Renungan Hari Sabtu Pekan Ke XXXI
Lukas, 16: 9-15
Oleh: RD. Lucius Poya H., Pastor Keuskupan Pangkalpinang
Homo Viator. Manusia-Insan peziarah. Dan oleh karena itu, hidupnya di dunia namun akhir hidupnya adalah kemuliaan bersama Allah di surga. Ketika di dunia, hidupnya tampak melingkar dari pagi sampai pagi lagi. Geraknya kehidupannya tampak datar, dari satu tempat ke tempat yang lain. Namun sejatinya, ia sedang berziarah; menyusuri lorong-lorong menuju tujuan akhir, yang masih misteri karena tujuan akhir itu tidak di dunia ini.
Karena dunia tempat ziarah bersifat fana, dan tujuan akhir kehidupan manusia bersifat kekal, maka ziarah manusia di dunia menuju singgasana Kerajaan Allah selalu berada dalam dilemma.
Tidak heran banyak orang terjebak dalam pragmatisme, hidup hari ini untuk hari ini, focus pada hal-hal yang fana, tak mau peduli dengan Tuhan dan undangan cinta-Nya, yang baka.
Tidak heran pula bahwa selalu saja ada alasan yang sudah disiapkan di mulut untuk menghindari undangan hidup kekal. Selalu saja adal alasan yang dibuat untuk menghindari resiko salib; dan mengapa pula konsentrasi cinta pada diri dan keluarga begitu dominan, seraya mengabaikan cinta kepada Tuhan yang justru merupakan sumber hidup dan keselamatan, sebagaimana dilansir Injil pada hari Rabu yang silam.
Walau demikian, setiap peziarah begitu berharga, begitu bernilai; bagai seekor domba untuk sang gembala; bagai sebutir dirham untuk sang ibu. Allah tak mau kehilangan kita; Allah tak mau kita ditelan dunia. Dan oleh karena itu, Ia selalu memanggil dan mencari dengan seruan Sabda-Nya yang diperdengarkan dari hari ke hari, agar kendati dunia begitu menguras konsentrasi hati, budi, jiwa dan raga; seekor domba-Nya tidak tersesat, tidak hilang; tidak putus hubungan dengan-Nya, selain bertobat agar didapati kembali dan dibawa pulang ke rumah, sebagaimana perumpamaan Yesus di hari Kamis yang silam.
Ya! Homo Viator. Manusia – insan peziarah. Dan oleh karena itu dunia hanyalah tempat ziarah. Namun justru di situlah letak masalah. Karena dunia tetaplah tempat ziarah, maka pergulatan antara bersandar kepada Allah dan kepada Mammon, sebagaimana dikumandangkan Injil di akhir pekan hari ini, adalah sebuah pergulatan yang tetap relevan bagi siapa saja.
Bagi orang yang sadar diri sebagai homo viator, mammon dibutuhkan namun tidak akan dijadikan sebagai tuan karena ia bukan penentu hidup dan keselamatan seseorang. Ia tetap ditempatkan sebagai penopang, sehingga mengabdi Allah tetap sebagai yang utama. Sebaliknya bagi mereka yang pragmatis, Allah justru bukan penentu hidup, kendati mungkin mereka punya agama. Bagi mereka mammon; itulah tuan yang harus diabdi.
Inilah pilihan yang diminta Yesus di akhir pekan hari ini. Sebab kata Yesus, tidak mungkin orang mengabdi kepada dua tuan. Sebuah pilihan problematic yang butuh disikapi secara serius dalam hidup beriman dewasa ini.
Rasanya karena masalah inilah, maka Yesus meminta para peziarah untuk cerdik. Jangan hanya cerdik sebagai anak-anak dunia; tetapi juga hendaknya cerdik sebagai anak-anak terang, sebagaimana dilansir injil hari Jumat kemarin, sehingga di akhir ziarah kita boleh lulus dengan pujian dari Tuhan, walau kita bukan orang sempurna, seperti sang bendahara.
Oleh karena itu, kendati masih berziarah di dunia, totalitas kasih kepada Allah, dalam empat matra diri manusia, sebagaimana dikumandangkan Yesus di hari Minggu yang silam, harus tetap dipelihara. Api perjuangan untuk menjadikan Tuhan sebagai sumber kebahagiaan, kendati harus mencuci jubbah dalam darah, sebagaimana dialami para kudus, yang dikumandangkan pada hari Raya Semua Orang Kudus, hari Senin, jangan dibiarkan padam.
Sebab untuk itulah Yesus diutus. Ia diutus, karena Bapa tidak mau kalau saya dan anda hilang dan di telan dunia, sebagaimana dilansir injil hari Selasa, pada peringatan arwah kaum beriman. Selamat berakhir pekan. Selamat memasuki Pekan Ziarah ke XXXII.