Rekan-rekan yang baik!
isah pembangkitan Lazarus (Yoh 11:1-45, Injil Minggu Prapaskah V tahun A) membantu kita mengenali siapa Yesus yang akan dirayakan pada hari Paskah nanti. Kisah ini sederhana tapi sarat dengan makna. Ketika itu ia sedang di seberang sungai Yordan, di luar wilayah Yudea, menyingkiri orang-orang yang mau merajamnya di wilayah Bait Allah (lihat Yoh 10:31). Dari Betania dekat Yerusalem terdengar kabar mengenai Lazarus yang sedang sakit. Orang ini saudara Maria dan Marta, kenalan baik dan murid Yesus dari kalangan yang lebih luas. Dua hari kemudian Yesus mengajak murid-muridnya ke Yudea – dalam pengertian mereka – untuk melayat Lazarus. Kembali ke Yudea? Risiko! Tapi Yesus tetap mau ke sana. Tapi dia itu kan terang yang dibutuhkan agar orang tetap lurus berjalan, tanpa dia orang akan tersandung jatuh di kegelapan (ay. 9-10).
Dalam kisah pembangkitan Lazarus ini kita akan belajar banyak dari orang-orang yang berperan dalam peristiwa itu: Marta, Maria, Lazarus, orang-orang Yahudi yang ada di situ, dan dari Yesus sendiri juga. Iman kepercayaan tumbuh perlahan-lahan dan bersandar pada macam-macam hal yang tak terduga.
Dalam bacaan pertama (Yeh 37:12-14) disampaikan akhir dari pengalaman batin Nabi Yehezkiel (lihat pula ayat 1-8) dibawa Roh Tuhan ke sebuah lembah yang dipenuhi tulang-tulang kering. Di sana ia ditanyai apakah tulang-tulang itu dapat hidup kembali. Nabi menjawab hanya Tuhan-lah yang tahu. Tuhan pun menegaskan Dia-lah yang memberi nafas – roh – hidup sehingga tulang-tulang itu hidup kembali. Maka Nabi disuruh-Nya bernubuat demikian. Yehezkiel pun melakukan perintah itu. Tulang-tulang itu melambangkan hidup umat yang mengering binasa. Tetapi kini Tuhan sendiri mendatangi dan memberi mereka Roh-Nya sehingga mereka hidup kembali dan tinggal di negeri mereka. Ini terjadi agar diketahui benar-benar bahwa sabda dari Yang Mahakuasa mengujud dalam kenyataan. Dalam pengalaman batin sang nabi, jelas Tuhan sendirilah yang kini mendatangi umat yang binasa, mengering, menjadi tulang-tulang yang terserak-serak. Roh-Nya akan memberi mereka urat, daging, kulit, dan nafas hidup. Hidup mereka akan seirama dengan Tuhan. Ini penglihatan batin sang nabi yang mengajak orang mengerti betapa Yang Mahakuasa tetap dapat dan bersedia berbagi nafas kehidupan dengan umat-Nya. Namun ada satu hal yang amat penting. Ini semua dinubuatkan atas perintah-Nya sendiri. Dan baru sungguh terjadi bila diterima dengan tulus. Itulah iman. Penglihatan batin ini berisi ajakan ke sana.
Dalam kisah Lazarus yang disampaikan Yohanes kali ini akan dapat diikuti bagaimana ketulusan iman seperti itu tumbuh.
SAATNYA KE YUDEA
Ketika mendengar bahwa Yesus tiba di Betania, Marta pergi menyongsongnya di luar. Terjadilah pembicaraan yang menyentuh perasaan (ay. 21-27). Marta percaya, bila Yesus ada di situ sweaktu Lazarus sedang sakit, pasti ia tidak akan mati. Tapi sayang, Yesus berada di tempat lain. Memang Yesus masih menunggu dua hari di seberang Yordan setelah mendengar berita mengenai sakitnya Lazarus (ay. 6). Terlambat!
Mengapa Yesus sengaja berlama-lama di seberang Yordan? Hendak membiarkan Lazarus mati dulu agar ia bisa bermukjizat? Penjelasan seperti ini tidak klop dengan akal sehat, juga tidak cocok dengan cara Yohanes menggambarkan Yesus. Di Kana dulu, kita ingat, ketika ibunya mengatakan persediaan anggur habis, Yesus malah menenangkannya (Yoh 2:4) dan mengatakan bahwa saatnya belum tiba. Kini ketika mendengar berita mengenai sakitnya Lazarus, Yesus menunggu saat yang tepat baginya. Kita boleh sedikit menengok ke depan: di kayu salib pada saat terakhir (Yoh 19:30) ia berseru: “Sudah tercapai!” harfiahnya “Sudah selesai!” dan ia menundukkan kepala dan menyerahkan nyawanya. Saatnya sudah tiba!
Tinggal dua hari lebih lama di seberang Yordan itu dimaksud untuk menunggu datangnya saat yang tepat untuk mengajak murid-murid ke Yudea. Terbayang pribadi orang bertindak sesuai dengan saat Yang Ilahi sendiri bertindak dan dengan demikian dapat menjadi tanda kehadiranNya di dunia ini. Penting disadari juga bahwa tujuan utama perjalanannya ialah “ke Yudea”, bukan pertama-tama untuk mendatangi Lazarus yang akrab dengannya sekalipun. Dan arti ke Yudea jelas: menyongsong hari-hari ia ditolak, ditangkap, disalibkan, tapi juga dibangkitkan oleh Bapanya. Dalam rangka itulah Yesus pergi mendapati sahabatnya yang telah meninggal.
MARTA DAN MARIA
Baik Marta maupun Maria berkata bahwa seandainya Yesus ada di situ pastilah saudara mereka tidak mati (ay. 21 dan 32). Ini ungkapan kepercayaan yang tebal tanpa meremehkan perasaan menyesalkan kenapa kok dia tak ada di situ di saat-saat orang membutuhkannya.
Pendengar Injil kini boleh merasa siap ikut di dalam pembicaraan mereka. Tak ada yang meragukan bahwa Lazarus itu orang yang berjalan bersama dengan Yesus – sang terang sendiri. Lazarus orang yang dikasihi Yesus. Artinya, bukan sahabat akrab semata-mata. Bukan sisi itulah yang ditekankan. Orang yang dikasihi artinya dia yang rela menerima janji Yesus dan dengan demikian Yesus bertanggung jawab mengenai dia di hadapan Yang Mahakuasa, yakni Bapanya. Karena itu, Yesus mengatakan kepada Marta bahwa Lazarus akan bangkit (ay. 23). Yesus sendiri akan membawa hal ini ke hadapan BapaNya seperti dilakukannya nanti (ay. 41-42). Marta tidak segera menangkap. Yesus kembali menegaskan bahwa dia sendirilah kebangkitan (ay. 25). Baru dengan demikian Marta berani mempercayainya. Ia menegaskan (ay. 27) bahwa Yesus itu “Mesias, Anak Allah, dan dia yang akan datang ke dalam dunia.” Maksudnya, dia itu orang yang diberi kuasa ilahi dan amat dekat dengan Allah sendiri, dan akan selalu hadir di antara manusia dengan segala suka dukanya. Tiga gelar itu mengungkapkan kesadaran akan siapa Yesus yang masih ada dalam ingatan orang beriman awal.
Arti nyata dari kata-kata Marta itu ditunjukkan kepada kita oleh Maria. Dalam ay. 32, Maria yang bertemu Yesus langsung bersujud di depan kakinya. Tindakan ini membadankan pernyataan Marta. Sujudnya Maria itu pengakuan bahwa Yesus itu dia yang diberi kuasa datang di tengah-tengah manusia di dunia ini dan menyertainya mendekat kepada Bapanya seperti Yesus sendiri dekat kepadaNya. Sekali lagi, pembaca diajak Yohanes memandangi kedua perempuan itu dan belajar dari mereka.
LAZARUS
Sudah empat hari Lazarus mati. Marta berkata, ia sudah membusuk (ay. 39). Terlambat untuk bangkit kembali! Tapi Yesus membuat Marta dan kita-kita ini ingat, bila kita percaya maka kita akan melihat kemuliaan Allah (ay. 40). Maksudnya, bila Marta atau siapa saja mau memasrahkan urusan yang toh tidak dapat kita tangani sendiri kepada dia yang diberi kuasa ilahi, kebesaran ilahi akan bisa dialami, entah apa bentuknya. Akhir peristiwa ini dapat diikuti dari Injil sendiri. Lazarus dipanggil keluar. Bahkan orang yang sudah mati empat hari dan membusuk itu masih taat kepada dia yang mendapat kuasa ilahi (Mesias) untuk membawa ke dekat kehadiran ilahi, yakni dirinya sendiri (Anak Allah) dan mendatangi dunia yang gelap di dalam kubur tadi. Maklum, dalam Injil Yohanes pengertian “dunia” dipakai dalam arti tempat gelap yang butuh diterangi kehadiran ilahi.
Orang yang sudah mati pun menaati kata-katanya! Peristiwa ini hebat. Tetapi makin didalami makin tak perlu membuat heran. Lazarus kan orang yang dikasihi, artinya, orang yang telah berjanji mau pasrah kepadanya dan menerima janji akan dilindungi. Orang seperti itu selalu dan tetap mendengarkan dia yang bersabda, tidak akan terhalang apapun, juga tidak oleh kematian. Inilah kenyataan yang tak kasat mata jasmani dan tak tecerna pikiran tapi bisa dicerap indra batin dan kepekaan iman. Yohanes juga mengajak kita belajar dari Lazarus si orang mati itu. Kematian tidak menutup pendengarannya bagi sabda ilahi.
Seperti Marta dan Maria, Lazarus pun mengungkapkan kepercayaan kepada Yesus dengan caranya sendiri: ia berjalan keluar dari kubur, menembus tabir maut, mendekat kepada dia yang memanggilnya. Dan ia pun kembali berada di tengah-tengah orang hidup.
YESUS
Ketika melihat Maria menangis dan ratapan orang-orang yang ada di situ, Yesus jadi sedih hatinya dan sangat terharu (ay. 33). Ungkapan-ungkapan ini amat manusiawi. Termasuk juga rasa frustrasi, marah, karena merasa tak bisa langsung berbuat sesuatu. Yohanes menyelami yang dirasakan Yesus dan mengungkapkannya kembali bagi kita. Yesus bukan manusia yang di atas perasaan dan bisa membuat mukjizat begitu saja. Waktu itu ia betul-betul merasa tak berdaya menolong orang-orang yang mempercayainya. Karena itu ia pilu, geram, apa sajalah yang keluar dari lubuk hati ketika melihat orang menderita tanpa bisa berbuat banyak. Hanya bisa ikut merasakan kepedihan. Bahkan pada ay. 35 Yohanes menyebut Yesus menangis. Orang-orang Yahudi melihat dan bersimpati (ay 36-37) tapi juga menyangsikan apakah ia yang beberapa waktu sebelumnya bisa membuka mata orang buta kini akan dapat berbuat sesuatu. Memang Yesus merasa tidak dapat berbuat banyak. Dengan perasaan campur aduk ia cuma mau mendekat melihat sahabat yang sudah mendahului itu.
Di depan kubur orang yang telah menaruh kepercayaan kepadanya itu ia berseru kepada Bapa yang mengutusnya ke dunia. Ia memandang ke atas (ay. 41) dan mengucap doa syukur kepada Bapanya bahwa ada orang masih mau percaya bahwa ia sungguh utusanNya (ay. 41b-42). Kemudian ia berseru keras-keras memanggil keluar Lazarus – memanggil “Allah menolong” – itulah arti harfiah nama Lazarus. Seruan itu dua arahnya: pertama, seruan kepada Lazarus agar keluar dari tempat orang mati dan kedua, seruan kepada Allah sendiri yang menolong itu. Diseru oleh orang yang diberiNya sendiri kuasa, maka Allah tidak tinggal diam. Pembaca boleh bolak balik mendalami dua arah seruan ini dan merasa-rasakan daya yang menggumpal di dalam kata-kata Injil itu. Pada akhir petikan hari ini disebutkan, banyak orang yang menyaksikan peristiwa itu menjadi percaya. Itulah hikmat Injil.
Salam hangat, A. Gianto
Sumber: www.mirifica.net