Renungan Harian Kamis 9 Juni 2022

by Alfons Liwun

Pekan Biasa X, Tahun C/II. Peringatan fakultatif St, Efrem, diakon dan pujangga Gereja; Bacaan pertama 1Raja-raja 18: 41-46, Elia berdoa, dan langit menurunkan hujan; Mazmur 65: 10-11.12-13, Ya Allah, Engkau pantas dipuji di Sion; Bacaan Injil Matius 5: 20-26, Barangsiapa marah terhadap saudaranya, harus dihukum.

 Hidup Keagamaanmu Harus Lebih Benar Daripada Ahli Taurat Dan Orang-Orang Farisi.

  Oleh: Bapak Fransiskus Andi Krishatmadi*)

 Selamat sejahtera saudaraku tercinta,

Dalam bacaan I (1Raj. 18:41-46) dikisahkan setelah Israel bertobat dan membuktikan pertobatannya dengan membasmi semua nabi-nabi Baal, Elia menyuruh Ahab makan dan minum sebab bunyi derau hujan sudah kedengaran, sementara nabi sendiri naik ke gunung Karmel dan berdoa dengan membungkukkan tubuhnya sehingga kepalanya sampai ke tanah di antara kedua lututnya. Kemudian Elia memerintah bujangnya untuk melihat ke arah laut. Tetapi bujangnya tidak melihat apapun. Hal itu dilakukan sampai tujuh kali.

Nabi Elia dan Pasukan Raja Ahab (foto;kateke.com)

Pada kali yang ketujuh, barulah bujangnya melihat ada awan kecil sebesar telapak tangan timbul dari laut. Lalu kata Elia: “Pergilah, katakan kepada Ahab: Pasang keretamu dan turunlah, jangan sampai engkau terhalang oleh hujan.” Tidak lama kemudian turunlah hujan lebat, Ahab sudah naik keretamya menuju ke Yizrel. Elia tidak ikut serta. Namun kemudian atas kuasa Allah, Elia mengikat pinggangnya dan berlari mendahului Ahab sampai ke jalan yang menuju Yizreel.

Dalam Bacaan Injil (Mat. 5: 20-26) dikisahkan Yesus menegaskan “Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.” “Kamu telah mendengar: ‘Jangan membunuh.’ Siapa yang membunuh harus dihukum. Tetapi Aku berkata kepadamu: “marah, mengatakan orang lain kafir dan jahil, harus dihukum.”

Yesus juga menegaskan: “Jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan segera pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu. Setelah itu barulah kamu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu.”

Bagaimana dengan kita? Relasi nabi Elia dengan Allah begitu dekat. Hal itu nampak dalam: (1) Elia dapat mendengar suara guruh tanda akan segera turun hujan, padahal waktu itu Israel sudah lama dilanda kekeringan. (2) Cara berdoa Elia “membungkukkan tubuhnya sehingga kepalanya sampai ke tanah di antara kedua lututnya” dan (3) “ketekunannya dalam berdoa: sampai tujuh kali ia meminta bujangnya melihat ke arah laut” dan (4) “kepercayaannya akan Allah,” sehingga “walau hanya melihat awan sebesar telapak telapak tangan, namun Elia yakin itulah tanda dari Allah bahwa hujan besar akan turun.” Standard iman juga ditetapkan Yesus bagi para murid-Nya tidak main-main. ”Hidup keagamaanmu harus lebih benar daripada Ahli Taurat dan orang-orang Farisi.” Kita tahu Ahli Taurat dan orang-orang Farisi adalah pemegang kebenaran tafsir hukum Taurat.

Bagaimana mungkin murid Yesus yang hanya rakyat biasa, nelayan, bisanmelebihi Ahli Taurat dan orang Farisi? Apalagi dengan contoh yang diberikan: “marah, mengucapkan kata kafir dan jahil kepada sesama, sudah dikategorikan perbuatan membunuh, patut dihukum berat.” Lebih penting menyelesaikan masalah dengan sesama bru kemudian melaksanakan kewajiban ibadat kepada Allah. Ahli Taurat dan orang Farisi saja merasa Yesus mau mengubah bahkan meniadakan hukum Taurat (Mat 5:17), bagaimana mungkin dengan para murid-Nya? Yesus memang menantang kita untuk melihat kehidupan kita pada inti terdalam dari diri kita yaitu sikap mental bukan hanya pada permukaan (apa yang bisa dilihat).

Yesus mengajar kepada khayak ramai (foto: katekese.com)

Prinsip Yesus memerangi kejahatan harus mulai dari akarnya, bukan sampai ke akar-akarnya. Bagi Yesus lebih baik mencegah daripada mengatasi apa yang sudah terjadi. (Mat. 5:11). Untuk itu Yesus mengajak kita untuk mengubah sikap mental kita baru kita bisa mengatasi semua permasalahan yang ada. Karena, sikap mental (sikap batin) yang benar akan membangun sistem kebenaran dalam hidup kita dan sistem itu akan membentuk pola kebiasaan kita dalam merespon segala sesuatu secara benar pula. Maka jika sikap mental kita mengasihi maka secara sitematis respon kita terhadap segala situasi yang kita hadapi juga akan diwarnai nuansa kasih: sabar, murah hati; tidak cemburu, dll. (1Kor 13:4-7). Kasih tidak bisa dinyatakan dengan keberpuraan (Rom 12:9 atau Kol 2:18). Maka kita harus bisa mengalahkan rasa marah yang menjadi cikal bakal dari membunuh dengan mengatur sendiri tata damai di hati: berdamai dengan sesama kita sebelum kita mempersembahkan kurban perdamaian, atau sebelum damai itu dipaksakan dari luar oleh otoritas yang berwenang.

Yesus menantang kita agar jika ingin membangun hidup yang berkualitas, bandingkanlah kualitas hidup kita dengan orang-orang yang berkualitas lebih baik dari kita, bukan membandingkannya dengan orang yang berkualitas lebih rendah dari diri kita. Karena itu Yesus memberi standard: “Haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna.” (Mat. 5:48) Mungkinkah? Mungkin, jika kita ”tinggal dalam Yesus dan Yesus dalam kita.” (Yoh 15:4). Yesus menggenapi hukum Taurat bukan dari sudut rumusan hukumnya,  melainkan dari maksud terdalam dari hukum itu. yaitu mengasihi Allah dan sesama. (Mat 22:37-40).

Kejahatan/dosa hanya bisa diatasi dengan memperbaiki relasi yang tepat dengan sesama dan dengan Tuhan. Yesus menawarkan solusi ampuh untuk semua bentuk pembunuhan/kekerasan, yaitu dilawan dengan perdamaian, mengasihi. (Mat 5:44). Relasi damai dengan sesama sedemikian penting dan menjadi prasyarat relasi dengan Tuhan dalam ibadat (Mrk 6:12; 11:25). Tanpa berdamai dengan sesama, ibadat menjadi sakedar pelarian dari masalah antarmanusia.

Tanpa perdamaian, ibadat merosot menjadi rutinitas kesalehan, bukan lagi pencarian dan penyembahan yang tulus kepada sang Pencipta. Relasi dengan Tuhan dan sesama juga ditunjukkan oleh Santo Efrem yang peringatannya kita rayakan hari ini. ”Kunci sukses hidupnya ialah kerendahan hatinya: ia tidak pernah menaruh kepercayaan pada diri sendiri melainkan pada Tuhan. Ia percaya bahwa Tuhan akan senantiasa membimbingnya. Ia menolak di tabhiskan menjadi imam dan memilih tetap sebagai diakon sampai akhir hidupnya. Kepada Santo Basilius yang ditemuinya, ia berkata: “Sayalah Efrem, orang yang tersesat dari jalan ke surga. Karena itu kasihanilah saya orang berdosa ini. Bimbinglah saya melalui jalan yang sempit.”  Semoga, memberkati Tuhan menyertai kita semua. ***

*). Guru Agama Katolik mengajar di Seminari Menengah Mario Jhon Boen Pangkalpinang

Related Articles

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.