Home Episkopal Potret KBG – A New Way of Being Church

Potret KBG – A New Way of Being Church

by Atanasius Anlly

Dua Murid Emaus

Hidup adalah sebuah perziarahan. Motto ini rasanya benar, ketika untuk pertama kalinya saya tiba di Tacloban, ibukota propinsi Leyte, kota kelahiran Imelda Marcos, 21 September 2006.

Sehari sebelum berangkat ke Manila, saya begitu bingung. Siapa yang menjemput kami di air port? Kebingungan ini terjadi karena di mana letak Leyte itu, kami pun tidak tahu. Pastor Bart yang dikontak lewat e-mail, telephone; juga tidak membalas di sebenarnya Leyte. Seperti kedua murid Emaus, kami seperti kehilangan harapan tanpa mengalami bahwa Yesus beserta kami dalam perjalanan yang hampa itu.

P. Ambros Sanar SSCC (Sang Malaekat Pelindung)

Saya mencoba mengontak P. Alex Dato di Batam. P. Aleks hanya memberikan nomor HP Pastor Patris Breket SSCC. Ternyata Pastor Patris sudah kembali ke Indonesia, namun beliau memberikan nomor Pastor Ambros Sanar SSCC. Dari P. Ambros, titik cerah ke Manila mulai sedikit terasa. Beliau memberikan informasi bahwa akan menjemput di bandara Manila, karena Tacloban itu berada di pulau yang lain di wilayah selatan. Khabar itu sangat menggembirakan karena diperoleh ketika kami sudah di bandara Sukarno-Hatta, pagi, 19 September 2006, untuk terbang ke Manila.

Enam jam perjalanan ke manila, kendati cukup melelahkan, namun menggembirakan sekaligus menantang. Menggembirakan karena perjalanan seperti itu paling kurang membuka wawasan. Menantang karena kami yang berangkat adalah orang-orang yang seharusnya tidak layak untuk berangkat. Komunikasi merupakan persoalan yang memang sangat berat. Untunglah bahwa sejak di Bandara, P. Ambros berpesan agar jangan takut untuk mulai berbahasa Inggeris.

“Kita di negeri orang”, kata P. Ambros.
Kata-kata itu seperti memacu saya untuk memulai sesuatu yang baru, berbicara bahasa inggeris; walaupun tidak mudah. Awalnya dengan P. Harold SSCC, lalu dengan para filosofan SSCC. Ya, harus mulai dengan sesuatu yang baru.

Bersama dengan P. Ambros, dua hari di Manila, kami isi dengan mengunjungi P. Salinas di biara Christ The King; Gereja Adorasi Abadi; Tugu dan Gereja Mama Mary (ikon kemenangan people power dalam rezim Marcos). Di tempat-tempat ini banyak umat berkunjung untuk berdoa dan berdevosi, sebelum dan selepas kerja. Di tempat-tempat itu, pintu Gereja selalu terbuka sepanjang waktu dari pagi sampai malam. Siapa saja diberi kesempatan untuk membuat jadwal doa pribadi. Kami juga pergi ke beberapa Mal. Di sana kami melihat ada jadwal ekaristi di mal-mal itu. Sesuatu yang aneh bagi saya, tetapi justru dari situ saya menyadari mengapa di tengah kota yang cukup bebas itu, umatnya masih memiliki kepekaan spiritual.

Selamat Datang di Tacloban

21 September, kami berangkat ke Tacloban. Alamat FGLC rupanya kurang dikenal di Tacloban, walaupun di tengah kota, sehingga sopir yang mengantar kami harus mencari informasi melalui telephone. Rupanya hari itu adalah hari ulang ke 29 KBG itu, yang sering disebut Family of God Litle Children .

“You came in a right time”, begitulah kata-kata yang keluar dari mulut P. Barth saat menjumpai kami. Selanjutnya ia mempersilahkan kami memperkenalkan diri dan tujuan kedatangan kami kepada seluruh anggota komunitas itu. Sambil menikmati acara-acara yang dibawakan oleh small groups, P. Barth juga memperkenalkan keberadaan gedung milik komunitas itu. Di lantai dasar ada TK, SD, Koperasi, warung makan, laboratorium bahasa, ruangan konsultasi kesehatan. Di lantai dua, ada ruang serbaguna (misa massal, studi kitab suci, pembinaan tentang pelayanan, pertemuan small group, dll. Di kantor lantai tiga, ada kantor ekonomat, kantor president, kantor P. Barth, ruang doa (adorasi). Dan di lantai empat, ada sebuah ruang terbuka, tempat pertemuan kaum muda. Konsentrasi pembinaan, pelayanan, dan pertemuan berada di tempat, yang berdiri di bibir pantai itu. Sebagaimana namanya, gedung ini adalah Foundational Center.

Gedung itu berseberangan jalan dengan Gereja St. Nino. Beberapa kali saya ikut misa di gereja ini, saya melihat bahwa beberapa pelayan yang bertugas di gereja ini, juga merupakan anggota FGLC. Di Gereja ini, misa harian diadakan 5 kali; sementara misa minggu sebanyak 13 kali.

Ketika P. Barth memperkenalkan ruangan-ruangan itu, dalam hati saya berpikir, kami akan tinggal di situ. Rupanya tidak. Selesai acara, kami berangkat ke sebuah wilayah pegunungan, yang dikenal Soleman. Di areal sekitar 80 ha ini, hiduplah petani-petani sederhana. Di puncak gunung ini, P. Barth beristirahat dan merefleksikan kehidupan Komunitas FGLC. Tempat ini dibangun tempat ret-ret, biara para perawan, para calon seminaris, rumah istirahat president FGLC. Sepintas terasa bagai biara kontemplatif. Seluruh rumah itu dibangun sendiri oleh anggota komunitas itu. Tenaga untuk tukang dan listrik; pohon-pohon yang digunakan untuk pembangunan rumah merupakan produk dari komunitas itu. Di Paraclate itu, anggota komunitas itu ber-week end; rekoleksi; ret-ret; atau ber-fellowship . Komunitas itu juga mempunyai sekolah lain lagi, tingkat SMP dan SMU di Abu Chai, beberapa kilo meter dari kota Tacloban.

Awal Melihat KBG

24 September, kami merayakan misa untuk keluarga besar komunitas itu, kurang lebih 500-an orang. Mereka datang dari berbagai small groups. Seperti sebuah keluarga baru, mereka terdiri dari anak-anak, kaum muda, orang tua, kakek-nenek, professional, janda, dll. Selepas misa, mereka study kitab suci di bawah bimbingan P. Barth; merefleksikannya di masing-masing small group, kemudian mereka saling membagi bagaimana menghayati kitab suci dalam hidup. Mereka sangat serius. Empat jam mereka tekun dalam pertemuan Kitab Suci, didukung oleh para opa dan oma yang bergiliran untuk adorasi Sakramen Mahakudus. P. Barth mengatakan bahwa tiap hari, para oma dan opa bergiliran adorasi untuk mendukung aktivitas anggota komunitas lainnya.

Muncul dalam pikiranku sebuah kesan bahwa pertumbuhan KBG harus didasarkan pada pertumbuhan spiritualitas (mencintai Roh Kudus seperti Bunda Maria, mencintai Sakramen : ekaristi, adorasi, mencintai Kitab suci: membaca, studi, refleksi, dan implementasi. Selain itu, perhatian yang serius, karamahan, model hidup, charisma seorang imam yang adalah pemimpin juga sangat dibutuhkan.

25 September, setelah misa, Fr. Barth memberikan kepada para fasilitator topic tentang model hidup doa dalam kitab suci. Selepas merefleksikan doa-doa mereka, para fasilitator bertemu dalam small group untuk evaluasi, sharing dan rencana aksi dalam minggu itu. Small group itu adalah: guru, keluarga, kaum muda, para oma-opa, dan janda.

27, ketika sarapan, P. Bart menceritakan pengalamannya kepada para calon seminaris tentang perjuangannya membangun KBG: FGLC. Dari ceritanya itu, saya mendapat kesan tentang seorang pemimpin yang mau membangun KBG.

  1. Harus memiliki visi dan dan spiritualitas yang jelas sebagaimana Yesus
  2. Ia harus memberikan visinya itu dengan studi kitab suci, merefleksikannya dan melakukannya, agar visi Yesus        tentang Kerajaan sebagaimana yang dimaklumkan Kitab Suci tidak hanya menjadi milik pribadi pemimpin tetapi merupakan milik semua pengikut dan murid Yesus.
  3. Ia harus memahami dengan baik tentang kristianitas. Kristanitas bukan agama melainkan pengalaman relationship dengan Allah dan dengan sesame
  4. Di mana dan kapan saja, ia harus mempromosikan, visi Yesus itu, dan menjawab setiap pertanyaan dengan sebuah kedalaman nilai
  5. Dia harus telaten untuk menumbuhkan visi dan spiritualitas itu dengan memberdayakan, melatih dan mempersiapkan siapa saja untuk menjadi agen, fasilitator, animator, arganisator, inspirator. Orang-orang ini terus dilatih untuk melihat visi dan spiritualitas di balik segala kegiatan yang dibuat
  6. Ia juga harus mengambil waktu untuk memetik buah, evaluasi dan membuat perencanaan.

Memang Barth sangat tergantung pada prinsip St. Hieronimus: ignorance the scripture is ignorance the Christ.

Perjalanan RD.Lucius Poya untuk Meretas masa depan KBG Keuskupan Pangkalpinang
Diposting kembali oleh Atanasius

Related Articles

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.