Saya memulai tulisan ini dengan kisah sederhana. Mungkin juga “remeh-temeh,” yang ternarasikan berikut ini. pengalaman ini terjadi sekitar tahun 2005, ketika saya baru setahun menjadi imam.
Peristiwanya terjadi Bandara Imnternational Soekarno Hatta. Kala itu, saya check in pesawat di Terminal 1A Soekarno Hatta. Saat check in masih pakai sistem per-kota tiap counter.
Counter Pangkalpinang ternyata bersebelahan dengan Medan. Semua aktivitas dan perilaku berjalan seperti lazimnya. Hanya saja ada hal yang jadi temuan baru di benak saya, ketika itu.
Ternyata, volume suara orang Bangka lebih melengking dari suara orang Medan. Uniknya suara orang Bangka itu didominasi oleh Aji-Aji (Ibu-Ibu 50 an tahun ke atas). Sesungguhnya, fakta ini, sesuatu yang baru bagi saya. Pasalnya, sebelum-sebelumnya, saya sudah memastikan bahwa volume suara orang Medan lah yang lebih melengking dari orang mana pun di Nusantara ini.
Hai pembaca berkatnews.com terkasih, tetapi dalam tulisan kali ini, saya tidak mengajak anda semua untuk berdebat apakah suara volume suara orang Bangka lebih melengking dari orang Medan, atau sebaliknya.
Saya hanya mengajak pembaca untuk memahami bahwa Panggilan artinya ada suara yang berseru. Ada suara yang menyapa. Terdengar suara yang memanggil. Mungkin ada suara yang bertanya. Dan bisa saja terdengar yang berkomentar berkomentar dan menyahut, dan lain-lain.
Suara bisa datang dari mana-mana. Apakah suara itu datang dari majikan? Datang dari manajer? Datang dari papa dan mama? Datang dari teman? Datang dari Guru? Datang dari Pastor? Datang dari ketua RT? Datang dari teman? Dan lain-lain.
Pembaca berkatnews.com yang budiman, dalam konteks Minggu Panggilan, kita harus memastikan bahwa suara yang memanggil bukan datang dari calo tiket, para sales dari produk-produk tertentu.
Suara yang memanggil adalah DIA. DIA lah Sang Gembala. Gembala yang dimaksudkan adalah Yesus sendiri. Sebab dalam Injil Minggu Panggilan Tahun C, Ia bersabda kepada orang-orang Farisi, “Domba-domba-Ku mendengarkan suara; Aku mengenal mereka, dan mereka mengikut Aku.
Sabdanya ini mengajak kita untuk melakukan sebuah strategi komunikasi dengan Allah. Strategi itu, mulaiah mendengarkan suaraNya. Sebab Dia lebih dahulu mengenal kita. Itulah hebatNya Tuhan Yesus. Ia memanggil karena Ia mengenal dombaNya. Ia memanggil bukan untuk menghakimi. Ia memanggil kita Ia murah hati.
Ia memanggil kita karena Ia mengenal kita. Maka ada pastor, ada suster, ada bruder, tetapi juga ada saudari/a yang berkeluarga. Semuanya karena kita mendengarkan suaraNya.
Pertanyaannya adalah : apakah kita setia mengikutiNya dalam panggilan kita masing-masing? Kesetiaan mengikutiNya bergantung pada kesetiaan dan komitmen kita mendengarkan suaraNya.
Di jaman tiktok, youtube, dan medsos pada umumnya sekarang ini, lengkingan suara begitu berkelimpahan. Suara Dia tentu terhimpit. Yang melamar ke Seminari semakin sedikit. Lamaran kebanyakan datang dari Kepulauan Riau dan Paroki Koba yang nota bene adalah anak-anak keturunan perantau dari Medan, Jawa dan Flores.
Apakah kita masih lebih setia mendengarkan suara lain, atau kita hanya berprinsip bahwa kita cukup memberi nasi bungkus kepada mereka yang terpanggil? Atau apakah kita sudah merasa cukup memberi baju dan sepatu merek “kasio” (kasih orang) kepada para Romo, Bruder dan Suster?
Maka dalam saat-saat seperti ini, marilah kita mulai mendefenisikan ulang arti komunikasi kita dengan Allah. Untuk usaha pendefenisian ulang ini, saya tertarik dengan gagasan Paus Fransiskus tentang komunikasi social.
Dalam perspektif Paus Fransiskus, yang tertuang pesannya untuk Hari Komunukasi Sosial 2022, yang dirayakan 29 Mei 2022 ini, berkomunikasi tidak hanya berbicara.
Lantas, berkomunikasi dengan Allah adalah bukan mengirim chat, email dan meminta pertemanan medsos dengan Allah. Tetapi, kata Paus, berkomunikasi adalah mendengarkan suaraNya dengan telinga kasih. Artinya, dalam komunikasi kita dengan Allah, suara yang paling utama adalah datang dari Allah sebagai komunikator. Kita hanyalah komunikan. Maka sepantasnya kita menghentikan suara-suara lain, agar kita fokus mendengarkan Suara Dia.
Jangan-jangan selama ini Tuhan sudah berteriak, heiiiii Si Pak Akhiang berilah anakmu yg ganteng dan cerdas itu masuk seminari. Atau DIA menyapa ; Haiiiiiiiii Bu Sandra, berilah anakmu yang cion, cerdas dan tampak ramah itu masuk biara.
Mungkin suara Tuhan itu melebihi suara, youtube, tiktok, dan media lainnya. Hanya saja kita sudah terlanjur setia mendengarkan suara kita sendiri, dan suara sesama yang sepaham dan sekepentingan dengan kita. Suara Sang Gembala, sebagai komunikator, diabaikan oleh domba-dombaNya sebagai komunikan. Tak ayal, feed back yang diharapkanNya dari kita, pun tak semasif reponse kita terhadap postingan dan suara-suara hasutan di media social.
Oleh karena itu, tidak salah jika saya dan anda yang sudah merasa terpanggil, teruslah merawat komitmen dan focus untuk mendengarkan SuaraNya. Tanpa niat untuk focus, suara yang memanggil semakin hari kian menjadi samar-samar karena terhimpit oleh kelimpahan informasi dan kegaduhan percakapan ala media social.
Fokus mendengarkan SuaraNya, tanda bahwa kita beriman. Sebaby, iman muncul dari pendengaran. Dan dari pendengaran kita yang fokus kepada suaraNya itu juga lah muncul lah panggilan. Bagaimana supaya bisa fokus mendengarkan suaraNya? Mari kita dengarkan SuaraNya dengan Telinga Hati. Selamat memaknai panggilan kita masing-masing. (***)
Oleh : RD Stefan Kelen