YUBILEUM: PORTA SANCTA
Sebuah kado sederhana untuk Yubilaris, Msgr. Hila Moa Nurak, SVD, pada kesempatan 40 Tahhun Imam dan 25 Tahun Uskup
(Dr. Markus Solo Kewuta, SVD)
Diambil dari Buku Kenangan 25 tahun Uskup Hilarius Moa Nurak, SVD
Gereja Katolik periode renaissance mengenal praktek Tahun Suci atau Tahun Sukacita (Holy Year/ Jubilee) yang sebenarnya sudah dirilis sejak tahun 1300 melalui Bulle Antiquorum habet fida relation oleh Paus Bonifatius VIII. Praktek ini berakar pada pesta Yom Kippur bangsa Israel yang sudah dipraktekan jauh sebelum masa pembuangan Babilonia (598-539 sebelum Masehi). Hari Yom Kippur yang kini dirayakan setiap tahun, adalah hari pembersihan dosa dan kesalahan, momen rikonsiliasi total, pembatalan segala kerja berat, detik pembebasan bagi para tawanan, pengembalian segala utang – piutang, dan hari bermulanya sebuah era hidup baru.
Nuansa Tahun Suci pun tidak jauh berbeda dari nuansaYom Kippur, sekalipun tidak dirayakan sesering Yom Kippur. Tahun Suci yang awal mula dirayakan sekali dalam satu abad atau 100 tahun, mengalami perpendekan dari waktu ke waktu hingga 25 tahun sekali dan bertahan hingga saat ini.
Sama dengan Yom Kippur, Tahun Suci bermaksud sebagai hari penghapusan dosa, hari rekonsiliasi, masa bermulanya hidup baru; dan oleh karena itu merupakan hari penuh sukacita (Jubeljahr dalam bahasa Jerman; Jubilee bahasa Inggris). Pada tahun 2000, dalam doa Vesper Mulia sehari sebelum Natal, mendiang Beato Paus Johannes Paulus II memukul Porta Sancta/ Pintu Suci, di sebelah kanan pintu masuk utama Basilika Santo Petrus di Vatikan, sebanyak tiga kali, dan membukanya secara meriah, tanda tiba Tahun Sukacita setelah masa penantian selama 25 tahun.
Duapuluh lima tahun adalah sebuah jenjang masa hormat, di mana Tuhan menunjukan karya besar kepada umatNya dan mengisi setiap detik kehidupanya dengan aneka berkat dan rahmat.
Dihari tibanya Tahun Suci, umat Katolik segenap bangsa boleh bersukacita sambil mengalami masa pembebasan ini, masa berahmat, momen pentahiran dosa-dosa manusia, masa Tuhan dan manusia bersatu dalam sebuah pengalaman super natural, yakni pengalaman transedensi diri dari kengkangan kuasa-kuasa dunia dan menjadi manusia baru dalam roh Tuhan.
Satu dari pengalaman transcendental Tahun Suci 2000 yang lalu adalah permohonan maaf dari Sri Paus Johannes Paulus II atas na5ma Gereja Katolik Roma sejagat untuk segala kesalahan dan kekeliruan yang telah dilakukan umatnya pada masa-masa silam. Ini adalah sebuah langkah berani yang boleh dikatakan sebagai sebuah rahmat Tahun Suci.
Demikianlah alasannya mengapa manusia masa kini menggunakan istilah “yubileum”, yang sejatinya berasal dari tradisi Tahun Suci di atas. Yobel adalah sebuah alat music tiup popular bangsa Israel berbentuk gading yang digunakan untuk mewartakan tibanya Tahun Suci.Tiupan Yobel mewartakan sebuah momen penuh sukacita karena Tuhan hadir dan menyelamatkan manusia, entah dalam dan melalui peristiwa apa saja.
Kedua peristiwa iman di atas, baik Yom Kippur maupun Tahun Suci, yang hanya dideskripsikan secara gambling saja untuk mengangkat makna fundamentalnya, menyimboliskan makna sebuah “pintu” (porta). Lazimnya tradisi Kristen mengenal sebuah adagium dalam kaitan dengan ini: “berbahagialah mereka yang hilir dan mudik melalui Pintu Suci (porta sancta) lebih dari tiga kali”. Angka tiga merenferensi pada umur 75 tahun, oleh karena Tahun Suci yang dilambangkan dengan dibukanya “porta sactha” itu dirayakan sekali dalam dua puluh lima tahun. Pemazmur di dalam Kitab Suci Perjanjian Lama sudah meletakkan taksiran visioner jauh sebelum kelahiran Kristus bahwa hidup manusia umunya hingga 70 tahun dan 80 jika kuat (bdk. Mzn. 90:80).
Berbahagialah mereka yang diperkenankan Tuhan untuk bisa menghadirkan peristiwa-peristiwa penting di dalam hidupnya setelah dua puluh lima, lima puluh, tuju puluh lima dan seratus tahun berlalu. Jenjang waktu yang kian panjang ini tentu tidak berlalu begitu saja dalam bisu seperti aliran air sungai sepanjang musim. Bukan pula sebuah rentangan waktu dalam gerakan linear dan segalanya berubah tanpa makna menurut versi “panta rei”-nya Heraklitus. Tetapi segala detik yang kemudian berakumulasi pada tahun adalah kayros: waktu-waktu berahmat, di mana Tuhan tetap berkarya di dalam diri manusia. Dia tidak pernah tidur. “Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Akupun bekerja juga” (Yoh. 5:17).
Kuterkenang komentar Kardinal Presiden Dewanku ketika berdua di dalam pesawat Emirates menuju Bangladesh untuk sebuah kunjungan dinas. Obrolan kami tiba pada informasi perayaan Pesta Perak Imamat Kakak sulungku bulan September 2011 yang lalu. Kata Eminens Kardinal kepadaku: “dua puluh lima tahun Imamat adalah sungguh sebuah prestasi”. Pikiranku terus bermain-main dengan kata “prestasi” hingga mendarat di Dhaka. Prestasi adalah kata yang kerap akrap dengan dunia ekonomi. Sebuah termonologi di dalam dunia kerja keras dan dunia pencarian reputasi dikenakan pada sebuah konteks imamat tentu layak mengundang sebuah refleksi khusus.
Prestasi dalam konteks bahasa Italia (komunikasi kami waktu itu dalam bahasa Italia) adalah “prestazione”; berasal dari kata kerja “prestare” yang berarti: “mengimplikasikan nilai-nilai luhur seperti memberi untuk menyelamatkan penerima dari kekurangan, memudahkan atau melancarkan timbal-balik (reciprocity) dan sebuah relasi yang konstan. Prestare adalah sebuah aksi yang berasal dari kebaikan hati semata-mata, yang dalam terminologi Kristiani disebut rahmat atau berkat; yakni sebuah aksi penyelamatan oleh karena kasih.
Yubileum, entah itu perak, pancawindu, emas atau intan adalah “sebuah prestasi” yang bukan merupakan kulminasi dari rentetan perjuangan panjang dalam terminologi bisnis dan produksi ekonomi untuk sebuah reputasi, melainkan sebuah masa berahmat, sebuah momen penuh berkat, di mana Tuhan “meminjamkan” kuasaNya kepada manusia melalui pentahiran diri orang yang merayakan yubileum, menjadikan dia manusia baru, membahagiakan dirinya dan memberikan kepadanya motivasi serta kekuatan baru untuk merespon pinjaman Tuhan itu dengan melanjutkan tugas dan panggilannya secara lebih baik di masa yang akan datang.
Yubileum manjadi “porta sancta”, yakni sebuah pintu baru, pintu kudus menuju era baru yang lebih baik seraya mensyukuri segala yang sudah “dipinjamkan” Tuhan kepada manusia.
Monsignor Hilarius Moa Nurak, SVD yang baik,
Sebagai konfrater dari satu Serikat dan mantan murid (walau hanya 3 bulan), saya mengucapkan Selamat Berbahagia untuk kenangan 25 tahun perjalanan panggilan dan pelayan sebagai Uskup dan 40 tahun sebagai Iman Tuhan. Dua peristiwa khusus ibarat dua pintu kudus (portae sanctae). Semakin banyak pintu, semakin banyak pula rahmat Tuhan, dan semakin besar rasa sukacita di dalam dada. Artinya kuat pula langkah kaki menempuh perjalanan ke depan. Kekuatan baru ini memampukan diri untuk menguatkan pula kawanan domba yang Tuhan serahkan sepanjang kelana misi ini (ego autem rogavi pro te….et tu aliquando conversus confirma fraters tuos, luk. 22:32).