OOST-INDISCH DOOF
Ul. 6:2-6;Ibr. 7:23-28;Mrk. 12:28b-34.)
Oleh: RD. Ferdinandus Meo Bupu, Imam Keuskupan Pngkalpinang
Dalam dunia tayangan ada groupnya Sule ada peran Haji Bolot sebagai Pak RT. Kekhasan perannya adalah bolot alias pembicaraan tidak nyambung karena pendengaran terganggu. Ada kekecualian, sensor pendengaran Haji Bolot akan normal kalau yang dibicarakan adalah uang atau yang berbicara itu wanita. Dan itu menjadi lucu.
Romo Mangun mencatat cerita bahwa pada zaman dahulu, orang Belanda punya suatu cap bagi bangsa Indonesia, yang pada masa itu disebut Bangsa Hindia Timur. Cap itu adalah “Oost-indisch doof,” yang berarti “tuli seperti orang Hindia-Timur.” Perkataan Oost-indisch doof diartikan untuk menunjuk ke seseorang (biasanya pelayan/jongos) yang sungguh-sungguh sadar, bahwa ia dipanggil, tetapi karena tak senang ditambahi pekerjaan, pura-pura tidak mendengar. Dan saat sang Tuan marah, mereka hanya beralasan, “maaf Tuan, saya tidak mendengar perkataan, Tuan.”
Antara Haji Bolot dan Oost-indisch doof ada suatu pertalian. Alat pendengaran secara medis pada dasarnya tidak ada gangguan. Mereka punya telinga dan pendengarannya baik, tapi memposisikan diri sebagai orang tuli; tak mau mendengar. Namun menjadi jenaka oleh alasan berpura-pura tidak mendengar karena malas diberi tugas. Seperti dagelan Haji Bolot, menjadi sangat menghibur penonton ketika pura-pura tak mendengar atau berperan tuli, namun ketika mendengar kata uang, ia bertanya, “uang? mana?” Jadi persoalannya bukan berfungsi atau tidaknya organ pendengaran, tetapi apa yang mengendalikan pendengaran itu dan apa sesungguhnya yang mau dicapai.
Mengamati karakter Bangsa Israel sepanjang hidupnya, Musa memutuskan supaya sebelum Bangsa itu masuk ke Tanah Terjanji, dipastikan dulu bahwa mereka tidak akan bisa hidup di Tanah yang penuh susu dan madu itu kalau tidak memiliki disposisi hati, komitmen yang jelas dan benar. Maka, Musa mengulangi seluruh pengajaran, perintah dan larangan, dalam seluruh segi kehidupan manusia, secara khusus kepada Israel, Bangsa terpilih. Pengajaran itulah yang menjadi isi Kitab Ulangan yang sebagian darinya kita dengar dalam Bacaan I dan Bacaan Injil yang mengutipnya. “Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.” (Ul 6:4-5)
Syema Yisrael atau Dengarlah Israel adalah hukum pertama dan utama yang tidak pernah boleh lupa meskipun hanya sekejap. Karena terhadap perintah ini diberi penjelasan lanjut: “Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun. Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu. (Ul. 6: 6-9)
Mengapa tidak pernah boleh lupa? Karena pertama: yang disebut Syema/dengar bukan pada persoalan indra pendengar/telinga normal atau tidak normal, tetapi pada kehendak mau atau tidak mengamalkannya. Maka tidak ada alasan gaya Haji Bolot atau Oost-indisch doof dalam hal ini, bahkan yang tuli secara fisikpun tidak. Kedua: yang diperlihatkan dalam syema ini adalah hakikat manusia. Sekejap tidak bersama Allah adalah maut karena kita bisa hidup hanya karena Allah Beserta Kita sekarang dan selama-lamanya. Menanggapi ketergantungan total kita pada kekuasaan Allah, tidak bisa suam-suam kuku. Maka Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu, dengan apa yang menjadi motor penggerak hidupmu, yang tanpa itu, kita tidak bisa disebut manusia. Mengasihi Allah dengan segenap jiwamu, dengan nafasmu, semangatmu, rohmu, kemauanmu dan dengan segenap kekuatanmu, dengan segenap potensi yang telah Allah tanamkan dalam dirimu sewaktu kita diciptakan. Potensi-kekuatan itulah yang memungkinkan kita hidup.
Yesus menggenapi Sabda ini. Ia mengasihi Allah dan mengasihi manusia sampai pada kesudahannya; kematian di Kayu Salib. Cita, gambar Allah yang kita miliki telah rusak oleh dosa. KematianNya memungkinkan citra kita direhab kembali. Mengasihi Allah tanpa mengasihi sesama adalah mimpi tetapi mengasihi manusia tanpa mengasihi Allah adalah mimpi buruk yang menguras energi kita secara sia-sia. (***)
Selamat Hari Minggu, Tuhan memberkati!