BerkatNews.com. Dilansir dalam laman page Lumen Ecclesiae, (26/10/2016), dari sumber asli Catholic News Service, Vatikan telah mengeluarkan aturan bagaimana memperlakukan abu jenasah dari kremasi.
Sebagai umat Katolik, kita percaya akan kebangkitan badan di akhir zaman. Selain itu, kita juga paham bahwa tubuh manusia merupakan inti dari identitas seseorang. Gereja Katolik pun menyatakan bahwa jenasah harus diperlakukan dengan hormat dan disemayamkan di tempat yang telah disetujui Gereja.
Sementara Gereja Katolik tetap menganjurkan pemakaman dengan cara dikubur, tata cara kremasi dapat diterima sebagai sebuah alternatif. Akan tetapi, Gereja MELARANG KERAS praktik menyebarkan abu jenasah ataupun menyimpan abu jenasah di rumah, kata Kardinal Gerhard Muller, prefek Kongregasi Ajaran Iman.
“Dengan merawat jenasah, Gereja menyatakan imannya akan kebangkitan badan dan MENJAUHKAN DIRI dari sikap ataupun ritual yang melihat kematian sebagai pelenyapan jiwa, atau sebuah proses reinkarnasi, ataupun sebagai proses bersatunya jiwa tersebut ke dalam alam semesta,” kata Kardinal Muller.
Pada tahun 1963, Kongregasi Ajaran Iman memberi dispensasi kepada praktik kremasi sejauh tidak menyangkal iman Kristiani akan kebangkitan badan. Dispensasi ini terangkum dalam Kitab Hukum Kanonik tahun 1983 dan Kitab Kanonik Gereja Timur tahun 1990.
Meskipun begitu, ujar Kardinal, Hukum Gereja di saat itu tidak memberi penjelasan spesifik mengenai apa yang harus dilakukan pada abu jenasah setelah kremasi, dan konferensi waligereja dari berbagai negara telah meminta Kongregasi Ajaran Iman untuk mengambil sikap.
Hasilnya, setelah dikonsultasikan oleh para petinggi Kuria dan para uskup dalam sinode serta disetujui oleh Paus Fransiskus, lahirlah pedoman “Ad resurgendum cum Christo” (Bangkit bersama Kristus), yang berisi instruksi mengenai “Penguburan jenasah dan penyimpanan abu jenasah pasca kremasi”.
Kardinal Muller pun berkata, “Dalam waktu dekat di banyak negara, praktik kremasi akan dianggap sebagai hal yang wajar, termasuk bagi umat Katolik sekalipun.”
Kremasi sendiri, seperti yang dikatakan dalam instruksi, bukan merupakan penolakan akan keabadian jiwa dan kebangkitan badan, bukan juga merupakan cara untuk mencegah Tuhan, yang dengan kemahakuasaan-Nya, membangkitkan orang mati ke dalam hidup baru.
Meskipun begitu, Gereja Katolik dengan sepenuh hati masih sangat menganjurkan umat melanjutkan “praktik saleh menguburkan jenasah,” kata Kardinal Muller. Menguburkan jenasah merupakan 1 dari 7 karya belas kasih jasmani, dan berkaca dari penguburan Kristus sendiri, aksi ini secara jelas menggambarkan harapan akan kebangkitan badan ketika tubuh dan jiwa disatukan lagi oleh Allah.
Sebagai tambahan, kata beliau, saat seseorang dikuburkan di tanah, dan sama halnya saat tempat abu jenasah diletakkan di kolumbarium atau makam, kita juga harus menandainya dengan nama orang tersebut, yang mana melalui nama itu dirinya telah dibaptis dan diangkat menjadi anak Allah.
“Percaya akan kebangkitan badan adalah hal paling fundamental,” kata beliau. “Jenasah manusia BUKANLAH sampah“, dan praktik penguburan tanpa ditandai nama jenasah ataupun praktik menyebarkan abu jenasah “SANGAT TIDAK SESUAI dengan iman Kristiani.” Menandai jenasah dengan namanya sendiri sangatlah penting karena Tuhan menciptakan masing-masing individu dan memanggilnya dengan namanya masing-masing.
Apa yang terjadi jika abu jenasah sudah terlanjur disebar? Kardinal Muller mengusulkan agar dibuat sebuah plakat/tanda memorial di gereja atau di tempat lain yang pantas, yang memuat nama dari yang meninggal tersebut.
Lebih lanjut, kata beliau, menandai tempat abu jenasah ataupun nisan dengan nama dari yang meninggal merupakan ungkapan iman akan “persekutuan para kudus”, sebuah persatuan tak terputus dalam Kristus bagi mereka semua yang telah dibaptis, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal.
“Sementara yang lain berhak untuk berdoa di depan makam” dan mengingat para anggota Gereja Katolik yang telah meninggal dalam Pesta Para Kudus dan peringatan semua orang beriman.
Menyimpan abu jenasah di rumah, kata beliau, bukan hanya tanda cinta dan dukacita, tapi juga merupakan tanda kegagal-pahaman orang-orang tentang bagaimana orang yang telah meninggal telah menjadi milik seluruh komunitas iman dalam Gereja, bukan hanya terbatas pada keluarga ataupun kerabat terdekat.
“Hanya dalam situasi yang sangat amat genting dan darurat“, seperti yang dikatakan dalam instruksi, USKUP SETEMPAT dapat memberi izin agar abu jenasah dapat disimpan secara pribadi di rumah. Kardinal Muller menyerahkan kepada konferensi waligereja di masing-masing negara untuk menentukan hal-hal apa yang dianggap genting dan darurat sehingga aturan ini dapat berlaku.
Menaruh abu jenasah di tempat yang telah disetujui Gereja juga “mencegah abu jenasah tidak terurus/terlupakan ataupun menghindarkan dari kondisi yang tidak layak“. Sebuah ironi ketika waktu terus berjalan dan orang-orang yang dekat dengan orang yang meninggal ini juga turut meninggal satu demi satu, sehingga makam menjadi tak terurus dan terbengkalai.
Mengenai trend “pemakaman hutan” yang sedang berkembang di Jerman, yang mana abu jenasah dikebumikan lalu di atasnya ditaruh bakal tanaman yang akan tumbuh besar menjadi pohon, Kardinal Muller berkata bahwa uskup-uskup Jerman tidak terkesan dengan ide tersebut, namun dapat diterima dengan syarat pohon-pohon tersebut harus ditandai dengan nama orang yang dimakamkan di bawahnya.
“Kita percaya akan kebangkitan badan dan ini HARUS menjadi prinsip paling utama dalam pemahaman dan praktiknya,” kata Kardinal Muller, seraya memberikan pandangan tajam mengenai adanya perbedaan antara jenasah manusia yang dibiarkan membusuk secara alami yang dapat berefek positif bagi ekosistem dengan jenasah yang diperlakukan tak ubahnya sebagai “pupuk” tanaman.***
keterangan foto feature: (Sebuah guci berisi sisa-sisa kremasi terlihat di sebuah ceruk di pemakaman Holy Rood Cemetery, Westbury, N.Y., pada tahun 2010. (CNS / Gregory A. Shemitz)