Tanjungkarang-BerkatNews.com. Komunitas Basis Gerejawi (KBG) adalah rumah dan sekolah iman. Adagium yang dikemukakan mendiang Bapa Uskup Keuskupan Pangkalpinang, Mgr. Hilarius Moa Nurak, SVD, itu bergaung melampaui keuskupan tempat beliau menggembalakan umatnya dulu.
Dalam pertemuan para imam se-Keuskupan Tanjung Karang, dua fasilitator Paroki Santo Damian, Batam (Keuskupan Pangkalpinang), membagikan pengalamannya kepada enam puluhan (60) imam Keuskupan Tanjungkarang. Mgr. Yohanes Harun Yuwono, Uskup Keuskupan Tanjungkarang membuka pertemuan pada hari Rabu, 7 Maret 2018 itu pukul 08.00 WIB. Beliau mengatakan bahwa Gereja di Indonesia sebagai bagian dari Gereja di Asia memiliki karakteristik yang berbeda dengan Gereja-gereja di belahan dunia yang lain. Maka semestinya ada cara-cara yang khas Asia untuk diterapkan dalam hidup menggereja.
Komunitas Basis Gerejawi
Pada sesi pertama, Simon Sugiarto mengulas tentang kecenderungan cara hidup menggereja sebagian besar orang yang sudah dibaptis. Mereka hanya memuaskan diri dengan ke ritual gereja setiap minggunya. Kedekatan dan rasa empati yang tumbuh hanya ada karena sudah kenal atau bertetangga saja. Tidak jarang ada merasa sendiri, terabaikan, dan akhirnya kecewa dengan pelayanan Gereja; inilah gereja orang per orangan, individualisme.
Mengacu pada cara hidup jemaat perdana, semestinya seperti itu pulalah cara hidup menggereja orang-orang modern sekarang ini. Meskipun banyak anggota, tetapi satu tubuh. Gereja adalah Satu Tubuh, saling memperhatikan, saling peduli, dan cepat tanggap terhadap sesama. ”Allah bermaksud menguduskan dan menyelamatkan orang-orang bukanya satu per satu, tanpa hubungan satu dengan lainnya. Tetapi, Ia hendak membentuk mereka menjadi satu umat…” (LG 9).
Dalam sharingnya, Simon mengatakan bahwa Gereja Partisipatif; The new way of being church yang dicanangkan para Bapa Gereja Asia, juga menjadi visi Keuskupan Pangkalpinang. Dalam Gereja Partisipatif, Paroki adalah persekutuan Komunitas-komunitas (KBG). Dalam 15-25 Kepala Keluarga, KBG akan efektif dan berdaya. Komunitas yang terdiri dari beragam status sosial ekonomi, usia, latar belakang budaya, dan pendidikan tapi berada dalam satu wilayah geografis tertentu itu terikat oleh cinta kasih yang berakar dari iman akan Yesus yang Bangkit.
Simon menambahkan, biasanya Doa KBG di Paroki Santo Damian, dilakukan pada hari Rabu dengan Sharing Injil Tujuh Langkah. Mengapa Sharing Injil? karena Sabda adalah kunci kehidupan KBG, dalam Sharing Injil Yesus hadir menyapa dan bersabda. Selain itu, cara doa ini memungkinkan banyak umat terlibat karena ada yang bertugas sebagai fasilitator, ada yang memimpin Doa Mengundang Tuhan, ada yang membaca Kitab Suci, ada yang memimpin lagu, dan ada yang memimpin Doa Penutup. Sharing Injil Tujuh Langkah juga berbicara bagaimana melakukan langkah baru; Aksi Nyata Injili; mulai dari yang berwujud doa bagi siapa saja yang membutuhkan dukungan doa hingga karya-karya karitatif yang langsung dirasakan umat dan masyarakat sekitar.
Dalam masa-masa tertentu, seperti prapaskah, Bulan Liturgi Nasional, Bulan Kitab Suci Nasional, Bulan Maria, dan adven dari Keuskupan Pangkalpinang mengeluarkan modul yang dipakai di seluruh paroki. Modul-modul biasanya diolah dengan metode partisipatif sehingga umat KBG diajak untuk menggali sendiri pesan-pesan yang terkandung dalam setiap pendalaman. Dengan menggali sendiri, umat akan terbiasa untuk peka terhadap situasi yang terjadi di lingkungannya.
Diakui, sebelum 2015, di Paroki Santo Damian, banyak komunitas belum mengimplementasikan visi, misi, dan spiritualitas keuskupan secara maksimal. Pada masa itu, umat sudah merasa dekat dan nyaman dengan kondisi yang ada. Kenyamanan ini, misalnya membuat KBG tidak mau dimekarkan, kegiatan komunitas hanya diisi dengan ibadat sabda. Keprihatinan lain adalah tidak ada yang merasa mampu memimpin doa selain orang-orang yang sudah biasanya memimpin. Jumlah fasilitator terbatas dan belum diberdayakan dengan bentuk formatio tetap untuk mengimplementasikan visi-misi.
AsIPA (Asian Integral Pastoral Approach)
Pada sesi 2, Lidwina Ika menyampaikan tentang proses pelaksanaan Lokakarya AsIPA di Paroki Santo Damian, sebagai program formatio, yang sudah dua angkatan dilaksanakan. RP. Cornelis Aroendati Gaga, SS.CC, pastor Kepala Paroki Santo Damian, dalam refleksinya menyatakan bahwa perlu adanya pemberdayaan KBG. Dari refleksi itulah disadari perlu adanya pemberdayaan umat melalui AsIPA agar terbentuk fasilitator-fasilitator andal di KBG-nya (saat ini ada 106 KBG).
Pada 18 Mei 2015, dilaksanakan Lokakarya AsIPA I dengan peserta sejumlah 340 orang. Dari jumlah itu, yang bertahan hingga akhir menerima perutusan sebanyak 149 orang. Lalu tahun berikutnya ada 150 peserta dan yang setia hingga akhir sejumlah 75 orang. Beberapa alasan yang mengakibatkan peserta berguguran adalah waktu pelaksanaan lokakarya delapan (8) bulan. Meskipun hanya satu kali dalam satu minggu, tapi kondisi peserta yang kebanyakan bekerja shift kadangkala tidak memungkinkan mereka untuk selalu bisa hadir. Selain itu mobilitas umat Santo Damian juga cukup tinggi. Selain itu, beberapa dari mereka tinggal di ruli (rumah liar) sehingga ketika ada penggusuran yang datangnya bisa sewaktu-waktu, membuatnya kesulitan mengatur waktu dan tidak bisa konsentrasi penuh pada lokakarya. Dari sisi letak geografis juga ada pengaruhnya. Tempat tinggal terjauh sekitar 25 km dari gereja paroki sehingga menjadi riskan bagi ibu-ibu yang harus berkendara di malam hari.
Lidwina Ika juga memaparkan bagaimana proses penyelenggaraan lokakarya AsIPA. Dari membentuk kepanitiaan, mempersiapkan modul, membentuk tim animator, mempersiapkan pembelajaran susulan, dan berbagai tugas kesekretariatan. Kehadiran peserta menjadi bagian penting karena jika tidak hadir, peserta lokakarya harus mengikuti pembelajaran susulan dengan waktu yang disepakati oleh peserta dan animatornya. Jika tiga kali tatap muka tidak datang dan tidak mengikuti pembelajaran susulan, peserta yang bersangkutan dinyatakan gugur.
Sesuai denga amanat Sinode II Keuskupan Pangkalpiang, sampai saat ini Paroki Santo Damian menjadikan AsIPA sebagai materi dasar bagi pemimpin dan fasilitator.
Sharing Imam Keuskupan Tanjungkarang
Dalam kesempatan berikutnya, beberapa imam ber-sharing juga tentang kondisi di keuskupan Tanjungkarang. RD Felicianus Fritz Dwi Saptoadi berkisah tentang Mawar (Lima Warga), sebuah komunitas yang mirip dengan KBG di Santo Damian. Dengan jumlah anggota yang tidak banyak memungkinkan komunitas Mawar ini melakukan banyak aksi nyata. Karena kebanyakan anggotanya adalah para petani, aksi nyata yang dilakukan juga banyak yang berkenaan dengan dunia pertanian. Komunitas yang berada di Kalirejo ini terus eksis hingga saat ini. Hanya satu yang diherankan oleh Bapa Uskup, komunitas tetangga tidak ada yang ‘ketularan’ membentuk Mawar yang jelas-jelas banyak keuntungannya ini. Romo Fritz sendiri juga agak kecewa karena beliau tidak punya banyak waktu membina komunitas yang dipelopori oleh Pastor Joseph Gourdon, MEP, misionaris dari Paris yang sejak 1970 berkarya di Lampung.
RP Yohanes Samiran, SCJ menyatakan apresiasi positifnya. Beliau menyadari bahwa komunitas basis gerejawi memang memberdayakan umat. Melihat banyak contoh, Romo Samiran yakin, dampaknya bisa sangat luar biasa bagi umat. Hanya diakui juga bahwa gerakan ini harus menjadi gebrakan. Jika hanya satu kali disampaikan, pasti tidak akan mengubah. Perlu ada pembinaan terus-menerus bagi komunitas-komunitas itu, yang berarti juga menuntut stamina tangguh bagi pendamping komunitasnya.
Pastor Thomas Aquino Imam Mursid menyampaikan bahwa lain Batam, lain Tanjungkarang. Kondisi geografisnya pun berbeda. Satu paroki di Tanjung Karang bisa punya puluhan stasi. Kondisi ini menjadi tantangan tersendiri bagi para pastor yang bertugas. Lagipula jika harus ber-KBG, komunitas yang ada di stasi pun sudah sejumlah ada KBG yang ada. Satu stasi kadangkala hanya 7 KK. Apakah komunitas ini sama dengan yang dimaksud di Batam? Lidwina memberikan penjelasan tentang keempat ciri KBG, yaitu ketetanggaan/menempati wilayah yang sama, Sharing Injil, melakukan Aksi Nyata, dan terikat dengan Paroki.
Baca juga 4 ciri Komunitas Basis Gerejawi
Pastor Paul Billaud, MEP menanyakan bagaimana cara memulai membentuk KBG. Disampaikan bahwa terbentuknya KBG harus dari dua arah. Berawal dari kondisi yang dirasakan umat, keprihatinan dan harapan umat akan formation (pemberdayaan) sehingga terasa bahwa umatlah yang memang membutuhkan bahwa dirinya harus membentuk komunitas yang efektif. Di sisi lain, secara hierarki, Gereja juga terus-menerus mendorong dan memfasilitasi kebutuhan itu dengan program-program yang berkaitan.
Dalam rehat siang, di sela-sela makan beberapa pastor mengakui bahwa informasi AsIPA ini bukan pertama kali mereka dengar. Tahun 2004 ada beberapa pastor yang mempelajari program AsIPA. Tetapi pada waktu itu, program yang bagus itu baru sekadar informasi, lebih jauh baru sampai pada imbauan. Jika sharing pengalaman dinamika ber-KBG di Santo Damian ini pun bagi Kesukupan Tanjung Karang sekadar dijadikan imbauan, kondisinya akan sama, dianggap angin lalu. Siapa sih yang mau repot-repot dan merelakan diri terlibat banyak untuk membentuk komunitas efektif itu? Dengan yang ada pun, segala reksa pastoral sudah berjalan dengan baik. Tidak bisa dipungkiri para imam pun senang berada dalam comfort zone. Lain soal bila secara hierarki dari keuskupan menyatakan ‘ya, jalankan’ , maka mau tidak mau, suka atau tidak suka, rela atau terpaksa, para imam dan seluruh pegiat di paroki akan melaksanakannya.*
by. Lidwina Ika (Fasilitator AsIPA St. Damian)
Editor: costmust/BerkatNews.com