaksi negatip umat bermunculan setiap kali mendengarkan kata KBG. Kejenuhan para calon fasilitator di saat-saat awal memproses modul – modul AsIPA juga menimbulkan kecemasan, karena pendekatan AsIPA mengarah pada  perubahan hidup: dari pendengar pasif menuju refleksi aktip, dari verbalisme semu menuju tindakan refleksif; dari individualisme menuju hidup komuniter; dari hamba ketiga menjadi hamba pertama. Belum lagi suara sinis rekan-rekan imam, yang menganggap AsIPA sebagai program yang tidak layak jual, karena di samping membutuhkan proses waktu yang panjang, AsIPA juga tidak menempatkan imam sebagai guru dan awam sebagai murid, melainkan mengandalkan sebuah proses pembelajaaran bersama sebagai murid Yesus, dalam bimbingan Roh Kudus.

Syukurlah bahwa kesaksian hidup pribadi para fasilitator yang direkrut lewat pemberdayaan AsIPA, dan bagaimana mereka menganimasi umat di komunitas hidupnya, begitu mengagumkan.  Kesaksian hidup dan semangat juang sebagai animator itu telah memperlihatkan berbagai mujisat yang tidak pernah diduga sebelumnya. Walau tidak sempurna, karena Ecclesia est semper reformanda, namun paling kurang dari waktu ke waktu telah terjadi pertumbuhan dari individualisme menuju persekutuan; dari ritualisme menuju iman integral; dari apatisme menuju partisipatif; dari klerikalisme menuju tanggungjawab bersama. Perubahan-perubahan ini, yang muncul melalui proses AsIPA itu,  telah mendatangkan kekaguman dalam banyak hal setelah  bergulat bersama dengan rekan-rekan awam dalam membangun Komunitas Basis.

Sering saya terkagum oleh aksi-aksi nyata hasil pengendapan Sabda Allah komunitas. Sering saya terhenyak oleh komunitas yang membangun komitment bersama untuk  berbahasa Indonesia, hanya karena di komunitasnya ada satu atau dua keluarga yang berbeda suku. Sering saya terkagum oleh semangat pelayanan malam hari, padahal 12 jam mereka bekerja sebagai karyawan pabrik.  Terkadang hati terenyuh mendengar cerita bangga para ibu yang menata hidup dengan jadwal ketat, karena selain suami dan anak, tuntutan menjadi fasilitator komunitas muncul dari dalam diri. Sering saya terkagum atas inisiatif pemekaran komunitas besar, dengan alasan sederhana yakini ibu-ibu yang mempunyai anak kecil kesulitan berjalan kaki mengunjungi rumah yang agak jauh. Sering saya terkagum dengan inisiatif ketua-ketua komunitas yang mengambil dana komunitasnya untuk memperbaiki gedung gereja paroki. Saya juga terkagum dengan keluarga-keluarga di KBG yang selalu menyisihkan uang belanja, dimasukkan di kotak derma yang ada di setiap rumah, sebagai intensio pembangunan Gereja; sehingga pemasukan dari komunitas-komunitas basis ke panitia pembangunan bisa mencapai 40 juta/bulan. Saya juga terkagum dengan materi rekoleksi komunitas yang bertemakan rekonsiliasi dan 18 materi untuk pendirian KBG baru, hasil garapan team KBG yang tak berlatar belakang pendidikan kateketik maupun pendidikan tinggi lainnya.

Kini setelah 4 tahun berjalan, setelah merefleksikan pahit getirnya perjuangan awal, muncul  tiga kesadaran baru dalam diri saya.

  • Saya disadarkan bahwa membangun KBG bukan sekedar memperkecil kelompok. Oleh karena itu KBG tanpa AsIPA (Asian Integral Pastoral Approach) adalah sia-sia. Justru dengan pemberdayaan melalui pola – pola pendektan yang tepat, istilah asing yang sering dikumandangkan Bapa Uskupku, A New Way of Bening Church, menjadi sebuah kenyataan.
  • Saya disadarkan bahwa program-program paroki yang hanya menampilkan aksi-aksi instant penuh bumbu-bumbu penyedap, memang akan mendatangkan hasil yang segera tampak nyata, dan digandrungi banyak umat, tetapi berakibat pada pembentukan umat sebagai pelaku-pelaku pasif non refleksif. Sedangkan program-program pemberdayaan integral, walau menempuh proses panjang, dan mungkin tidak popular, akan membentuk umat yang berspiritualitas, berpartisipasi aktif, karena kesadaran beriman dan meng-Gereja muncul dari dalam.
  • Saya juga disadarkan bahwa ternyata nyala api Roh Kudus akan memicu semangat pengabdian dan pengembangan karunia pelayanan bila rekan-rekan awam diberdayakan dengan pola pendekatan yang tepat.

 

 KBG : Lahan Pertumbuhan Jati Diri Imamat.

Refleksi ini digarap menjelang usia imamatku memasuki perziarahan di tahun ke-10, saat merenungkan imamat Yesus, yang merupakan pintu gerbang Tri hari paskah. Ketika merenungkan perjamuan malam, saat Yesus berkumpul bersama dengan murid-murid yang telah Ia berdayakan dan Ia rekrut untuk mengambil bagian perutusan dalam kesatuan bersama-Nya ke tengah dunia, saya ingat ketulusan, kesucian dan semangat juang para fasilitator, hasil tempaan AsIPA dalam membangun KBG. Saya juga teringat pengalaman-pengalaman iman umat saat sharing injil, dan bagaimana mereka berjuang mewujudkan Sabda Allah itu, di tengah kemelut hidup yang terus menerpa. Perubahan-perubahan hidup umat yang mulai tampak itu, membangun kesadaran saya tentang  KBG sebagai lahan pertumbuhan imamat. Dari permenungan dan pergulatan bersama umat dalam menempuh langkah perziarahan menuju A New Way of Being Church, saya akhirnya mendapatkan gambaran bahwa:

  • Seorang imam diosesan harus memiliki spiritualitas, yang tampak dalam ekaristi, doa, perhatian terhadap sabda, semangat berkurban, kerendahan hati, sehati dan sejiwa dengan uskup sebagai bapaknya, hadir di tengah umat untuk menciptakan komunikasi dengan kaum awam. Melangkah bersama gembala dan umat dalam satu visi adalah langkah yang terbaik untuk menghadapi setiap tantangan Gereja di tengah dunia.
  • Imamatku adalah salah satu Sakramen Gereja, tanda dan sarana yang dikaruniakan Allah kepadaku, supaya maksud Allah mendirikan Gereja-Nya di dunia, yakni communion in communities tidak hanya sebuah konsep teologis yang tak terjangkau oleh umat Allah, melainkan sebuah pengalaman konkret yang bisa dihidupi (KBG). Oleh karena itu, saya harus menempatkan diri sebagai sarana Roh Kudus supaya Roh Kudus memberdayaakan umat-Nya untuk hidup dan bertumbuh menghayati panggilannya sebagai Gereja (AsIPA). Justru imamat kehilangan makna, bila kehadiranku untuk mematikan umat Allah.
  • KBG bukan hanya diperuntukkan bagi umat dalam mewujudkan tugasnya sebagai imam, nabi dan raja, melainkan juga sebagai locus pertumbuhan karunia imamat. Karena justru di tempat inilah, imam tampil sebagai gembala untuk mengambil peran aktip sebagai inspirator, animator, dan fasilitator utama; membangun komunikasi iman melalui sharing yang bertolak dari inspirasi Sabda Allah; serta tempat merayakan, menimba cinta dan menumbuhkan spiritualitas Tubuh Kristus yang terbagi, setiap kali merayakan ekaristi bersama setiap bulan.
  • Rumahku adalah Keuskupan. Oleh karena itu, pengurbanan diri untuk membangun Gereja Lokal dalam kesatuan visi dengan Uskup, haruslah merupakan cara hidup yang membathin dalam hidup dan pelayananku. Setia melaksanakan tugas sebagai imam, seraya meninggalkan tugas sebagai guru dan gembala, hanya akan menempatkan diriku sebagai pencipta problem dan bukan sebagai pembawa solusi. Ya, cinta akan rumahku menghanguskan daku.

References:

[1] Di halaman belakang buku Journey Together,tertulis sebagai berikut “The Church in Asia will have to be a communion of communities, where laity, religious and clergy recognize and accept each other as sisiters and brothers. They are called together by the word of God, which, regarded as a quasi-sacramental presence of the Risen Lord, leads them to form small Christian Communities….There, they pray and share together the Gospel of Jesus, living it in their daily lives as they support one another and work together, united as they are “in one mind and heart”.

[2] Dalam kunjungan kegembalaan ke sebuah paroki, Bapa Uskup mengumpamakan Gereja kita sekarang bagaikan seseorang yang sangat gemuk. Karena sangat gemuk, maka hampir semua organ tubuh kurang berfungsi maksimal.  Hanya jantung yang menjadi organ vital untuk menghidupkan seluruh tubuh. Akibatnya, jalan menjadi lambat, banyak penyakit bersarang, mudah stroke, dll.  Gereja sebagai Tubuh Kristus juga dalam kondisi yang demikian. Organ yang bekerja kerasa hanya Uskup dan imam. Umat sebagai penonton yang pasif. Oleh karena itu supaya kondisi Tubuh Kristus menjadi sehat, dibutuhkan perampingan, supaya semua organ berperan maksimal sesuai dengan fungsinya. Dengan itu gerak Gereja dalam tugas perutusannya di dunia menjadi maksimal. KBG adalah cara baru menuju tugas perutusan Gereja itu.

[3] Di Keuskupan Pangkalpinang, 90% imam adalah imam Diosesan. Oleh karena itu, hampir semua paroki dilayani oleh imam diosesan.

[4] Jumlah imam di Keuskupan Pangkal Pinang, hampir 40 orang.

[5] Keluhan yang sama saya alami juga ketika terlibat dalam Loka Karya AsIPA di Keuskupan  Dili, 2005, Keuskupan Timika, 2006 maupun Keuskupan Agung Makasar, 2007. Dalam tiga  kali loka karya itu, hanya segelintir kaum tertahbis yang terlibat sebagai peserta. Apatisme ini yang sering menimbulkan konflik antara imam dan awam, karena visi hidup meng-Gereja yang berseberangan.

[6] Lih. Ecclesia de Eucharistia, art. 6

[7] Lih. Pastores Dabo Vobis, art. 12

[8] Bdk. Christi Fideles Laici, art. 22. 23.

[9] Bdk. Konsili Vatikan II, Dekrit tentang Pelayanan dan Hidup Para Imam, art. 2. Bdk. Juga Pastores Dabo Vobis, loc. cit.

[10] Lih. Konsili Vatikan II, Dekrit tentang Pelayanan dan Hidup Para Imam, loc.cit

[11] Bdk. Codex, art. 515.

[12] Bdk. Program-program bagi Pelatihan Jemaat Kristiani, modul C6.

[13] Lih. Parish Pastoral Council, hal. 13-14.

[14] Bdk. Christi Fideles Laici, art. 25.

[15] Bdk. Dekrit Pelayanan dan Kehidupan Para Imam, art. 2. Juga Christi Fideles Laici, art. 26.

[16] Bdk. Hidup Meng-Gereja secara Baru di Asia, hal. 74-75. Bdk. Juga Marilah Melangkah Maju Dalam Persaudaraan, hal. 68-74.

[17] Lih. Marilah Melangkah Maju Dalam Persaudaraan, hal. xiii-xix.

[18] Lih. Gereja di Asia, art. 25.

[19] Paulo Freire menegaskan bahwa aksi tanpa refleksi hanya akan menciptakan aktivisme naif. Refleksi tanpa aksi hanya akan menciptakan verbalisme semu.

Related Articles

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.