(sebuah refleksi Hari KOMSOS ke-56 Keuskupan Pangkalpinang)
Membaca tema KOMSOS ke-56 29 Mei 2022 ini, terdengar kontradisksi. Kontradiksinya terletak pada kata “telinga hati”. Masa, hati ada telinga! Mendengar pada kenyataannya ialah telinga, alat indra mendengar. Tanda telinga atau ada telinga namun tidak berfungsi, itu namanya tuli, pekak. Mendengarkan dengan telinga hati, memiliki dua kata kunci yang perlu dipahami terlebih dahulu. Kata kunci mendengarkan dan telinga hati.
Mendengar atau mendengarkan?
Mendengarkan, bukan mendengar. Mendengar ialah proses pasif; dimana sensorik merasakan bunyi atau suara. Mendengar lebih pada tanggapan fisiologis. Dari tanggapan fisiologis membentuk persepsi, persepsi tentang bunyi atau suara. Dan secara sensorik pula, akan dibaca oleh pikiran untuk mengenal asal usul bunyi atau suara. Karena lebih pada tanggapan sensorik, mendengar tidak memerlukan perhatian yang serius.
Mendengarkan adalah tindakan sadar dan aktif. Mengapa mendengarkan itu merupakan tindakan sadar dan aktif? Dikatakan demikian karena mendengarkan melibatkan secara penuh sarana pendengaran, pikiran, hati, dan perasaan. Disini unsur pokok yang harus dibangun ialah konsentrasi. Sebab dampak dari itu ialah respons yang ditimbulkan dari mendengarkan.
Dari pemahaman mendengar atau mendengarkan ternyata dua kata ini memiliki esensi perbedaan. Perbedaannya ialah mendengarkan tidak dilakukan tanpa mendengar, sementara mendengar dilakukan tanpa mendengarkan. Dengan kata lain, mendengar sebatas pada sensorik fisiologi sementara mendengarkan melibatkan seluruh diri yaitu telinga, pikiran, hati dan perasaan dengan sadar dan aktif.
Mendengarkan dalam Kitab Suci
Tema besar Hari Komsos ke-56 Sedunia 29 Mei 2022 ialah “Dengarkan!” Perhatikan, kata “dengarkan” kemudian ditambah dengan kata seru (!) dan dengan dua tanda petik (“…”) diawal dan diakhir kata dengarkan.
Jika kita mencoba membaca “dengarkan!”, secara perlahan dan merenungkan, termaktup makna ini, tegas dan pedoman atau penuntun hidup. Dikatakan tegas karena mengungkapkan latarbelakang sebelumnya kurang atau tidak mau menegaskan.
Dengan mengatakan “dengarkan!”, menegaskan bahwa menarik perhatian kita untuk berfokus mendengarkan. Santo Yakobus 1: 25, mengatakan: “Tetapi barangsiapa meneliti hukum yang sempurna, yaitu hukum yang memerdekakan orang, dan ia bertekun di dalamnya, jadi bukan hanya mendengar untuk melupakannya, tetapi sungguh-sungguh melakukannya, ia akan berbahagia oleh perbuatannya.”
Dikatakan pedoman atau penuntun karena turunan dari “dengarkan!” ialah kata-kata yang didengarkan itu akan mengantar pendengar keputusan untuk menjalankan bunyi atau suara yang didengarkan itu. Kitab Amsal 19: 20-12 menegaskan ini: “Dengarkanlah nasihat dan terimalah didikan, supaya engkau menjadi bijak di masa depan. Banyaklah rancangan di hati manusia, tetapi keputusan TUHANlah yang terlaksana.”
“Dengarkan!”kemudian dibahasakan dengan kalimat filosofis-teologis demikian: ”Mendengarkan dengan Telinga Hati.” Secara filosofis, “mendengarkan dengan telinga hati” mengandung keutuhan jaringan kerja yang logis dari instrumen kesadaran yaitu telinga, pikiran, peran, hati dengan kesadaran dan aktif. Keseluruhan terasa keniscahyaan. Namun sangat mungkin jika seseorang memiliki keterbukaan hati dan kebeningan budi untuk memfokuskan diri pada mendengarkan.
Keseluruhan jejaring dalam mendengarkan secara humains-biologis, tak mungkin. Tetapi manusia diberikan kemampuan akan mendengarkan ini. Kemampuan pada manusia ini ada, tetapi bagaimana cara dan bagaimana seseorang memiliki hati untuk terbuka menerima bunyi atau suara yang didengarkannya.
Bagi Allah, teladan-Nya mendengarkan telah ditunjukan-Nya bagi manusia. Kitab Yeremia 29: 12, mengungkapkan, “… apabila kamu berseru dan datang untuk berdoa kepada-Ku, maka Aku akan mendengarkan kamu.” Itu artinya kesadaran dan sikap aktif manusia secara keseluruhan dirinya, dalam berjalan bersama dalam dunia ini Allah menjadi tokoh sentral hidup, termasuk mendengarkan.
Allah setia dan sangat bertanggungjawab mendengarkan keluh kesah manusia. Karena keintiman-Nya mendengarkan manusia, Paus Fransiskus menegaskan pada Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-56 bahwa Allah menjadi Manusia merupakan “bentuk nyata kasih Allah sehingga Dia sendiri turun ke dunia menjadi Sang Putera” Kalimat Sri Paus demikian, perlu juga dipahami bahwa “Allah menjadi Manusia” karena Dia sendiri sudah lebih dahulu ”Mendengarkan dengan Telinga Hati.”
“Mendengarkan dengan telinga hati” menegaskan pemaknaan nasihat-nasihat yang diungkapkan Rasul Yakobus dan Yahanes bagi kita pada Hari KOMSOS Sedunia ke-56 demikian:
Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri (Yakobus 1: 22)
Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah (Yakobus 1: 19)
Lihat, Aku berdiri di muka pintu dan mengetok; jikalau ada orang yang mendengar suara-Ku dan membukakan pintu, Aku akan masuk mendapatkannya dan Aku makan bersama-sama dengan dia, dan ia bersama-sama dengan Aku. (Wahyu 3: 20)
Mendengarkan dengan telinga hati, berarti tidak hanya mendengar tetapi mendengarkan, tidak hanya menjadi pendengar namun menjadi pelaksana apa yang dengarkan, tidak cepat merespons apa yang didengar, tetapi merenung, memilah-milah mana yang perlu direspons, dan mendengarkan akan mengantar kita semua menjadi “teman seperjalanan”, dalam menelusuri lorong-lorong dunia ini. ***