JALAN SALIB POLITIK
Opini
Oleh: Poya Hobamatan
Politik lagi menjadi trending topic. Sejak pergantian waktu dari tahun 2018 menuju 2019 yang baru dilintasi tiga bulan ini, politik seakan menghipnotis pikiran dan hati manusia Indonesia, sehingga semua aktivitas mulai dari kata sampai tindakan senantiasa dikaitkan dengannya; mulai dari yang jujur sampai yang bohong, bukan hanya di kalangan para politisi yang merebut kursi, tetapi juga kepada siapa saja yang punya kepentingan, dan merambah kemana saja tanpa peduli apakah ruang religius atau profan.
Begitu popular dan magisnya politik sehingga mimbar sabda dan podium kampanye sulit dibedakan; kegiatan pastoral dan kegiatan politik tampak sama warna; kunjungan pastoral dan kunjungan kampanye seakan satu paket. Lebih dari itu, politik ternyata mampu mengubah perilaku: yang sebelumnya urakan, tiba-tiba bermaetamorfosis dengan penampilan necis, yang sebelumnya tak jelas di mana, tiba-tiba menjadi aktivis Gereja; yang sebelumnya tak punya kepedulian tiba-tiba menjadi malaikat; bahkan KBG yang sebelumnya tak menjadi basis pastoral tiba-tiba dikunjungi secara rutin dengan jadwal yang sangat rapih, dengan alasan doa, tetapi ujung-ujungnya minta dukungan. Team sukses pun tak kalah strategi membungkus identitas dengan busana kerawam.
Apakah dengan itu sehingga istilah sakramen politik menjadi booming tiga bulan ini? Tak diketahui pasti, karena Dr. Edy Kristianto, pencetus istilah sakramen politik, memang menggunakan istilah itu untuk menegaskan politik sebagai sarana penyelamatan demi bonum commune. Sebagaimana inkarnasi Kristus dalam kepengapan dunia untuk menyelamatkannya, demikian juga politik haruslah memiliki roh yang sama. Namun istilah sakramen politik sebagaimana menjadi booming tiga bulan ini, terasa kontra makna sebagaimana dimaksud pencetus awal, karena tampak sekedar digaungkan oleh team sukses untuk menggalang massa menyukseskan calon legislator sesuai selera orang tertentu.
Bagaimana mengimbangi penyalahgunaan istilah mulia itu dalam kondisi carut marut yang diciptakan kaum machavelian itu? Jalan Salib politik adalah jawabannya. Jalan Salib Politik memang belum ada dalam diskursus teologi, namun istilah ini sengaja diangkat untuk menegaskan bahwa politik sebagai sakramen bonum commune, butuh orang yang tepat, yang kualifikasi personalnya memenuhi standard di semua lini, dan bukan sekedar berdasarkan mayoritas suara pemilih.
Memang benar bahwa ukuran keterpilihan, dalam sebuah Negara demokrasi, pada akhirnya ditentukan berdasarkan suara terbanyak, namun suara terbanyak tak bisa menjadi indicator yang menjamin kualitas orang yang dipilih. Disinilah letak masalah. Bila pilihan hanya mengutamakan mayoritas suara seraya mengabaikan kualitas calon terpilih, maka tujuan politik dengan sendirinya tak akan tercapai, karena hambatan kualitas personal yang tak sanggup menjadi sakramen bonum commune itu.
Mungkin karena itulah, Jhon Baptista Metz (1928), teolog katolik dari Universitas Munster Jerman, Bapa pendiri teologi politik, menegaskan bahwa kemampuan berpolitik menuju bonum commune hanya bisa diperjuangkan oleh mereka yang memiliki kepekaan akan penderitaan dan sengsara orang-orang yang senyap. Tanpa kepekaan itu, apalagi menjadikan politik sekedar alat meraih kuasa, sebagaimana gagasan Nietzche sang ateis itu, maka pada saat yang sama, politik kehilangan taji sekaligus kehilangan makna.
Bagi Metz, sebagaimana penderitaan manusia menjadi alasan keselamatan Allah, sehingga Gereja menjadi sakramen dasar bagi Allah untuk tugas perutusan itu; demikian pula politik sebagai penjelmaan tugas perutusan Gereja hanya bisa dimungkinkan, bila penderitaan dan sengsara manusia menjadi alasan untuk terjun ke dalamnya, kendati harus berdarah-darah. Ketika politik sekedar sebuah kamuflase untuk berkuasa dari orang-orang yang tak memiliki kepekaan terhadap penderitaan manusia senyap, sehingga calon politisi yang bertarung juga tak jelas darimana asal usulnya, apalagi dalam kehidupan nyata pernah menjadi pebisnis rente atas kaum papa, sebagaimana terjadi dalam kasus Base Camp dan Taroka; atau bila politisinya sekedar boneka yang dipaksa naik oleh pebisnis kelas kakap demi melindungi bisnisnya, maka konstruksi politik tak kongruen dengan misteri inkarnasi, selain demi memapankan kuasa dan demi meraup rente.
Inilah fenomena politik menjelang pileg yang tinggal menghitung hari. Berbagai wajah caleg berhamburan di persimpangan, berbagai isu primordial mulai dihembus, berbagai hoaks mulai disebar. Begitu gencarnya, sehingga kemampuan untuk membedakan antara fakta dan fiksi tampak sangat lemah. Dalam kondisi seperti ini, Gereja bagai berada di persimpangan, kebingungan seakan tak tahu ke mana arah, sehingga yang tampak adalah pertarungan antara blok kuasa dan pencari rente dengan blok yang diharapkan menjadi sacramentum salutis (sakramen keselamatan).
Dengan berkerumunnya banyak caleg katolik untuk meraih suara pemilih katolik yang notabene hanya sedikit, muncul pertanyaan kritis, apakah memang para caleg katolik ini memiliki jiwa inkarnasi dan memiliki visi? Atau justru mereka sedang digelorakan oleh jiwa kuasa Nietzche, yang melihat agama sebagai obat bius, sehingga belum apa-apa sudah membuat janji surga untuk sejenak menghilangkan sakit dan kepedihan hidup masyarakat sengsara, demi meraup suara kemudian menelantarkan mereka, sehingga kaum papa seakan tetap dipenjara untuk tak memiliki keterwakilan di gedung rakyat?
Dalam kondisi persimpangan politik seperti ini, di tengah gempuran suara para imam dan farisi dan sekelompok masyarakat Yahudi; hanya satu jalan yang ditempuh: Jalan Salib Politik. Jalan Salib Politik itu memang berjuang berdarah-darah tanpa harus menghalalkan cara, berusaha sekuat tenaga untuk menyembuhkan masyarakat yang terlanjur menghirup obat bius Nietzche, seraya mengajak mereka untuk berani berdarah-darah pula, agar dengan budi dan hati nurani memilih orang yang tepat; orang yang tak menggunakan politik sebagai bisnis, selain sebagai jalan untuk menghayati jati diri sebagai pengikut Kristus untuk mengekpresikan jiwa inkarnasi Allah, karena didorong oleh rasa peka dan solider terhadap kesenyapan orang-orang sengsara.
Tolok ukur untuk memilih caleg-caleg, dalam bingkai jalan salib politik itu, sesungguhnya tak terlalu sulit. Calon yang diduga dan dikaji hanya untuk mencari kenyamanan privat, sehingga dipastikan bahwa setelah merebut kursi akan melepaskan salib dan menyerahkannya kembali kepada kaum sengsara adalah calon yang tak layak dipilih. Sebaliknya mereka yang dipastikan memiliki jiwa solider karena berpegang pada bonum commune, dan dipastikan tak akan menyerahkan salib, selain memikulnya, kendati harus berdarah-darah; itulah calon yang layak untuk dipilih. Calon ini layak dipilih karena tak lagi memikirkan dirinya, selain menjadikan politik sebagai jalan mengekspresikan iman di ruang publik, demi menyuarakan rintihan suara orang-orang senyap yang tak sanggup bersuara. Begitulah Jalan Salib Politik.
Tiban, Rabu Pra Paskah
Poya Hobamatan