Oleh RD. Lucius Poya Hobamatan
Diberikan pada Rekoleksi Fasilitator Paroki St. Damian, 28 Agustus 2016
Refleksi atas tema ini saya buat dalam kesatuan saya dengan Bunda Maria saat merenungkan sosok bunda ini pada hari raya Gereja Katolik:”Bunda Maria Diangkat ke Surga dengan Jiwa dan Raganya”, yang oleh para bapa Gereja Katolik Indonesia, dipindahkan ke hari Minggu, tanggal 14 Agustus, agar misteri ini dirayakan oleh hampir semua umat Katolik Indonesia.
Perayaan misteri iman, dengan berpedoman pada sosok utama Bunda Maria ini memberi inspirasi kepada saya, untuk merenungkan secara mendalam ketiga bacaan yang diangkat oleh Gereja sebagai proklamasi Sabda Allah saat merayakan misteri iman ini, sekaligus untuk menegaskan kepada diri saya sendiri, dan juga kepada anda semua, betapa penting Sharing Injil sbagai secara hidup beriman dan meng-Gereja, yang perlu dilatih menjadi keutamaan hidup pribadi, keluarga, KBG sehingga keutamaan ini menjadi keutamaan Gereja, sebagaimana ditegaskan oleh para Bapa Gereja, dan juga Sri Paus Fransiskus, dalam dokumennya Evangelii Gaudium.
Untuk menolong kita memahami sosok Maria sebagai typos fasilitator sejati, yang dari padanya kita meneladani spiritualitasnya sebagai pendengar dan pelaksana Sabda, saya mengajak kita menimba ilham dari tiga bacaan pada hari raya. Bacaan I diambil dari Kitab Wahyu, 11: 19a; 12: 1-6a. 10 ab. Bacaan II diambil dari Surat Paulus kepada Jemaat Katolik di Korintus: 1 Kor. 15: 20-26; dan bacaan Injil diambil dari Injil Lukas 1: 39-56. Dalam terang spiritualitas Bunda Maria itu, proklamasi Sabda sesudahnya dalam bacaan harian, sepanjang pekan XX-XXI menjadi semakin jelas betapa penting Sharing Injil dalam kehidupan kristiani. Sebab sosok Maria yang ditampilkan secara tersembunyi dalam teologi Paulus tentang Kristus Adam baru dalam Bacaan II, mengantar kita untuk melihat sosok Bunda Maria dalam penglihatan Yohanes di Yerusalem baru, sebagaimana dikatakan Kitab Wahyu dalam bacaan I; dan sosok Bunda Maria sebagai pendengar dan pelaksana Sabda sejati (fasilitator sejati), sebagaimana dikisahkan oleh Lukas penulis Injil.
Mengintip Teologi Paulus Dalam Bacaan II
Dalam suratnya kepada jemaat di Korintus, Paulus menulis demikian: ”Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati, sebagai yang sulung dari orang-orang yang telah meninggal. Sebab sama seperti maut datang karena satu orang manusia, demikian juga kebangkitan orang mati datang karena satu orang manusia. Karena sama seperti semua orang mati dalam persekutuan dengan Adam, demikian pula semua orang akan dihidupkan kembali dalam persekutuan dengan Kristus….. ”
Teologi Paulus ini boleh kita rangkum sebagai berikut: Maut datang karena satu orang, yakni Adam; sebaliknya hidup datang karena satu orang, yakni Kristus. Adam adalah yang sulung menuju kematian; sebaliknya Kristus adalah yang sulung menuju kehidupan. Persekutuan dengan Adam membawa kematian; sebaliknya persekutuan dengan Kristus membawa kehidupan.
Dengan teologi ini, kita diantar kepada kisah penciptaan yang dilukiskan oleh Kitab Kejadian 1. Kitab Kejadian dibuka dengan sebuah gambaran bahwa pada mulanya kosong, tak berbentuk. Yang ada hanya Allah-Pencipta, Roh dan Firman. Dan ketika Allah berfirman, mulai ada dan terbentuk secara teratur alam semesta. Dari tidak ada menjadi ada; dari tak berbentuk menjadi berbentuk; dari tak teratur menjadi teratur; dari gelap menjadi terang. Begitulah Allah menciptakan langit dan bumi dalam sebuah perencanaan yang teratur, dihiasi terang dan semuanya baik adanya. Firman mencipta, membentuk, mendatangkan keteraturan, membawa cahaya.
Menakjubkan sekaligus menyakitkan adalah kisah tentang penciptaan manusia (Kej. 1: 26). Kejadian melukiskan bahwa manusia bukan sekedar tercipta, melainkan direncanakan Tuhan secara matang. Manusia (saya dan anda) tercipta oleh Firman Allah, dengan sebuah rencana matang untuk menjadi potret rupa atau wajah Allah di dunia, dengan sebuah visi yang menakjubkan, yakni supaya makhluk-Nya yang bernama manusia ini menjadi gambar-Nya di dunia.
Agar manusia Adam bisa melakoni hidup sesuai identitasnya sebagai wajah Allah untuk melakoni sebuah hidup yang sesuai gambaran Allah itu, diciptakanlah Hawa (juga sosok rupa Allah) sebagai penolong, sebagai kawan sepadan sekaligus rekan seperjalanan, dalam mewujudkan visi menjadi gambaran Allah di dunia.
Sebab Allah adalah Allah yang berkomunitas, maka gambaran kehidupan manusia-rupa-Nya pun haruslah gambaran hidup yang berkomunitas. Tidak baik manusia hidup seorang diri saja (Kej. 2: 18).
Manusia pertama, Adam dan Hawa, menyadari identitas dan misi itu. Mereka sadar bahwa mereka tercipta dari Firman Allah; dan oleh karena itu mereka juga sadar akan identitas mereka sebagai wajah Allah yang kelihatan untuk menghadirkan kehidupan yang menggambarkan kehadiran Allah di dunia.
Kesadaran akan identitas dan misi itu membuat manusia pertama, Adam dan Hawa, setia mendengarkan firman Allah, menyimpannya dalam hati dan melaksanakannya. Efek dari kesetiaan mendengarkan firman dan melaksanakannya membawa sebuah kondisi kehidupan yang memanjubkan: mereka bahagia dalam kebersamaan hidup; hidup mereka penuh berkat.
Sekali lagi semua itu terjadi karena mereka selalu sadar akan idenitas diri sebagai ciptaan yang tercipta dari firman, serta selalu membangun keutamaan hidup untuk mendengarkan, meresapkan firman dan mengamalkannya dalam hidup. Sabda kehidupan yang selalu terpatri dalam bathin mereka adalah sabda ini :” pohon pengetahuan yang baik dan jahat jangan kau makan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati.” (Kejadian 2: 16-17; 3: 1-3)).
Menolak Mendengar dan Melaksanakan Firman Allah: Awal Mula Dosa dan Kehancuran Manusia
Namun dalam kisah selanjutnya, ketika kita merenungkan tentang asal mula dosa (Kejadian 3: 1), Kitab Kejadian melukiskan bahwa ternyata dosa berawal dari ketidakpedulian manusia untuk mendengar, meresapkan dan melaksanakan Firman Allah itu, dan mulai beralih untuk mendengar, meresapkan dan melaksanakan bisikan iblis yang digambarkan berwajah ular.
Awalnya ketika bisikan pertama didengar, Hawa sebagai orang pertama yang diberdayakan iblis masih mempertahankan sabda kehidupan yang berasal dari Firman:” Buah pohon-pohonan dalam taman ini boleh kami makan, tetapi tentang buah pohon yang ada di tengah-tengah taman, Allah berfirman: Jangan kamu makan ataupun raba buah itu, nanti kamu mati.” (Kej. 3: 2-3).
Namun ketika iblis memberikan argumentasi rasional dengan alasan-alasan yang masuk akal, apalagi menyentuh insting, untuk membangkitkan keangkuhan manusia supaya menyamai Allah, trjadilah sebuah perubahan besar.
- Manusia yang sebelumnya taat pada firman Allah beralih dan menjadi makhluk yang taat kepada suara iblis
- Martabat sebagai citra Allah segera terlepas dan menjadi makhluk yang tak berbusana (telanjang), Tak ada lagi nilai.
- Kehidupan dan kebahagiaan berubah menjadi penderitaan dan kematian
- Kebersamaan dengan Allah hilang, kebahagiaan hidup lenyap karena diusir keluar dari Eden, susah paya mengais nasib, kebersamaan dengan sesama juga menjadi terputus karena terjadi permusuhan antar sesama, saling menyalahkan satu dengan yang lain, bahkan turun temurun (Kain-Habel), yang berujung pada penindasan Mesir atas Israel berabad-abad.
Jadi dosa berawal dari keangkuham manusia untuk menyamai Allah, dengan cara menjadi hamba iblis, meninggalkan keutamaan mendengarkan, meresapkan dan melaksanakan firman Allah dan menggantikannya dengan mendengar, dan melaksanakan perintah iblis.
Akibatnya idenitas manusia yang bermartabat sebagai rupa Allah hilang (telanjang), dikeluarkan dari situasi rahmat (Eden), melintasi penderitaan dalam perziarahan hidup, komunio menjadi rusak parah. Dengan kata lain, menutup hati, budi, jiwa dan raga atas Firman Allah, membawa efek pada perusakan identitas dan martabat manusia yang tercipta dari Firman untuk menjadi gambaran Allah, dan wajah baru dikenakan ke atasnya, wajah iblis dengan segala efeknya.
Mengintip Kisah Penyelamatan Israel
Kalau dosa bermula dari ketertutupan hati, budi, jiwa dan raga manusia atas firman Allah akibat keangkuhan manusia, maka kisah penyelamatan Israel diawali oleh kerendahan hati manusia untuk tunduk merendahkan diri di hadapan Allah, mendengarkan dan melaksanakan Firman-Nya.
Inilah awal sejarah keselamatan yang dimulai oleh Musa di Gunung Horeb. Kesetiaan mendengarkan Firman Allah dalam kerendahan hati itu memunculkan keberanian Musa untuk memberikan dirinya diutus kembali ke Mesir. Musa menyadari bahwa dari dirinya sendiri, ia tak berarti apa-apa di hadapan Firaun, namun dengan kesetiaan mendengarkan dan melaksanakan Firman Allah, Musa menempatkan dirinya sebagai alat bagi Tuhan; Tuhan adalah pelaku utama dari seluruh gerak misi pembebasan; sedangkan Musa hanya menjadi alat yang kelihatan. Dia fasilitator Allah untuk bangsanya yang tertindas.
Penempatan diri sebagai alat bagi Tuhan, dengan mendengar dan melaksanakan firman Allah, membawa situasi baru bagi Israel, yang dimulai dengan peristiwa pengorbanan anak domba, kemudian penyelamatan melalui air sungai nil. Dalam kedua peristiwa itu, kematian dialami Mesir sedangkan kehidupan dialami Israel, karena sekali lagi Israel mengikuti firman Allah yang disampaikan kepada Musa.
Dan mulailah babak baru perziarahan kaum terpilih menuju tanah terjanji. Kesetiaan mereka mengikuti Firman, membuat Tuhan juga mendengarkan seruan mereka. Itulah sebabnya, walau di padang gurun sekalipun, Israel tetap mengalami kehidupan dari sumber air dan manna dari surga. Mendengar dan melaksanakan Firman membawa rahmat.
Ketika di Gunung Sinai, Allah berkehendak untuk menjadikan Firman-Nya menjadi pegangan semua umat Israel. Oleh karena itu, di Sinai, Allah menyatakan 10 Firman-Nya kepada seluruh bangsa, untuk didengar dan menjadi pegangan mereka dalam perjalanan hidup mereka, beserta berbagai peraturan hukum yang ditetapkan (Kel. 20-24). Itulah sebabnya, Allah kemudian memanggil Musa ke puncak gunung selama 40 hari. Kitab Keluaran mengisahkan bahwa di sana Allah memahat 10 dekalog itu pada loh batu serta mentitahkan kepada Musa berbagai macam ketetapan untuk diajarkan kepada Israel, sebagai pedoman dalam perziarahan yang harus ditaati oleh Israel (Kel. 24: 12-18). Sebab sekali lagi berjalan dalam kekuatan Firman itu, Israel akan selamat.
Oleh karena itu, selepas dari Sinai, Allah memerintahkan Musa untuk segera membuat Tabut Perjanjian (Kel. 25). Di dalam Tabut Perjanjian itu, terdapat Firman Allah yang terpatri dari loh batu (Kel. 25: 16, 21, 40: 20; Ul. 10: 1-5; 31:9); juga buli-buli emas yang berisikan manna (roti padang gurun yang berasal dari Allah) dan tongkat Harun yang pernah bertunas) (Ibr. 9: 4-5).
Perjalanan bersama sang Tabut Perjanjian itu membuat Israel senantiasa selamat, selalu menang dalam peperangan karena Allah selalu menyertai. Bahkan ketika Tabut itu dirampas oleh orang-orang Filsitin dalam pertempuran di Eben Haezer (1 Sam. 4), wabah menyerang orang-orang Filistin, sehingga akhirnya Tabut Perjanjian itu dikembalikan kepada orang-orang Israel di Kiryat-Yearim (2 Sam. 5: 1-7: 2).
Melihat Sosok Maria Sebagai Typos Fasilitator Sejati
Kita sejenak diantar melanglangbuana ke Eden menjumpai sosok leluhur kita Adam dan Hawa, terus mencoba berziarah bersama leluhur kita Israel dari Mesir menuju tanah terjanji, sebagaimana dilukiskan Kitab Kejadian dan Kitab Keluaran, hanya untuk menolong kita memahami sosok Bunda Maria, yang ditampilkan oleh Santo Paulus dalam suratnya kepada Jemaat Katolik di Korintus (bacaan II) dan penglihatan Santo Yohanes dalam Kitab Wahyu, dalam bacaan I, serta warta sukacita injil yang dikisahkan Santo Lukas, sebagaimana dimaklumkan pada Hari Raya Bunda Maria diangkat ke surga.
Sebagaimana dilukiskan di awal, dalam 1 Kor. 15: 20-26, Paulus membandingkan antara Adam dan Kristus. Atau dalam istilah teologi, Kristus adalah Adam baru.
Adam | Kristus |
Manusia pertama dalam tata penciptaan lama | Manusia pertama dalam tata penciptaan baru |
Yang sulung pembawa penderitaan dan kematian | Yang sulung pembawa kebahagiaan dan kehidupan |
Mendengar dan taat pada Iblis | Mendengar dan taat pada Bapa |
Dari semuanya baik adanya menuju kondisi kehidupan yang tidak baik adanya | Dari kondisi kehidupan yang tdak baik menuju kondisi semuanya baik adanya. |
Membawa keluar dari Eden | Membawa masuk ke surga-eden baru. |
Akan tetapi, ketika kita merefleksikan Adam, kita disadarkan bahwa ada sesuatu yang tersembunyi. Sebab cerita tentang kejatuhan dalam dosa tidak hanya Adam, melainkan Adam dan Hawa. Bahkan Hawa yang pertama diperdaya oleh iblis. Oleh karena itu, jika Yesus adalah Adam Baru, maka pertanyaannya adalah siapakah Hawa yang baru? Dan atas amanat Injil, Gereja Katolik menegaskan bahwa Maria adalah Hawa yang baru. Sebagaimana cerita tentang kejatuhan manusia dalam dosa tidak bisa diungkap secara penuh tanpa Hawa, demikian juga cerita tentang penebusan manusia dalam Kristus tidak bisa penuh bila mengabaikan Maria.
Ada kesamaan tetapi sekaligus membuatnya berbeda, antara Adam dan Hawa yang lama, yang dilukiskan Perjanjian Lama dengan Adam Baru dan Hawa yang baru, yakni Kristus dan Maria sebagaimana dilukiskan oleh Perjanjian Baru.
- Dalam Perjanjian Lama, Eva sang perempuan berasal dari tubuh manusia (Adam), tetapi dalam Perjanjian Baru, Putera Manusia (Yesus) berasal dari tubuh perempuan (Maria).
- Dalam Perjanjian Lama, perempuan (Eva) yang pertama menolak untuk melakukan kehendak Allah dan menyeret manusia Adam ke dalam dosa yang sama; namun dalam Perjanjian Baru, perempuan (Maria) yang pertama berkata Ya dan tunduk taat kepada kehendak Allah, dan membawa Yesus untuk berkata Ya dan tunduk taat kepada kehendak Bapa.
- Hawa dan Adam bersama-sama menolak kehendak Allah demi kesenangan dan ambisi pribadi; Maria dan Yesus bersama-sama menderita demi kehendak Allah. Tombak akan menembusi jiwa mereka (Yoh. 19: 34; Luk. 2: 35b)
- Adam dan Hawa sama-sama merusak citra dan menghancurkan martabat sebagai rupa Allah, Maria dan Yesus bersama-sama memulihkan martabat dan citra itu.
- Dalam Perjanjian Lama, Hawa dan Adam menerima secara bersama-sama hukuman akibat pelanggaran dan kejatuhan, sedangkan dalam Perjanjian Baru, Maria dan Yesus menerima bersama-sama berkat penebusan yakni kepenuhan hidup bersama Allah akibat ketaatan total dan tunduk pada kehendak Allah.
Ajaran Bunda Maria diangkat ke Surga dengan jiwa dan raga di akhir keberadaannya di dunia memberikan kepada kita sebuah kenyataan penting bahwa ada dua pribadi yang kini bertakhta di surga dengan jiwa dan raga yakni Kristus dan Maria. Dalam ajaran ini kita diingatkan dan disadarkan bahwa kerjasama Yesus dan Bunda Maria adalah tak terpisahkan dalam karya keselamatan untuk mengembalikan kita dari kejatuhan menuju kepenuhan penebusan di surga. Tanpa terangkatnya Bunda Maria dengan jiwa dan raga ke Surga untuk menyusul kenaikan Yesus Putera-Nya ke surga, cerita tentang keselamatan manusia menjadi timpang.
Itulah sebabnya, St. Yohanes dalam Kitab Wahyu (bacaan I) mengisahkan kepada kita penglihatannya yang begitu menakjubkan. Ia melihat Tabut Perjanjian dalam Kerajaan Surga-Yerusalem baru.
Sebagaimana kita telaah dalam sejarah Israel, Tabut Perjanjian adalah Tabut yang di dalamnya berisikan Sabda Allah, Manna-roti surga dan tongkat gembala. Tabut Perjanjian itu menyertai Israel dalam lintasan ziarah, sehingga mereka selalu selamat dan mendapatkan perlindungan Allah. Dan dalam Perjanjian Baru, Sabda Allah itu menjelma menjadi manusia yakni Yesus Kristus (Yoh. 1), Sang Roti Hidup yang turun dari surga (Yoh. 6), Sang Gembala Baik (Yoh. 10).
Dengan demikian, siapakah yang menjadi Tabut yang di dalamnya Sang Sabda bersemayam dan menjelma Roti Hidup, gembala yang mengantar Israel baru, yakni saya dan anda menuju Yerusalem baru, kalau bukan Maria? Tidak heran salah satu gelar Maria adalah Tabut Perjanjian. Dan Yohanes melihat Maria (sang tabut perjanjian itu) utuh jiwa raga, yang justru berselubungkan matahari, karena memang rahim Marialah yang membuat sang terang itu bercahaya dalam kegelapan dan kegelapan tidak menguasainya, sebagaimana dikisahkan Yohanes dalam awal Injilnya. Ia tampil bukan hanya sebagai Tabut Perjanjian, melainkan sebagai Hawa baru, yang tidak bisa diseret oleh si ular, dengan bisikan dan kuasa, sekalipun berkepala 7 dan bertanduk 10 .
Kisah Injil Tentang Maria
Dua kisah yang ditampilkan oleh Paulus dan Yohanes ini menolong kita untuk memahami mengapa Allah menyuruh Gabriel, malaikat Tuhan, kepada Maria dan tidak kepada siapapun perempuan, sebelum atau sesudahnya.
Lukas mengisahkan bahwa kendati Maria Putri pilihan Bapa untuk menjadi Bunda Allah Putra, dengan Roh Kudus mempelainya, tetapi bukan berarti Maria serta merta setuju. Ia juga menolak, tetapi penolakan Maria berbeda dengan penolakan Hawa. Hawa menolak Firman Allah, karena keangkuhan dan ambisi menyamai Allah; Maria menolak karena ketidakmampuannya menangkap misteri. Namun ketika dikatakan bahwa Maria hanyalah alat, dan semuanya atas kuasa Allah, Maria menegaskan imannya: “ Aku ini adalah hamba Tuhan, jadilah padaku menurut sabda-Mu (firman-Mu, Perkataan-Mu).
Dengan memposisikan diri sebagai hamba, semakin jelas bagi kita bahwa Maria adalah Hawa baru dan Tabut perjanjian baru.
Hawa | Maria |
Tidak taat-dosa-kutuk | Taat-penuh rahmat |
Menolak mendengar friman dan membiarkan diri dikuasai oleh iblis | Setia mendengar dan membiarkan dirinya menjadi tempat bersemayam sang firman untuk menjadi Roti Hidup dan Gembala Israel yang baru. |
Ambisi menyamai Allah | Rendah, mengagungkan Tuhan |
Keluar dari eden dengan jiwa dan raga | Ke surga dengan jiwa dan raga |
Alat iblis membawa penderitaan dan maut | Alat Tuhan-sang Tabut Perjanjian, membawa Allah, kebahagiaan dan kehidupan. |
Sharing Injil:
Keutamaan Meneladani Spiritualitas Maria
Anda dan saya tercipta dari Firman. Direncanakan secara matang untuk menjadi citra Allah dan menghayati hidup dalam gambaran Allah. Untuk memelihara identitas dan martabat itu, maka mendengarkan Firman, memelihara, meresapkan, menyimpannya dalam hati, serta mewujudkannya, dengan spiritualias hamba dalam kerendahan hati adalah keutamaan. Maria-Hawa Baru, Tabut Perjanjian Baru, telah menunjukkannya.
Bunda Maria sadar diri sebagai yang tercipta dari Firman. Ia sangat sadar bahwa kehadirannya adalah untuk menjdi gambar dan rupa Allah, sehingga Yohanes pembaptis melonjak kegirangan saat dikujungi ibunya. Itu juga yang Ia didik kepada Putranya, sehingga melihat Yesus, melihat Bapa.
Ia setia mendengar, meresapkan dan melaksanakan Sabda Allah sebagai doa, karena doa adalah membiarkan Allah dimuliakan dan manusia tetaplah menjadi hamba yang mendengar dan melaksanakan titah; karena dengan itu Kerajaan Allah dialami dan kehendak Allah dilaksanakan. Itu yang Ia wariskan, sehingga ketika diminta untuk diajarkan doa, Yesus mengajarkan doa Bapa Kami.
Sekali kita lalai, karena tidak peduli, menutup hati,budi, jiwa dan raga bagi firman dan mau hidup dalam keangkuhan di hadapan Allah, maka pengalaman kutuk menjadi pengalaman yang harus kita alami. Kita tidak menjadi failitator bagi Kristus, melainkan menjadi fasilitator iblis. Hawa telah menunjukkan itu.
Oleh karena itu, Sharing Injil, bukan sesuatu yang baru dalam sejarah keselamatan, melainkan dijadikan kembali sebagai cara hidup baru, karena cara lama terbukti telah membuat kita menjadi hawa lama, karena lebih meminta Tuhan mendengar tanpa dibentuk untuk mendengar Tuhan; dan cara baru adalah dibentuk meneladani hawa baru, lebih mendengarkan Tuhan, melaksanakan kehendak-Nya, menjadikan diri menjadi alat dan hamba bagi Tuhan, supaya kepada siapa kita diutus, yang mereka alami bukan iblis, melainkan Tuhan, sebagaimana yang dialami Bunda Elisabeth.
- Apakah situasiku saat ini adalah sosok hawa lama atau sudah beralih ke model hawa baru?
- Apa yang perlu aku hidupi dalam diriku supaya aku sungguh menjadi citra Allah bagi sesamaku?
- Evaluasi: apakah orang gembira saat aku hadir (bunda Elisabeth) atau menakutkan dan mencela seperti adam kepada hawa lama?