Gunung Kehidupan
Pada Hari Kamis, tanggal 26 Mei 2016, Ibu Silvia menelefonku : “Romo, mamaku sekarang sedang dirawat di Rumah Sakit. Mamaku ingin sekali bertemu dengan Romo”. Nama mamanya itu adalah oma Juliana. Oma Juliana itu ternyata pendengar setia acara Oase Rohani Katolik Keuskupan Agung Jakarta sehingga ia mengenalku.
Keesokan harinya, yaitu hari Kamis 28 Mei 2016, aku bergegas menuju rumah sakit di mana oma Juliana mendapatkan perawatan. Aku yakin bahwa permintaannya itu datang dari hatinya yang tulus. Ia merindukan kehadiran seorang imam untuk memberikan penghiburan iman ditengah penderitaannya.
Benarlah apa yang aku duga. Ketika aku sampai di kamar perawatannya, ia langsung memelukku sambil menangis. Tangisannya bukanlah tangisan biasa, tetapi tangisan sukacita : “Romo, hatiku sangat bergembira. Aku sudah sembuh. Aku sudah bisa makan”. Aku terpana dengan sukacita yang memancar dari hatinya. Aku kemudian bertanya kepadanya : “Oma, kok oma senantiasa bergembira walaupun sedang dalam keadaan sakit”. Jawabannya menyetak hatiku : “Romo, kegembiraan hati adalah jalan penyempurnaan iman. Kegembiraan iman mengubah dukacita dan tangisan menjadi kebahagiaan karena aku dapat bertemu dengan Allah sebagai sumber pengharapan”. Jawaban oma itu membuatku mengerti arti Sabda Bahagia Tuhan Yesus dalam Matius 5:1-12 khususnya ayat 8 : ““Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah” (Matius 5:8).
Oma Juliana kemudian menceriterakan pergulatan hidupnya dengan ucapan yang lancar dan dengan ingatan yang kuat karena ia memang pernah menjadi seorang guru di Syakok. Syakok adalah suatu daerah terpencil di Kalimantan. Karena mengikuti bujukan temannya, ia pun hijrah ke Jakarta. Kota Jakarta telah membentuknya menjadi pribadi yang kuat. Ia harus menumpang di rumah saudara di daerah Mangga Besar. Tidak lama tinggal di sana, ia harus meninggalkan rumah tersebut karena sebuah kesalahpahaman dan menempati sebuah tempat kursus salon yang ia ikuti.
Beberapa tahun kemudian, ia bertemu dengan seorang pria yang pada akhirnya menjadi suaminya. Ia mendapatkan augerah empat anak dari perkawinannya itu. Setelah suaminya meninggal pada tahun 1990, anak pertamanya mengalami keputusasaan. Ia putus asa karena gagal masuk Fakultas Kedokteran yang ia impikan. Ia gagal bukan karena tidak pandai, tetapi karena tidak ada biaya untuk kuliahnya. Anaknya itu akhirnya meninggal dunia.
Kepergian suami dan anak pertamanya itu membuat batinnya sangat terbeban sehingga ia pernah mendapatkan perawatan di ICU. Karena menyadari bahwa anak-anaknya masih membutuhkan pendampingannya, oma Juliana mampu bangkit kembali. Luar biasa bahwa oma Juliana pada akhirnya bisa menyelesaikan hutang-hutang yang digunakan untuk biaya pengobatan suaminya dan yang ditinggalkan anaknya. Setapak demi setapak ia berhasil melewati jalan yang penuh batu yang terjal. Ia pun berhasil menyekolahkan anak-anaknya sampai menyelesaikan akademi.
Perjuangannya yang keras dalam kehidupannya membuat oma Juliana tidak memperhatikan kesehatannya sehingga ia menderita sebuah penyakit yang tak kunjung sembuh. Tidak seorangpun tahu penyakitnya itu karena ia tidak pernah mengeluh atas penderitaannya selama ini. Ia tidak pernah mengeluh karena ia tidak mau merepotkan orang lain. Ia senantiasa ceria walaupun menanggung segudang masalah.
Sebelum aku pulang meninggalkannya, oma itu mengungkapkan prinsip hidupnya : “Romo, orang yang berbahagia bukanlah orang yang bisa tertawa lebar, tetapi yang mau mencurahkan air mata demi sebuah pengabdian. Aku bahagia di dalam penderitaanku karena aku telah memberikan seluruh raga dan jiwaku kepada anak-anakku” . Mendengar kata-kata oma Juliana itu, aku tunduk membisu merenungkan indahnya sebuah kebahagiaan.
Pesan dari pengalaman iman Oma Juliana itu kepada kita : Kebahagiaan tidak senantiasa berasal dari hal indah, tetapi cukup dari satu hal yang membuat hati kita tersenyum. Ketika hati tersenyum, susahnya hiduppun terasa manis karena pernyertaan Tuhan itu terasa : “Dan Allah sanggup melimpahkan segala kasih karunia kepada kamu, supaya kamu senantiasa berkecukupan di dalam segala sesuatu dan malah berkelebihan di dalam pelbagai kebajikan” (2 Korintus 9:8). Tuhan memberikan gunung dalam kehidupan kita agar kita belajar memanjat sampai puncaknya sehingga dapat menikmati indahnya panorama.
Tuhan Memberkati
Diambil dari status akun media sosial Romo Felix, SSCC