Home Participatory ChurchChristus Center Perceraian, Tak Pantas Bagi Murid Kristus

Perceraian, Tak Pantas Bagi Murid Kristus

by Stefan Kelen

Oleh Pater Aurelius Pati Soge, SVD

Permenungan Hari Minggu Biasa XXVII, 3 Oktober 2021. Bersumber dari Bacaan I: Kej 2:18-24; Mzm 128:1-6; Ibr 2:9-11; Mrk 10:2-16.

Sebuah penelitian sederhana pernah dibuat Biro Konsultasi Keluarga, sayap pastoral keluarga SVD Jawa, menemukan fakta yang membuat orang tercenung.

Antara tahun 2000 sd 2010, ditemukan peningkatan angka pisah meja dan ranjang di kalangan umat Katolik. Kasus terbanyak melibatkan pasangan-pasangan yang sama-sama bekerja dari kalangan ekonomi menengah ke atas. Faktor budaya turut berperan, terutama persepsi tentang kesetaraan suami isteri dan makna kehadiran anak. Temuan ini mendorong tim pastoral keluarga mencari terobosan baru persiapan perkawinan dan pendampingan pasutri.

Keluarga merupakan sendi penting komunitas Kristiani. Tanpa keluarga yang baik, tak ada Gereja yang baik, tanpa perkawinan yang baik tak ada keluarga yang baik. Peran penting keluarga mendapat perhatian dalam sejarah keselamatan. Ketika menciptakan pria dan wanita, Tuhan menghendaki keduanya saling melengkapi dalam kesetaraan. Jika kesetaraan ini dihargai, perkawinan menjadi medium dua insan memadu hati untuk menghadirkan insan baru sebagai buah cinta. Dalam kebersamaan ada rasa saling membutuhkan dan saling menghargai.

Di situ terletak kebahagiaan. Namun egoisme pribadi dan frame budaya sering memberi ruang bagi dominasi satu pihak. Terjadilah pelecehan martabat pribadi tertentu yang mendorong perceraian. Yesus perlu mengingatkan para murid, bahwa perceraian itu bukan rencana Allah melainkan karena ketegaran hati manusia. Pasangan yang menyadari makna terdalam perkawinan tak akan melihat perceraian sebagai pilihan karena melukai hakekat dirinya sendiri. Satu pihak perlu mundur sedikit agar pihak lain dapat maju. Kompromi dari hati ke hati memberi wawasan baru, energi baru dan tentu hidup secara baru.

Dalam masyarakat modern, di mana korban diri sering dilihat sebagai kebodohan, kebutuhan untuk menyadari hakekat perkawinan semakin diperlukan. Suami perlu kembali menyadari isteri sebagai tulang rusuk, bukan dari tulang kepala yang harus disembah, atau dari tulang kaki yang dapat diinjak. Isteri perlu menyadari hakekat suami sebagai representasi cinta Ilahi, bukan sebagai ATM tempat ia mengeruk kenikmatan dan hidup aman karena ada penjamin.

Dalam sakramen perkawinan, ada ikatan dua pribadi gambaran ilahi. Ingat, Kristus menyebut pasangan hidupmu itu sebagai saudara. Jika anda murid Kristus, anda tak akan mengkianati pribadi yang dihargai Kristus itu. Perceraian tidak pernah pantas untuk seorang murid Kristus, karena bukan pribadi pasutri yang terhina tetapi juga Kristus yang memberi keselamatan. (***)

 

 

 

Related Articles

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.