Sore itu tatkala tetesan bulir-bulir langit tercurah ke bumi, dibalik bilik kecil, anganku merenung, nalarku berkelana, naluriku merengsek ke setiap ruang dan waktu, menjelang detik-detik akhir pergulatan antara Aku Berjubah dan Aku tidak Berjubah.
“aku ingin menjadi pelayan-Nya” gelora hati berkata. “ oh..tidak bisa, kamu kan “kaum terkalahkan”,bentak nalarku. “ kog begitu, bukankah bagiNya tidak ada istilah kaum terkalahkan, kaum pendosa dan rentetan gema negatif?” tantang hatiku. “ ya sih, tapi inikan sebuah panggung, sebuah kancah pertarungan sekaligus pembuktian ikatan emosional” beber nalarku. “ ahk.. sudahlah apa pun itu, aku akan tetap berjuang demi sebuah nilai kesucian dan penyucian insani sekaligus rohani” gumam hati nyaris tak terdengar.
Bersama meringkuknya sang mentari ke peraduannya, Aku pun terlarut dalam suasana malam nan gelap. Ditemani suara jangkrik, nyamuk dan laron Aku terbuai dalam hayalan bermakna, yang akhirnya mengantarkanku ke alam bawah sadar berhias mimpi-mimpi.
Malam berganti Siang, Aku harus mengarungi lautan biru, menyeberangi pulau demi pulau dan menerobos gelombang-gelombang laut musim utara bersama team karya dalam Kapal tak berkompas. Teriknya udara laut, goncangnya badan kapal, Aku terus berpacu dalam sebuah kesadaran untuk memilih dan memilah antara Aku Berjubah dengan Aku tidak Berjubah.
“sudahlah kawan, kau tak akan sanggup menapak jejakNya dengan seonggok permasalahanmu”cegah nalar kecilku. “ bukankah tidak ada yang mustahil bagiNya, meski dosa lara menerpamu” protes hatiku. “tapi kau cacat kawan, cacat dari pelbagai sudut pandang insan-insan “berpengaruh”, intinya kau tak layak kawan, sadari itu!” “lihatlah laut nan biru yang sedang bergelora, ketika kau jatuh kedalamnya maka kau tak berpengharapan lagi, bahkan lebih sadis dari kematian normal” celoteh sang nalar. “hehe.hehe…jika kau yakin dengan pilihanmu, lanjutkan saja” usul sang hati.
“Lempar tali… di pancang dermaga itu” teriak sang kapten pada anak buah kapal. Teriakan itu menyentakku bahwa kami telah sampai di pulau tujuan, dan siap memberi kasih pelayanan pastoral kepada insan-insan sederhana namun penuh dedikasi keimanan yang melebihi diriku. Kapal pun bersandar di dinding dermaga dengan mantapnya. Sosok-sosok akrab yang telah saling mengenal menjemput kami, menyapa kami dengan canda nan riang, seolah berjumpa dengan “Tuhan”. Kami tertawa ringan, saling kagum. Bahwa kami bak pejabat teras yang dinanti-nanti kedatangannya. Bedanya, sambutan mereka tanpa iming-iming, janji-janji manis.
Waktu bergulir dalam irama stabil, memetik melodi harian dan menabuh genderang pengharapan bahwa mengikuti jalanNya adalah keindahan tanpa batas. Keindahan yang melahirkan sebuah keyakinan. keyakinan yang menuntut totalitas. totalitas tanpa pamrih dan gaji.
“kawan, kau lihatlah betapa kehadiranmu sangat dinantikan oleh banyak orang. kau pasti bisa dalam ketakberdayaanmu. Kau harus yakin bahwa ini bukan profesi tapi rahmat” diplomasi sang hati. “ siapa bilang bukan profesi? Kau lugu banget, asal kau tau saja bahwa itu profesi yang terbungkus. Rahmat yang terbingkai dalam sebuah frame penilaian.” sanggah sang nalar.
Dentum perdebatan antara hati dan nalar tak terhindarkan, kecamuk antara Aku Berjubah dengan Aku tidak Berjubah berlarut. Seolah tengah berdiri dipersimpangan jalan antara energi Ying dan Yang, sulit menentukan pilihan. Mungkin Aku sedang berada pada disposisi batin, antara afeksi dan rasionalitas. Antara ingin dan takut. Antara tak sanggup dan tak diinginkan. “ ya begitulah kawan, sadar toh? Heheh….. itu baru sebutir debu dari sepiring kerikil tersaji.” ejek sang nalar puitis. “ waduh…sudah biasa mas bro menikmati hidangan berkerikil dan bahkan sering nambah kok dengan sepanci padas” bantah sang hati tak mau kalah. “ kau mungkin punya idealisme, spritualisme, dan bahkan semagat pelayanan pastoral yang tulus, setidaknya itu modal yang menjanjikan, tapi harus ingat juga mutu intelektualitasmu yang masuk kategori ambruk, pasti tidak mungkin bagimu untuk bisa mengakomodir sekaligus menyelesaikan fenomena keragaman pastoral” celoteh nalar nakalku. “ ee…ee…ee…., ingat dong bahwa Sang Almasih membutuhkan orang-orang yang lemah, sakit dan yang tidak diperhatikan manusia lain untuk sekedar memegang jala pelayanan, kalaupun tidak bisa menebarkan jalaNya” tandas si hati.
“Hidup adalah perjuangan, perjuangan tanpa batas, batas namun tak bersekat itulah hidup sejati, kesejatian hidup tertuang dalam perjuangan melawan kesombongan intelektual dan material. Melawan keangkuhan kedudukan, kenyamanan jabatan, kesempurnaan fasilitas serba lux.”
“Emang sih sulit mengaplikasikan iman dan kasih pastoral secara nyata, tapi paling tidak bisa memberi dari kekurangan, minimal spiritualitas janda miskin harus dikedepankan.” Adu argumen nalar dan hati semakin mendasar”.
Aku terdiam seribu bahasa, merenung sejuta makna, mencoba mengais sisa-sisa inspirasi suara hati yang mungkin masih tercecer. Riuh suara pelepah-pelepah nyiur, hembusan angin-angin laut, Aku menemukan sebuah keniscayaan. “eureka”teriakku bak seorang filsuf yang baru menemukan ide baru. De facto, Aku baru saja menemukan sebutir kepastian dibalik bongkahan padas kebingungan. Aku Berjubah adalah sebuah anugerah Ilahi yang tak terbeli oleh nominal manapun.
Anugerah yang tak terjual lewat kurs transfer apa pun. Semata anugerah yang berahmat yang terberi bagi insan berhati suci. Apapun alasan,sanggahan, ketakutan, dari siapapun tidak akan mempengaruhi bahkan tidak bernilai sedikitpun di mata Nya.
Aku tidak Berjubah, merupakan sebuah pilihan dari kesadaran akan keterbatasan insani, dan kegagalan pengolahan afektifitas yang bertanggung jawab. Kini Aku sungguh hadir dalam kenyataan diri sic et nunc. Aku seolah terlepas dari belenggu kebimbangan, diturunkan dari salib ketakberdayaan untuk memilah dan memilih.
Antara Aku Berjubah dan Aku tidak Berjubah kutemukan makna untuk mengenalNya dan memperkenalkanNya dalam hidupku. Hati dan nalarku pun telah berjabat membentuk bingkai hati penuh damai untuk seiring melangkah jejak pada jalan kehidupan.
Genggaman tali kasih, telah membungkus perjuangan diantara dua dunia; berjubah dan tidak berjubah. Menerobos tradisi kecemasan atas penolakan sosial, degradasi dari lini strata akan nyata. Namun bukan itu yang dikejar, KasihNya melalui balutan jubah melebihi semua yang ada. Antara berjubah dan tidak berjubah terpampang nyata sentuhan tangan Sang Khalik. Hidup menuntut kepastian pilihan. Pilihan kepastian itu hanya satu. Satu itu tidak terbagi namun fokus. Dan kini Aku bukanlah Aku [ tidak] lagi berjubah, melainkan Aku tidak berjubah.