RD. Lucius Poya Hobamatan
(Imam Diosesan Pangkalpinang)
Pengantar
Ketika berjalan menggali mutiara iman pengungsi Vietnam, tahun 2000, untuk kepentingan ziarah dan wisata di Batam, muncul sebuah pertanyaan: mungkinkah pengungsi bisa selamat bila hanya mengandalkan boat-boat kecil, ketika melintasi laut China Selatan? Apakah peran Bunda Maria begitu kuat sehingga patung-patung dan gedung gereja diabadikan kepadanya, dengan kalimat: Tan On Duc Me sebagai cetusan hati yang paling dalam?
Pertanyaan itu semakin menggelora ketika pertama kali merayakan ekaristi penutupan bulan Maria di Gua Maria Puteri Sion, saat menginjaki bumi Batam untuk mempresentasikan buku” Ketika Aku Seorang Asing kamu memberi Aku Tumpangan”, tahun 2001. Saat itu saya terkagum karena walau ekaristi di tengah hujan yang deras, di alam terbuka, di depan gua, tak satu pun umat lari mencari tempat berlindung. Ada apa dengan Bunda Maria? Pertanyaan itulah yang menggugat saya menulis di majalah BERKAT dalam kolom NOTA. Rupanya setahun setelah itu, saya dimutasikan ke Tembesi, ke tempat pertanyaan tentang Maria muncul untuk mempersiapkannya menjadi sebuah Paroki yang baru.
Refleksi Tentang Maria Dalam Lintasan Sejarah
A.1. Ketika Maria Menjadi Figur iman awal Gereja
Perjalanan iman awal Gereja Tembesi dimulai dari Komunitas Kecil orang Flores Timur (Solor dan Lembata). Dari catatan sejarah, tanggal 8 September 1963, tepat pada Pesta Kelahiran Bunda Maria, 80 orang Flores berlayar dari Nebe ke Riau. 29 hari perjalanan dengan perahu layar untuk sampai ke Riau. Dalam perjalanan hanya rosario menjadi andalan ketika menghadapi gelombang atau badai laut. Bapak Mateus Kolin bertutur bahwa tanggal 5 Oktober 1963, kelompok Maumere memilih turun di Mensanak, sedangkan kelompok Solor, kurang lebih 15 orang meneruskan perjalanan ke dapur 12, karena di tempat ini bermukim sanak keluarga para awak perahu. Kelompok ini tiba di Dapur 12 (Wilayah Kapel Yosafat sekarang) pada tanggal 6 Oktober 1963, sehari sebelum Pesta peringatan Rosario Santa Perawan Maria, yang jatuh tanggal 7 Oktober. Mereka ini langsung diantar ke Tembesi. Dari komunitas kecil 15 orang ditambah bapak Andreas Koda Lembata, mulailah diadakan kontas gabungan dari rumah ke rumah.
Saat pendirian kapel pertama di bukit Kompi Siaga sekarang, dekat Simpang Barelang, tahun 1966, rosario itulah yang menjadi santapan rohani karena belum ada ibadat sabda hari Minggu. Rosariolah yang menjadi sarana penghayatan iman mingguan. Bahkan ketika Ibdat Sabda Hari Minggu mulai diberlakukan, saat kapel Kompi Siaga dipindahkan ke Tembesi sebagaimana di lokasi sekarang, tahun 1984, rosario tetap menjadi andalan peribadatan Hari Minggu, karena lebih mengena untuk umat yang datang dari Flores.
Terlihat jelas bahwa Bunda Maria merupakan Pembantu dalam bahaya, pelestari iman di tanah rantau, sekaligus figur yang mengantar para pioneer iman mempersembahkan diri kepada Tuhan.
A.2. Tempat Ziarah Pertama di Batam
Mengagumkan bahwa ketika kapel dibangun agak permanen yang berukuran 7×9 meter, para pengurus tidak melakukan sebuah planning untuk mengantisipasi penambahan umat. Fokus perhatian justru diarahkan pada pembangunan gua Maria, yang lagi-lagi dilakukan dengan swadaya umat. Bunda Maria begitu melekat di hati umat wilayah barat Batam, sehingga takhtanya didahulukan sebelum merstorasi gedung gereja seperti yang ada sekarang. Sepertinya pendampingan Bunda Maria begitu nyata dalam pengalaman, sehingga Bapak Mateus Kolin menyerahkan sebagian lahannya untuk menjadi tempat Maria, sekaligus tempat umat wilayah barat memohon doa kepada Tuhan lewat perantaraannya. Kehadiran gua Maria Puteri Sion Tembesi ternyata menjadi tempat ziarah pertama di Batam, sebelum Galang direstorasi sebagai tempat ziarah Batam.
Dan bila membidik Galang yang meninggalkan jejak iman kaum pengungsi dan kini masuk dalam wilayah persiapan paroki, maka terlihat bahwa peran Maria sebagai Bunda yang selalu menolong sungguh sangat dirasakan oleh mereka yang letih lesu dan berbeban berat.
Ya! Tembesi dan Galang, dua tempat ziarah yang telah membantu penghayatan iman sekaligus tempat umat Batam mendapatkan tetesan rahmat ilahi. Bahkan bila menelusuri cerita dua patung Maria yang terbakar di Tembesi, dan kini tidak diketahui di mana, tampil sebuah potret betapa Bunda Maria merupakan tempat anak-anaknya memanjatkan permohonan kepada Allah, karena daripadanya bantuan rahmat dialirkan.
A.3. Ada Apa dengan Malaikat Gabriel
Suatu ketika dalam usaha melacak misi awal Tembesi, saya bertanya kepada bapak Mateus Kolin:” Mengapa kapel ini diberi pelindung Malaikat Gabriel?”
Bapa Mateus Kolin hanya berujar:” Saya juga tidak tahu. Nama itu diberikan oleh Pastor Piet Hoedemakers”.
Justru dari jawaban itu, muncul kesan dalam diri saya mengapa Maria menjadi tempat sandar orang-orang kecil sederhana ketika menabur iman di wilayah barat Batam. Menengok permohonan yang dibaktikan kepada Maria dalam kontas gabungan dari rumah ke rumah, sejak komunitas kecil itu berjumlah 15 orang, tampak bahwa mereka bagai Gabriel yang memohon dan memohon kepada Maria agar daripadanya lahirlah Gereja, Tubuh Kristus di Wilayah Barat-Batam.
Refleksi Tentang Maria Dalam Animasi Awal
B.1. Maria Bunda Pemersatu
Ketika mengadakan animasi awal untuk mempersiapkan wilayah ini menjadi Paroki, luka konflik porimordial Batak-Flores, yang mencuat di akhir abad 20 masih terasa. Konflik itu, yang justru lahir di wilayah persiapan paroki ini, menimbulkan suasana tegang setiap kali saya mengunjungi rumah-rumah dari satu tempat ke tempat yang lain. Namun demikian, rosario menjadi piranti pendingin dan jembatan masuk untuk mengembalikan kasih persaudaraan yang sudah hilang ditelan gelombang primordialisme. Itulah sebabnya, walau masih tegang, toh rosario mengundang mereka yang bermusuhan untuk bersatu sebagai saudara dan saudari dalam satu bunda yang sama, yakni Maria. Begitulah! Maria menjadi figur awal untuk membangun Komunitas Basis Gereja: sebuah keluarga bagi putera dan puteri Maria.
Bukan hanya konflik primordialisme. Sejak awal masuk, konflik teritorial pun sedang terjadi antara Tembesi dan Batu Aji, antara Batu Aji Baru dan Batu Aji Lama. Konflik antara Tembesi dan Batu Aji Baru lebih mengarah kepada perjuangan untuk merebut pusat paroki, dan nama Pelindung Paroki (Gabriel atau Fransiskus). Sedangkan konflik antara Batu Aji Baru dan Batu Aji Lama tidak diketahui akar masalah. Yang jelas bila ada rapat di Batu Aji Baru, umat Batu Aji Lama tidak datang. Demikan pun sebaliknya, bila pertemuan di Batu Lama, umat di Batu Aji Baru tidak menunjukkan muka. Bahkan lebih konyol lagi, dalam pesta-pesta besar Gereja, Umat Batu Aji Lama lebih memilih ke Tiban dengan ongkos yang lebih mahal, ketimbang berhimpun sebagai umat Allah di Batu Aji Baru.
Dalam situasi konflik seperti itu, saya hanya menjawab pusat paroki berada dalam kuasa Bapa Uskup. Kriterium pusat paroki adalah, pertama, harus menjadi centrum pertemuan umat: Utara-Selatan, Timur-Barat. Kedua, lahan harus besar supaya memenuhi pengembangan untuk masa yang akan datang. Ketiga, letaknya harus strategis. Dengan alasan itu, situasi agak mencair.
Lagi-lagi dalam suasana konflik seperti ini, nama Maria lebih tepat dijadikan sebagai pelindung, karena kehadiran nama itu mempersatukan yang tercerai berai. Dan ini tampak dalam diri kaum muda kala itu. Setiap malam minggu, mereka mengadakan doa rosario dari komunitas yang satu ke komunitas yang lain, sehingga ambisi-ambisi yang sejak awal mencuat dan menciptakan konflik perlahan meredup dan tidak lagi terasa.
B.2. Maria Bunda Pendamping yang setia
Ada dua kelompok mayoritas di wilayah Barat Batam, yakni Flores dan Batak. Flores memang sangat kental dengan rosario, sedangkan Batak yang sangat kental dengan protestantisme membuat devosi kepada Maria adalah sesuatu yang asing. Di komunitas-komunitas yang homogen Batak, rosario baru mulai dikenal di Batam. Tidak heran jika rosario selalu diiringi dengan estafet lilin. Awalnya saya menduga ada tradisi baru. Namun ketika berkunjung dari komunitas ke komunitas untuk sekedar berdoa rosario bersama mereka baru saya ketahui bahwa lilin itu berfungsi untuk menerangi si pendoa ketika mendapat giliran rosario yang dibaca dalam puji syukur. Maklum saya lebih sering duduk di luar rumah, di tempat gelap, bersama mereka sehingga pengalaman itu menjadi sebuah pengalaman iman yang menakjubkan. Kelihatan lucu, tetapi justru di Batam, Maria menjadi pendamping yang setia untuk memperdalam iman anak-anaknya yang di kampung halaman tidak diperkenalkan kekayaan iman katolik akibat kuatnya protestantisme dan kurangnya kunjungan imam.
B.3. Maria Bunda Gereja
Bila sejenak melihat pelindung-pelindung paroki di tanah Batam, tampak bahwa paroki-paroki di Batam dipersembahkan kepada perlindungan tokoh-tokoh besar Gereja. St. Petrus adalah Kepala Gereja, pemimpin yang dipercayakan oleh Yesus Kristus untuk memegang kunci Kerjaan Surga. Sementara Damian adalah bapa pendiri kongregasi SSCC, perintis Gereja Lokal.
Dan bila melihat semangat iman umat wilayah barat, yang walau berada dalam penderitaan kehidupan bagai berada di antara tombak dan pedang, kurang diperhatikan oleh DPP dan Pastor paroki kala itu, namun tetap tenang, tabah dan mengumbar senyum atas kehidupan yang dihadapi; tidak ada salahnya bila nama paroki yang baru dibaktikan kepada Maria. Dia adalah Bunda Gereja. Bagaimanapun terlihat bahwa spiritualitas Maria telah mengkristal dalam setiap pengalaman iman yang dialami.
Sebab bila kita menempatkan umat wilayah barat, dalam bingkai kehidupan meng-Gereja, harus diakui bahwa semangat Maria sangat melekat di inti bathin mereka. Spiritualitas itu yang membuat mereka tetap rindu untuk saling mengunjungi dalam doa mingguan di komunitas, untuk mempersembahkan hidup mereka kepada Tuhan kendati peluang untuk mendapatkan uang selalu terbuka lebar; selalu tabah saat digusur dari satu tempat ke tempat yang lain, bagai Maria dari Betlehem ke Mesir oleh kekejaman Herodes. Kunjungan untuk membangun kasih dan persaudaraan, sikap yang selalu terbuka kepada Allah; tabah dalam menatap hidup ditengah arus pengungsian dari waktu ke waktu; itulah spiritualitas Maria. Pada umumnya komunitas-komunitas mengambil hari Minggu untuk berdoa. Pagi hari berhimpun sebagai keluarga Allah di Gereja dalam Perjamuan Ilahi. Siang hari bersama kelurga di rumah. Malam hari merajut kasih dan persaudaraan dalam terang injil dan rosario sebagai Keluarga Allah di Komunitas Basis Gereja.
Kronik Maria Dalam Persiapan Paroki
Setelah Bapa Uskup mendesak saya untuk segera pindah ke Tembesi, akhirnya Sabtu, 22 Maret 2003, saya mulai menetap di Tembesi. Karena perpindahan itu tidak direncanakan secara matang, sehingga perlengkapan misa tidak saya bawa. Akhirnya tanggal 25 Maret, merupakan hari pertama saya misa harian di Tembesi. Hari ini adalah hari raya Khabar Sukacita. Setelah melihat kalender ternyata bahwa tanggal 22 Maret 2003, hari pertama saya tinggal di Tembesi untuk mempersiapkan paroki, adalah hari peringatan tujuh duka cita Maria.
Setelah menetap di Tembesi barulah mulai diadakan perbincangan untuk jadwal pelayanan komunitas serta jadwal pelayanan bulanan. Tembesi sendiri sudah memiliki tradisi devosi kepada Hati kudus Yesus, setiap Jumat Pertama; serta devosi kepada Bunda Maria setiap bulan Mei dan Oktober. Karena sejarah Tembesi sangat dipengaruhi oleh Maria, maka perlu diadakan misa bulanan di gua Maria. Merundingkan waktu bersama seksi Liturgi, mengingat waktu kerja di PT, akhirnya pilihan jatuh pada setiap Kamis Pertama dalam bulan. Dalam perjalanan waktu baru saya ketahui bahwa hari Kamis telah ditetapkan sebagai hari untuk merenungkan peristiwa cahaya dalam rosario suci, yang baru ditetapkan oleh Sri Paus Yohanes Paulus II. Dan bila merenungkan persiapan paroki dalam kesatuan dengan ziarah Gereja Semesta itu, maka Paroki Wilayah Barat Batam ini lahir bersamaan dengan peristiwa agung yakni pemakluman Peristiwa Cahaya Rosario Suci itu.
Demikian juga bila merenungkan perubahan jadwal peresmian paroki, dari bulan Oktober ke hari Sabtu, 1 Nopember 2003; tampak ada sebuah misteri di balik perubahan itu, walau mungkin perubahan itu terjadi karena padatnya jadwal Bapa Uskup. Seperti peristiwa-peristiwa di atas yang selalu terjadi serba kebetulan namun selalu tepat dengan hari penghormatan kepada Maria; hari dan tanggal persemian pun bertepatan dengan penghormatan kepada Maria. Hari Sabtu adalah hari yang dibaktikan kepada Bunda Maria. Sedangkan tanggal 1 Nopember, yang lebih dikenal dengan Hari Raya Orang Kudus, baru saya ketahui sebagai tanggal dikeluarkannya dogma St. Perawan Maria diangkat ke Surga, tahun 1950.
Pergulatan Pribadi
Ketika harus pindah dari Bangka, saya betulnya sedang resah. Saya resah karena di samping ada beberapa buku yang sedang saya garap (Menggapai Perkawinan Sesuai Rencana Allah; Jangan Takut, Betapa Indahnya Sakramen Tobat, Gereja Keuskupan Pangkalpinang Dalam Terang Surat Gembala Bapa Uskup) tidak mungkin dilanjutkan lagi, saya juga resah karena tidak siap memasuki Batam. Bagaimanapun saya merasa Batam tidak memberi peluang untuk mengembangkan minat dan kreativitas saya, apalagi Tembesi sendiri masih asing untuk saya.
Dalam kondisi yang sedang resah itulah saya bertolak ke Batam, pertengahan Juni 2002. Untuk mengurangi keresahan, saya mencoba bertanya kepada Pastor Wayan, SVD tentang batas-batas wilayah yang harus dipersiapkan, ketika tiba di Batam. Pastor Wayan hanya menjawab mulai dari DAM Muka Kuning. Tak satupun penjelasan yang cukup memuaskan dan rinci. Tembesi tetap gelap dalam pikiran saya.
Setelah beberapa hari, saya membaca bahwa Tembesi memang ditelantarkan dan tidak masuk dalam agenda pastoral paroki. Hal itu semakin nyata ketika DPP pun tidak membaca surat Bapa Uskup tentang penempatan dan tugas saya, sehingga pemisahan tugas antara persiapan umat, persiapan dana dan persiapan fisik, yang jelas-jelas dicantumkan dalam surat tanggal 8 Mei 2002 itu sama sekali tidak terjadi. Dalam surat tertanggal 8 Mei itu Bapa Uskup menyatakan bahwa saya bertugas untuk mempersiapkan umat, sedangkan persiapan dana dan persiapan fisik diatur oleh Pastor dan DPP St. Petrus Lubuk Baja. Namun tugas-tugas itu sama sekali tidak dihiraukan oleh mereka yang dipercayakan untuk memegang pastoral di Paroki, yang di dalamnya Tembesi berinduk.
Apatisme DPP terhadap Tembesi membuat saya ditantang untuk menjawab pertanyaan yang muncul dalam diri saya:” Untuk apa menjadi imam projo?”
Pertanyaan itu membuat saya mulai mengadakan pertemuan dengan dewan stasi Tembesi untuk brain storming sebelum menyusun agenda persiapan umat, fisik dan dana. Bagaimanapun, wilayah Tembesi adalah wilayahku, sebagai pemilik Keuskupan Pangkalpinang. Masa depannya ada di tangan imam projo.
Kekuatan itulah yang membuat saya kembali bersemangat, walau kesal atas sikap pastor dan DPP yang me-manage paroki seperti sebuah perusahaan. Ternyata pengalaman Bengkong, yang ditelantarkan saat dipersiapkan menjadi paroki, terulang kembali. Segala perhitungan pastoral selalu diukur dengan uang, sehingga jati diri paroki induk, terutama persaudaraan, kasih dan persekutuan yang merupakan citra paroki menjadi tidak dipedulikan.
Tanggal 21-27 Juni, setelah melewati brain storming untuk mendapatkan gambaran aktual tentang Tembesi, saya menyusun agenda persiapan sebagaimana saya laporkan dalam tahap pertama, sebelum mengikuti ret-ret di Tanjung Karang. Setahun setelah itu, Juni 2003, ketika referensi tentang Maria mulai saya minati kembali, bersamaan dengan studi sejarah untuk pembuatan buku kenangan, saya baru tahu bahwa 27 Juni adalah peringatan Maria Bunda Pembantu Abadi. Saya akhirnya merenung tentang peran Maria sepanjang pergulatan bersama umat di Tembesi setahun yang lalu. Saya merasa Maria berperan di balik perjuangan saya, sehingga membuat saya sabar, rendah hati, tetap melayani umat dengan setia, tetap tabah mendapatkan perlakuan DPP Lubuk Baja, serta mendapatkan pencerahan saat membuat agenda kerja sepanjang persiapan Paroki. Dia tidak hanya membantu dan menolong umat dan kaum pengungsi. Ia membantu dan menolong saya, sehingga walau ada persoalan yang dihadapi tetapi toh tidak membuat saya putus asa.
Penutup
Merenungkan perjalanan iman di wilayah barat Batam sejak awal sampai persemian paroki, Sabtu 1 Nopember 2003, terlihat bahwa Bunda Maria adalah Bunda kaum anawim. Gereja Tembesi, bahkan Keuskupan Pangkalpinang pada umumnya dibangun oleh kaum anawim itu. Iman dan penyerahan diri yang total pada penyelenggaraan ilahi itulah yang menjadi kekuatan utama.
Kalau semua peristiwa terlihat serba kebetulan, mulai dari awal penanaman benih iman sampai puncak peresmian sebagai Gereja; hal itu menunjukkan bahwa semua itu di luar rencana manusia. Maria hadir sebagai ibu. Ia lebih memahami apa yang harus dinyatakan terhadap kehendak Puteranya. Ia selalu membantu dengan keibuannya, saat melihat anak-anaknya yang sangat sederhana tetap memiliki iman yang mendalam. Ia sangat setia dengan kidung syukurnya. Kasih sayangnya turun temurun kepada orang-orang yang takwa. Ia mengangkat orang yang hina dina. Ia Pembantu Abadi bagi umat wilayah barat yang anawim, yang susah mendapatkan kehidupan tetapi memiliki iman yang membanggakan, yang tahu apa itu kasih, yang mengerti apa itu persaudaraan dan persekutuan, yang sadar akan arti pelayanan. (Atan)