Oleh RD Ferdi M. Bupu
Injil Markus bab 7 berisikan tiga pengajaran penting dengan latarbelakang geografi yang pantas untuk diperhitungkan.
Pengajaran pertama terjadi di Galilea, di salah satu pantai danau, tentang bagaimana memposisikan Perintah Allah dan adat istiadat (1-23). Secara jelas Yesus menegaskan Perintah Allah harus didahulukan; Mana casing, mana isi, mana kulit mana darah-daging.
Pengajaran kedua berlokasi di daerah Tirus. Yang disembuhkan adalah anak seorang ibu. “Perempuan itu seorang Yunani bangsa Siro-Fenesia” (26).
Kita melihat kontrasnya antara ketidakpercayaan Bangsa Israel dan kepasrahan-rendah hatinya bangsa asing. Sesuatu yang kontras ini terkomunikasikan dalam teks, “tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing.”
Hanya saja menjadi menarik, ketika perempuan itu menjawab: “Benar, Tuhan. Tetapi anjing yang di bawah meja juga makan remah-remah yang dijatuhkan anak-anak.” (27-28).
Lantas, disposisi ini membuahkan penyembuhan. Kita tentu tahu spirit ini. Tim medis di Rumah Sakit akan berjuang meyakinkan pasien agar percaya pada proses pengobatan, kalau tidak, jarum suntikpun bengkok.
Pengajaran ketiga diawali dengan paparan rute perjalanan Yesus. “Kemudian Yesus meninggalkan pula daerah Tirus dan dengan melalui Sidon pergi ke danau Galilea, di tengah-tengah daerah Dekapolis.” (31).
Dekapolis berarti sepuluh (deka) kota (polis).[ Sepuluh Kota itu terdiri dari, 1)Hippos, 2)Philoterio, 3) Gadara, 4)Scythopolis, 5)Pella, 6)Abila 7)Gerasa, 8)Capitolias, 9)Konata dan 10)Philadelphia (Rabbath-Ammon)]. Seiring perjalanan waktu ada perubahan-perubahan atas 10 kota itu. Tetapi lokasinya disepakati berada di Negara Syiria dan Yordania sekarang.
Kita tidak diberi informasi di mana persisnya terjadi. Hanya saja, daerah itu dekat dengan Danau Galilea. “Di situ orang membawa kepada-Nya seorang yang tuli dan yang gagap dan memohon kepada-Nya, supaya Ia meletakkan tangan-Nya atas orang itu,” (32).
Deskripsi ini tidak begitu aneh. Semua kita tentu mengerti. Orang tuli sejak lahir akan gagap. Karena fakta bahwa manusia mengawali komunikasinya dengan meniru. Tidak mendengar berarti tidak bisa meniru.
Di sisi lain, gangguan pendengaran dalam religiusitas Bangsa Yahudi adalah realitas membuat seseorang tidak bisa memenuhi perintah pertama dan utama dari Allah yang di sebut dengan syema yisrael (dengarlah Israel) “Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!” (Ul. 6,4). Tanpa ini, ibarat kata, mengaku orang Katolik, tapi tidak tahu bagaimana membuat Tanda Salib.
Menarik untuk mengamati bagaimana Yesus memperlakukan si Tuli-Bisu. Kalau Yesus bermaksud menjadikan peristiwa penyembuhannya sebagai moment katekese, mengapa Yesus memisahkan dia dari orang banyak?
Kalau Yesus mau, bisa saja dengan hanya bersabda, penyembuhan itu terjadi. “Hai orang tuli, mendengarlah, hai orang buta melihatlah”. Tapi itu tidak terjadi. “Yesus memisahkan dia dari orang banyak, sehingga mereka sendirian, Ia memasukkan jari-Nya ke telinga orang itu, lalu Ia meludah dan meraba lidah orang itu. Kemudian sambil menengadah ke langit Yesus menarik nafas dan berkata kepadanya: “Efata!”, artinya: Terbukalah! (33-34)
Dalam teks berbahasa aramaik memang tidak persis sama dengan teks kita. “Ia melihat ke langit menarik nafas (seperti orang membuat ancang-ancang untuk suatu kegiatan yang tidak biasa) dan berkata kepadanya: Terbukalah!”. “Efata”, artinya terbukalah, merupakan kebutuhan bagi para pembaca yang tidak mengerti arti kata itu. Kata Efata diberi catatan “yang artinya terbukalah”. Ini terjadi beberapa kali dalam Kitab Suci (eloi..eloi lama sabaktani, Talita Kum, Efata, Abba, Rabuni, Hosana, maranatha).
Dua Hal yang Pantas Direnungkan
Campurtangan Yesus secara luar dari yang biasa ini membawa efek luar biasa juga. “terbukalah telinga orang itu dan seketika itu terlepas pulalah pengikat lidahnya, lalu ia berkata-kata dengan baik.(35) Ada dua hal yang pantas untuk kita renungkan.
Pertama, terbukalah telinga orang itu. Telinga yang terbuka adalah telinga yang siap mendengarkan. Ini barang mewah pada jaman kita. Coba kita perhatikan bagaimana ketika sedang berbicara pendengarnya, orang Bangka bilang “aok-ia aok ia” tapi sambil membalas WA di hpnya. Ketika sebuah materi disampaikan, orang sibuk berpikir apa pertanyaan hebat yang bisa diajukan tentang materinya ini. Dalam forum diskusi tidak jarang kita melihat pemandangan di mana kita tidak tahu lagi mana yang harus omong dan mana yang harus dengar karena semuanya berbicara.
Terbukanya telinga untuk bisa mendengar bukan saja hanya menjadi suatu komitmen diri, tetapi juga dibawa ke level aktualisasinya. Salah satu deskripsi orang-orang Belanda jaman dahulu kepada orang-orang Indonesia dikenal dengan ungkapan “Oost–Indisch doof,” yang berarti, tuli seperti orang Hindia Belanda/Indonesia. Karena kalau dipanggil berarti ada yang harus dikerjakan lagi, maka lebih baik pura-pura tidak dengar.
Dia dengar, tapi mengambil sikap sebagai orang yang tidak dengar. Dalam kehidupan nyata, hal ini menjadi tantangan diri. Betapa naluri antipati, cuek, tidak peduli, tidak mau repot, dan sejenisnya melumpuhkan kemanusiaan kita. New Efata diperlukan.
Kedua, Selain terbukanya indra pendengaran, camputangan Yesus memungkinkan terlepasnya pengikat lidah. Realitas ini masih netral, terbuka untuk kemungkinan positif atau bisa negatif. Terlepasnya pengikat lidah hanya bisa bermakna kalau disandingkan dengan apa yang terjadi selanjutnya: “lalu ia berkata-kata dengan baik.”
Berkata dengan baik kalau dimengerti dalam bahasa Latin berarti bene (baik) dire (berbicara) yang lebih kita kenal artinya BERKAT. Sebaliknya male berarti jelek, jahat. Juga dire yang berarti berkata, juga dipahami sebagai kutuk.
Pengikat lidah yang dilepas Yesus melekat dengan panggilan untuk berkata baik atau membawa berkat. Semoga tutur kata kita adalah berkat bagi sesama. (***)
*)Ketua Komisi Kitab Suci Keuskupan Pangkalpinang & Parokus St Bernadeth Pangkalpinang