AWAL tahun 2020 ini, bangsa Indonesia dipaksa berhadapan dengan kenyataan yang tidak mengenakkan. Isu intoleransi atas nama agama kembali menyeruak ke permukaan publik dengan dramatisasi aksi penolakan pembangunan rumah ibadat oleh segelintir masyarakat yang berafiliasi dengan berbagai aliansi ormas keagamaan.
Salah satu konflik intoleransi yang terjadi adalah di Minahasa Utara, pada 29 Januari 2020 silam yakni perusakan tempat ibadah umat Muslim di Perumahan Griya Agape, Desa Tumaluntung, Kecamatan Kauditan, Kabupaten Minahasa Utara; dan tindakan intoleransi kedua adalah adanya aksi penolakan sekelompok warga yang mengatasnamakan Forum Umat Islam Bersatu (FUIB) yang menolak renovasi Gereja Katolik Paroki Santo Joseph-Tanjung Balai Karimun, Kepulauan Riau, pada 6 Februari silam, kendati upaya renovasi Gereja Katolik itu telah mengantongi Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang diterbitkan Pemerintah Kabupaten Karimun 2 Oktober 2019.
Pertanyaan kemudian muncul dalam ruang pikir kita adalah, bagaimana kita menimba pelajaran dari kasus-kasus tersebut? Bagaimanakah masyarakat Indonesia memaknai dan membumikan makna toleransi tanpa harus terpancing dan bersikap reaktif?
Tulisan ini bermaksud untuk melihat fenomena kerukunan beragama dari tiga sisi, yakni membedah jaminan konstitusional yang ditegaskan kembali oleh Presiden ketika mengambil sikap dalam mengatasi dua kasus di atas; mencoba mengurai visi transformasi agama; dan menggunakan pendekatan rasional dalam mengurai persoalan tersebut.
Jaminan Konstitusional
Keika menjawab pertanyaan wartawan di istana negara mengenai kasus intoleransi di atas, Presiden Jokowi menanggapi dengan kalimat berikut: “Ini masalah intoleransi, saya kira udah berkali kali saya sampaikan bahwa konstitusi kita itu menjamin kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadat sesuai dengan kepercayaannya, “ Jelas itu. Konstitusi kita memberikan payung kepada seluruh masyarakat. Hal yang berkaitan dengan gereja di Karimun, Tanjung Balai, maupun masjid yang di Minahasa Utara, harus dirampungkan karena jadi preseden yang tidak baik dan bisa menjalar ke daerah lain,” tegas Presiden.
Membedah pernyataan Presiden di atas, kita dapat menelusuri bahwa di Negara kita, jaminan konstitusional terhadap hak ini muncul antara lain dalam Pasal 28 (e) ayat 1 dan 2 UUD 1945 hasil amandemen. Pasal itu menyebutkan: (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. (2) Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. (3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
Secara normatif, ketentuan dari pasal ini menjadi legitimasi yuridis bahwa kebebasan beragama dan tidak beragama pun mendapat jaminan. Tidak hanya itu, bahwa agama apa pun sejatinya mendapat pengakuan dari negara. Ini dikarenakan ekspresi keberagamaan dan berkeyakinan warga negara mendapat jaminan yang setara dari negara. Kalau dilihat korelasinya dengan konstitusi PBB, maka pasal ini sesungguhnya merupakan ekuivalen dengan pasal 18 ICCPR.
Jaminan konstitusional berikutnya dapat dilihat dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Dengan ratifikasi itu, maka Indonesia menjadi Negara Partai (State Parties) yang terikat dengan isi ICCPR.
U No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memberikan landasan normatif bahwa agama dan keyakinan merupakan hak dasar yang tidak bisa diganggu gugat. Dalam pasal 29 ditegaskan: (1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. (2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Guna menjamin tegaknya konstitusi tersebut, Presiden telah menginstruksikan kepada Kapolri Jenderal Pol Idham Azis dan Menkopolhukam Mahfud MD untuk menindak tegas siapa pun yang bersikap intoleran.
“Saya perintahkan Menkopolhukam, Kapolri untuk menjamin terlaksananya kebebasan dalam beribadah dan tindak tegas kelompok atau masyarakat yang mengganggu, sesuai dengan jaminan konstitusi,” kata Jokowi.
Namun, seperti kita lihat di akar rumput, tak semua masyarakat memahami jaminan konstitusional itu dengan baik, dan lebih miris bahkan Pemerintah Daerah yang adalah leading sektor dan merupakan representasi dari Pemerintah Pusat, terkesan gagal mengamalkan amanat konstitusi tersebut, sebagaimana kronik Presiden pada beberapa waktu lalu lalu.
“Mestinya daerah bisa menyelesaikan ini. Tapi saya lihat karena tak ada pergerakan di daerah, saya perintahkan Menkopolhukam, Kapolri, tegas ini harus diselesaikan baik berkaitan dengan gereja di Tanjung Balai maupun masjid di Minahasa Utara”.
Merawat Visi Transformasi Agama
Maraknya tindakan intoleransi atas motif apa pun seakan menjadi pertanda hilangnya visi transformatif agama. Tindakan-tindakan intoleransi ini sekaligus menggugat bahwa kendati kita hidup sebagai manusia beragama, tetapi sama sekali tidak memiliki visi untuk mengubah dan membumikan ajaran agama.
Visi transformatif agama yang saat ini mulai pudar dan mendegradasi tatanan hidup berbangsa ini harus disikapi dengan mengumandangkan pesan-pesan luhur agama masing-masing yang penuh dengan nuansa edukatif, kritis dan pengawasan sosial. Untuk menyampaikan pesan edukatif, tiap agama memiliki para fungsionaris seperti para pemuka agama, tokoh-tokoh pluralis, ormas-ormas keagamaan serta elemen masyarakat agama lainnya.
Visi-visi transformasi agama tersebut sudah barang tentu harus dikembalikan sebagai jalan untuk menegaskan misi agama yang toleran dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Dengan demikian, sejatinya paradigma yang digunakan dalam memahami konflik juga harus melibatkan perubahan dalam memandang dan memfungsikan agama di ranah publik.
Jika kita bermaksud untuk menjadikan agama sebagai media melakukan semangat toleransi, maka teladan dari pemuka agama, ormas-ormas keagamaan serta masyarakat beragama penting untuk diwujud nyatakan bukan justru tampil di hadapan publik (Demonstrasi) dengan mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang justru mengokohkan keeklusifan dari umat yang kemudian bermuara pada keyakinan bahwa kelompok-nyalah, agama-nyalah yang paling mendekati sorga.
Kita harus sadar bahwa setiap agama mempunyai potensi keeklusifan yang destruktif pula. Tugas para pemuka agama adalah berdiri di depan umatnya dengan memberikan ajaran iman dan moral yang benar serta mereduksi kesempitan perspektif tentang keselamatan, yang sering menjadi biang terciptanya segregasi sosial atas nama Tuhan.
Upaya Rasional Mereduksi Intoleransi
Isu-isu yang berbau suku, ras dan agama (SARA) sudah sangat laten mendeterminasi dan mendominasi alur kehidupan masyarakat Indonesia. Isu-isu ini merebak bias dan telah beredar melalui berbagai bentuk dan cara yang masif, out of control, kasar, brutal serta mengangkangi batasan moral-etis.
Mengemukannya isu ini bahkan telah menggeser jauh isu-isu lain yang sebenarnya mendesak untuk dicermati dan dibahas, seperti: korupsi, transparansi, kenaikan harga sembako, kesenjangan sosial ekonomi, pelayanan publik, kinerja kaum eksekutif, yudikatif dan legislatif, keamanan negara, dan pelaksanaan demokrasi.
Sebagian masyarakat begitu mudah tergiring, terprovokasi dan teragitasi oleh isu-isu ini sampai gagal fokus pada kegiatan-kegiatan untuk memenuhi kebutuhan vital kesehariannya. Sementara pada pihak pemerintah sebagian energinya terkuras untuk meredam potensi-potensi konflik yang bisa saja meletus selepas munculnya isu-isu berbau SARA tersebut.
Pada sisi lain, sepertinya bangsa Indonesia mau dipreteli baju kebhinekaannya dan coba dikenakan dengan baju lain yang berlabel agama, tunggal, seragam, monokultur dan monolitik.
Penulis menduga ada dua hal yang dapat ditelisik sebagai pemicu potensial tentang mengemukanya isu SARA sebagai jajanan laris manis saat ini, yaitu: Pertama; Muncul anomali kebangsaan, di mana pada satu pihak Indonesia dikenal sebagai bangsa yang berbhineka, tetapi pada pihak lain gerakan-gerakan monokulturisasi, monopolitisasi dan bahkan transnasionalisasi oleh golongan ideologis tertentu semakin menguat eksistensinya. Gerakan-gerakan ini sepertinya semakin masif, sistematis, terstruktur, sporadik, dan ada kesan negara `kalah’ berhadapan dengannya.
Bila nanti negara benar-benar kalah oleh gerakan-gerakan ini berarti semboyan kebhinekaan akan perlahan-lahan runtuh dan kemudian hanya tinggal kenangan. Sungguh sayang, apabila karakater dan identitas `kemajemukan yang mempersatukan’ ini justru pudar hanya dalam sekejap mata saja oleh kepentingan gerakan ideologi sektarian.
Kedua; sepertinya rasionalitas kebangsaan sedang berada pada grafik tajam menuju titik nadir. Ketika bangsa lain begitu bersemangat memberdayakan segala potensi diri dan alam lingkungan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakatnya dan mungkin kesejahteraan masyarakat bangsa lain, atau ada bangsa yang sedang memikirkan kemungkinan kehidupan di planet lain; bangsa Indonesia masih harus berkutat dengan bisnis emosionalisme, primordialisme, irasionalisme dan dikotomisme.
Mirisnya, di saat sedang berusaha mengejar ketertinggalan pembangunan dari negara lain, justru sebagian besar energi dan modal bangsa terkuras untuk mengurus hal-hal yang sifatnya non-substansial, elementer, dan parodial semata.
Rupanya hembusan angin postmodern dan tren revolusi pengetahuan untuk bangsa Indonesia hanya merupakan klaim artisifisial saja, sebab belum sepenuhnya dituruti dalam bentuk pola berpikir dan pola berperilaku. Sementara derajat pengetahuan yang paling tinggi sudah terekspresi jelas dalam peradaban kehidupan dan kebudayaan bangsa, di mana urusan-urusan emosional,, primordial, irasional dan dikotomis tidak lagi mengganggu kehidupan masyarakatnya.
Bercermin pada bangsa-bangsa yang sudah maju dejarat pengetahuannya, perkara monokulturalisme, emosionalisme, primordialisme, irasionalisme dan dikotomisme ini sudah diselesaikan pada setengah abad yang lalu.
Mereka sudah dengan cerdas menilai bahwa kecenderungan-kecenderungan itu sudah tidak relevan dan kontributif, bahkan dipersepsikan sebagai penghambat dalam pembangunan negara bangsa. Padahal, seturut perspektif pembangunan negara bangsa, salah satu tonggak penting dalam membangun adalah rasionalitas dan kritisitas masyarakatnya, di mana mereka dengan segenap kemampuan akal budi dan kecerdasan sosial emosionalnya membantu pemerintah dalam merealisasikan program-program pembangunan.
Kuatnya rasionalitas dan daya kritis pada masyarakat pembangun membuat mereka menanggalkan berbagai bentuk sentimen bernuasa kedaerahan, ras, suku dan agama, melepas diri dari cara berpikir parsial dan fragmentaris. Perbedaan dalam segala bentuknya sudah tidak menjadi halangan untuk menyatukan komitmen dan tanggung jawab dalam membangun bangsa yang sejahtera dan beradab.
Pada gradasi kepentingan inilah saya berani bersumpah bahwa rasionalitas masih menjadi sesuatu yang ideal untuk masyarakat bangsa pembangun seperti Indonesia sekarang ini. Tentu, saya tidak berpretensi untuk menglorifikasi rasionalitas dan lantas menafikan komponen-komponen lain dalam membentuk peradaban masyarakat sehingga terjebak pada kecenderungan rasionalisme.
Namun bila memahami dan menyikapi secara jernih konteks kekinian Indonesia, rasionalitas masih menjadi garansi utama dan entry point dalam usaha melepas masyarakat dari belenggu emosionalisme, primordialisme, irasionalisme dan dikotomisme yang dilansir sebagai penghambat kemajuan kehidupan berbangsa.
Sebab, bila berpikir lebih progresif dan inklusif, Indonesia `das sollen” sudah menjadi bangsa yang jauh lebih maju dan beradab dari bangsa lain, karena segala macam kekayaaan yang terkandung pada manusia, alam dan lingkungan budaya multikulturalnya.
Namun semua itu sudah dan akan mengalami kendala dalam pengelolaan dan pengembangannya ketika rasionalitas belum sepenuhnya merambah secara optimal pada berbagai matra kehidupan masyarakat. Prasyaratnya, bila Indonesia tetap ingin menjadi bangsa yang berharga dan bermartabat di mata dunia dan dalam dirinya sendiri, maka conditio sine qua non harus tetap menegakkan tonggak-tonggak rasionalitas melalui berbagai aktivitas, antara lain: persekolahan, pemberdayaan, pelatihan, kegiatan-kegiatan literatif, dan diskursus. Khusus dalam dunia pendidikan, aktivitas-aktivitas ini sedapat mungkin dimulai sejak dini dan berkelanjutan sampai pada tingkat pendidikan yang paling tinggi.
Menurut Habermas (Suseno, 2005), salah satu karakter dari masyarakat yang beradab adalah tingginya kandungan rasionalitas yang terderivasi dalam dua dimensi, yaitu dimensi kognitif-teknis dan dimensi moral-komunikatif. Dimensi kognitif-teknis berkaitan dengan kemampuan warga bangsa dalam mencermati dan menyelesaikan berbagai masalah sehingga tidak terus menerus mengganggu kehidupannya.
Masalah tersebut dipecahkan dengan mendiskusikan secara bersama, mencari alternatif jalan keluar, dan menyusun program-program praksis sebagai tindak lanjutnya. Yang menjadi istimewa dari dimensi kognitif ini, ketika berdiskusi segala bentuk prasangka, stereotip, eksklusivisme, dan intoleransi dikandangkan alias tidak mendapat tempatnya.
Dalam asas kesetaraan dan persamaan hak, mereka betul-betul fokus pada penyelesaian masalah untuk kepentingan hidup yang lebih baik dengan mengandalkan kemampuan berpikir logis, analitis dan etis serta sedapat mungkin menghindari cara-cara kekerasan.
Sementara dimensi moral-komunikatif berhubungan dengan upaya-upaya mencapai kesepakatan atau konsensus dengan orang lain tentang banyak hal dalam berbangsa, dengan mengedepankan komunikasi yang dialogis dan emansipatoris.
Komunikasi yang dialogis dan emansipatoris ini memungkinkan adanya saling memahami, mengerti, mendukung dan melindungi antara warga bangsa dari segala bentuk dominasi dan determinasi oleh kelompok/golongan ideologis tertentu yang berusaha merongrong sendi-sendi kehidupan bangsanya (Bertens, 2002).
Untuk menangkal dan melemahkan kekuatan-kekekuatan ideologis yang mengancam kedamaian dan ketenangan berbangsa tersebut, tentu yang ditonjolkan bukan lagi kekuatan otot/fisik, tetapi kemampuan dan keterampilan logis, analitis, etis dan senantiasa mengedepankan komunikasi yang dialogis dan emansipatoris. Ayolah, saya kira belum terlambat untuk memelihara, meningkatkan dan menegakkan tonggak-tonggak rasionalitas demi mengembalikan martabat dan harga diri bangsa yang sudah mulai tercabik.
[Atanasius Anlly 17.02.2020]