Mgr. Hilarius Moa Nurak, SVD: Mengenangmu 40 hari yang lalu…Betapa agung rahasia kehidupan. Tidak serorangpun di antara kami menduga-duga bahwa kami akan menyaksikan pergumulan yang menyakitkan dari seorang gembala yang rendah hati, sabar dan penuh perhatian pada umatnya. Kami tidak dapat melakukan apapun selain berada di sana brdoa, bernyanyi dalam sedih yang mendalam di saat-saat akhir hidupnya,. Saya masih bertanya-tanya apa sebenarnya yang saya rasakan pada jam-jam itu. Saya merasa tidak berdaya, kecil dan tidak dapat berbuat apa-apa tetapi sekaligus merasa damai, kuat dan tenang. Saya melihat dan merasakan sesuatu yang belum pernah saya lihat dan rasakan sebelumnya. Tidak ada kata-kata yang tepat untuk menggambarkan pengalaman itu; tidak berdaya, tetapi kuat, sedih yang mendalam tapi damai, kacau tetapi juga tenang. Saya masih belum dapat merasakan emosi yang baru ini. Namun satu hal dapat saya katakan kanrena saya merasakannya dengan begitu jelas: saya merasa mendapat anugerah karena menjadi bagian atau mengalami saat ketika hidup sejati menampakkan diri.
Mengenang 40 hari yang lalu….Segala sesuatu tampak sejati, tidak ada kebohongan. Bapak Uskup sedang menghadapi saat terakhir hidupnya, dan tidak ada orang yang menyangkalnya. Mungkin begitu mendalam dan begitu rahasia, penderitaan bapak uskup tidak tersembunyi bagi kita. Saya dan dua rekan imam dan keluarga besar beliau dan juga orang dekat bapak uskup merasa beruntung karena berada dekat dengan pendeiritaannya, disatukan secara mendalam dengan saat-saat terakhir hidupnya. Ada kecemasan, kesedihan yang mendalam, ada kegelisahan, mewarnai suasana hati saya saat ini, namun pada titik tertentu saya merasa tidak takut dan siap untuk menerima dengan bebas apa pun yang akan terjadi pada Bapak Uskup. Saat ini adalah saat suci, dan berada di situ saya alami sebagai berkat. Di luar awan semakin gelap, tiba-tiba mendung gelap menyelimuti dunia sekitar,hujan pun deras, petir dan guntur. Sekarang kesejatian itu ada di kamar ini: Bapak Uskup sedang menghadapi saat terakhir hidupnya, dalam pergumulan panjang tanpa kesadaran penuh, pergumulan yang menentukan antara kekuatan-kekuatan kehidupan dan maut. Ia tidak melihat saya atau keluarganya dan juga orang-orang yang mengelilingi yang sedang berdoa dalam ratap tangis yang pilu dan berharap. Namun, saya yakin, Bapak Uskup sedang mendengar doa-doa kami, doa-doa harapan dan tangisan kesedihan yang mendalam kami. Ia melihat yang tidak dapat kami lihat. Ia seakan sedang berdoa bersama kami, ingin mengatakan sesuatu kepada kami sebagai bentuk salam perpisahan, namun ia sedang membutuhkan semua bentuk dukungan yang dapat kami berikan dalam pergumulan iman ini.
40 hari yang lalu….Bersama semua orang yang hadir di kamar itu, kami mendoakan doa yang telah beliau lakukan selama ini, mulai dari Bapa Kami, Salam Maria, Doa Kerahiman, Aku Percaya dan Lagu-lagu Maria Bunda Allah. Dengan demikian saya merasa kami memberikan kata-kata dan nyanyian yang tidak dapat ia ucapkan sendiri, dan menjaga dirinya dengan perisai doa yang memungkinkan dia untuk menghadapi pergumulan hidup yang harus ditempuh sendirian.
MENGAPA..Bapak Uskup terkasih, Mengenangmu 40 hari yang lalu, begitu banyak pertanyaan yang muncul ketika berdiri di samping tubuh yang berbaring tanpa daya… Mengapa? Mengapa saya dan beberapa keluarga dan orang-dekat beliau menyaksikan penderitaan yang begitu besar dalam diri seorang Gembala yang selama hidupnya menunjukan kebaikan hati, kerendahan hati, penuh perhatian dan kelembutan, kesetiaan dan kasih? Mengapa dia yang selama hidupnya begitu rela berkorban dan murah hati serta penuh kasih harus masuk dalam saat yang menyakitkan ini? Untuk apa semua rasa sakit, penderitaan dan pergumulan ini?
Di hari ke 40 mengenangnya, kini saya belajar untuk menerima. Dari beliau saya dapat memahami penerimaan tanpa syarat: penerimaan yang tidak berkaitan apakah saya ini baik atau buruk, berhasil atau tidak berhasil, berada dekat atau jauh dari dia. Dalam dia saya merasakan kasih yang tidak menuntut atau memanipulasi: kasih yang tidak dapat ditemukan di tempat manapun, yang membuat saya merasa ada yang memiliki. Tidaklah mudah untuk merumuskan dengan baik apa yang saya rasakan. Tetapi rupanya “merasa ada yang memiliki” adalah kata yang paling tepat. Ia mengejawantahkan kebaikan dan rasa aman yang lebih besar dan mengatasi dirinya. Kalau di tengah kekacauan, konflik dan kegagalan saya tetap merasa bahwa akhirnya hidup ini baik dan bersahabat, saya sadar bahwa yang telah menjadi guru dan tetap menjadi guru dalam hal ini adalah Bapak Uskup. Ini tidak terlalu berkaitan dengan seringnya bertemu atau berbicara bersama-sama mengenaii masalah-masalah tertentu.
Hari ini, 40 hari yang lalu, mengenang dan menghadirkannya berarti membiarkan Bapak Uskup menjadi bagian dari karya penyelamatan Allah yang masih terus berlangsung, dengan membiarkan dia semakin menyingkirkan kegelapan yang ada dalam diri saya dan menuntun saya lebih dekat kepada cahaya. Dan dalam dan melalui Roh Kristus, beliau telah menjadi bagian dari diri dan hidup kami para imamnya dan umat yang digembalakannya. Ia kini telah menjadi penuntun dalam perjalanan Rohani kita, melalui visi-misi dan spiritualitas yang telah dia hidupi. Dan saat ini, ia selalu ada dan hadir dalam seluruh bingkai visi-misi dan spiritualitas karya pastoral di keuskupan ini. Dan kepadanya saya hanya mengulangi kata-kata yang sudah bergema selama berabad-abad, “semoga cahaya abadi menerangi Bapak uskup dan dan semoga ia beristirahat dalam damai”. Jadilah pendoa buat kami..
source: Status Medsos FB RD. Yustinus Ta’alaleng, 7 Juli 2016