RABU ABU
St. Petrus Chrysologus, Uskup dan Pujangga Gereja
Rabu Abu telah lewat. Dan oleh karena itu, telah seminggu pula kita berziarah dalam masa tobat. Untuk menolong permenungan kita dalam ziarah tobat, saya menerjemahkan sebuah kotbah kuno, pendek, namun sangat inspiratif dari seorang Santo, Uskup dan Pujangga Gereja, yang dikotbahkan pada Hari Rabu Abu. Orang Kudus itu adalah St. Petrus Chrysologus, Uskup dan Pujangga Gereja.
St. Petrus Chrysologus, lahir tahun 380, dijuluki “Si Mulut Emas”. Ketika masih muda belia, ia sudah menjabat sebagai Uskup di Ravenna. Pada masa itu, cara hidup kafir yang merajalela di antara umat di keuskupannya merupakan suatu masalah berat yang harus ditanganinya. Untuk itu, senjata ampuh satu satunya ialah khotbah – khotbahnya yang menyentuh hati umat. Dan Petrus Kristologus berhasil dalam memanfaatkan senjata ini. Khotbah – khotbahnya yang pendek dan menyentuh hati umat berhasil mempertobatkan banyak umat.
Salah satu kotbah pendeknya, yang ia bawakan pada hari Rabu Abu, berjudul Prayer Koncks, Fasting Obtains, Mercy Receives (Doa Mengetuk, Puasa menghasilkan, kemurahan Hati menerima). Saya membagikannya kepada pembaca karena saya juga tertolong oleh kotbah pendek Si Mulut Emas ini dalam melintasi masa tobat yang baru ditempu seminggu ini.
***
Saudara-saudara! Ada tiga hal yang menyebabkan iman menjadi kokoh, devosi tetap lestari dan kebajikan-kebajikan tetap dipertahankan. Ketiga hal itu adalah doa, puasa dan kemurhan hati. Doa mengetuk, puasa menghasilkan dan kemurahan hati menerima. Doa, puasa dan kemurahan hati adalah satu dan ketiganya saling menopang untuk hidup.
Puasa adalah jiwa dari doa, kemurahan hati adalah sumber hidup dari puasa. Ketiganya tak dapat dipisahkan, dan janganlah membiarkan ketiganya dipisahkan. Jika seseorang hanya memiliki satu diantaranya, apalagi bila sama sekali tidak memiliki ketiganya, maka orang itu hanya mendapatkan kehampaan, kosong. Oleh karena itu, jika engkau berdoa, engkau berpuasa; dan jika engkau berpuasa, engkau menunjukkan kemurahan hati; jika engkau mengharapkan permohonanmu didengarkan, dengarlah dulu permohonan saudara-saudaramu. Jika engkau tidak menutup telingamu untuk mendengar saudara-saudaramu yang lain, engkau membuka telinga Allah untuk dirimu sendiri.
Apabila engkau berpuasa, lihatlah puasa saudara-saudaramu. Jika engkau ingin Allah mengetahui bahwa engkau lapar, ketahuilah bahwa saudaramu yang lain lapar. Jika engkau mengharapkan kemurahan hati, tunjukkanlah kemurahan hati. Jika engkau mencari kebaikan, tunjukkanlah kebaikan. Jika engkau ingin menerima, berilah. Sebaliknya apabila engkau meminta untuk dirimu sendiri apa yang tidak engkau lakukan untuk saudara-saudara yang lain, permintaanmu merupakan contoh buruk untuk dirimu sendiri.
Jadikanlah keutamaan ini sebagai pola untuk semua saudaramu ketika mereka mewujudkan kemurahan hati: tunjukkanlah kemurahan hati kepada saudara yang lain dengan cara yang sama, dengan kemurahan hati yang sama, dengan ketetapan hati yang sama, sebagaimana engkau menginginkan saudara-saudara yang lain menunjukkan kemurahan hati itu kepadamu.
Oleh karena itu, biarkanlah doa, kemurahan hati dan puasa menjadi satu permohonan tunggal kepada Allah demi kepentingan kita, satu seruan dalam pertahanan kita, sebuah doa berlipat tiga yang disatukan demi kebaikan kita.
Marilah kita menggunakan puasa untuk menebus apa yang hilang akibat memandang hina saudara-saudara yang lain. Marilah kita mempersembahkan jiwa-jiwa kita dalam korban dengan memaknai puasa.
Tak ada yang lebih menggembirakan selain bahwa kita dapat mempersembahkan kepada Allah, sebagaimana dikatakan pemazmur: persembahan kepada Allah ialah jiwa yang menyesal; Allah tidak memandang rendah hati yang hina dan remuk redam.
Persembahkanlah jiwamu kepada Allah, buatlah puasamu sebagai korban kepada-Nya, sehingga jiwamu menjadi sebuah persembahan yang murni, sebuah pengurbanan yang kudus, sebuah kurban yang hidup, dirimu yang tersisa, serentak penyerahan diri yang total kepada Allah. Siapapun yang gagal memberikan ini kepada Allah tidak akan dimaafkan, karena jika engkau harus memberikan dirimu sendiri kepadanya, engkau tidak pernah bisa tanpa mengerti secara mendalam makna sebuah pemberian.
Untuk membuat semua ini diterima, kemurahan hati harus ditambahkan. Puasa tidak akan menghasilkan buah jika tidak disiram dengan kemurahan hati. Puasa akan kering ketika kemurahan hati pun kering. Kemurahan hati mempengaruhi puasa seperti hujan untuk bumi. Sebanyak apapun yang engkau pupuk dalam hatimu, membersihkan diri dari noda, membasmi sifat buruk, menaburkan kebajikan-kebajikan, tetapi jika engkau tidak memiliki mata air kemurahan hati, puasamu tidak menghasilkan buah.
Dengan demikian apabila engkau berpuasa, tetapi kemurahan hatimu tipis maka panenanmu akan tipis; sebaliknya apabila engkau berpuasa, apa yang engkau curahkan mengalir dari kemurahan hatimu, ia akan meluap dalam lumbungmu. Oleh karena itu, jangan menghilangkannya dengan menyimpan, melainkan mengumpulkan dengan memberkannya secara suka hati. Berikanlah kepada kaum papa, dan engkau akan memberikan kepada dirimu sendiri. Engkau tidak diperkenankan untuk mempertahankan apa yang engkau tolak untuk diberikan kepada yang lain.***