Pekan XXX
Bacaan 1, Rm. 9: 1-5, Aku rela terkutuk demi saudara-saudaraku; Mzm. 142: 12-13.14-15.19-20, Megahkanlah Tuhan, hai Yerusalem; Bacaan Injil Luk. 14: 1-6, Siapakah di antara kalian yang anak atau lembunya terperosok ke dalam sumur, tidak segera menariknya ke luar meski pada hari Sabat?
“Insiden” Yesus untuk Penyelamatan
Oleh: Alfons Liwun
Peristiwa (khususnya yang kurang penting dalam hubungannya dengan peristiwa lainnya yang lebih besar), itulah yang disebut dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai Insiden. Insiden sama kata dengan kejadian. Penulis buku Catatan Pinggir, Goenawan Mohamad, mendefinisikan insiden sebagai kejadian yang bersifat spontanitas, kebetulan, dan semua dianggap omong kosong. Lanjut Goenawan, insiden selalu ada rekayasa, karena kita tak bisa membayangkan sesuatu yang tak terduga-duga. Dengan kata lain: kita tak punya ide tentang sesuatu yang sama sekali bebas dari suatu deret, sesuatu yang sama sekali berbeda.
Bacaan Injil hari ini, Lukas menampilkan secara singkat suatu insiden Yesus. Yesus datang ke rumah pemimpin kaum Farisi dan makan disitu. Disitu juga hadir kaum Farisi. Rentetan dari itu kita menemukan dua insiden. Insiden pertama, kejadian tiba-tiba yaitu datang seorang yang sakit busung air. Sakit busung air yang bagaimana, Lukas tidak menjelaskan secara detail. Kita tahu sakit busung air adalah kelebihan cairan dalam rongga perut. Sakit semacam ini, tentu para medislah yang lebih memahaminya.
Kehadiran si sakit busung air dihadapan Yesus, membuka dialog Yesus dengan semua orang yang hadir disitu, sebab secara diam-diam mulai dari kehadiran Yesus didalam rumah itu, semua orang mengamat-amati Dia. Mengamat-amati, merupakan suatu kebiasaan, sikap, dan cara kaum Farisi kepada Yesus. Cara pandang kaum Farisi kepada Yesus ini, seakan menyiapkan sesuatu untuk mau menjerat Yesus, ketika Yesus melakukan suatu kejadian nanti.
Tetapi hebatnya, Yesus telah membaca makna “mengamat-amati” Farisi. To the point, Yesus katakan “Bolehkah menyembuhkan orang pada hari Sabat atau tidak?” Bungkam seribu bahasa kaum Farisi. Bukan dialog, tetapi monolog. Kaum Farisi, telah terjerat dalam akal sehat. Dan disinilah kemampuan akal sehat kaum Farisi dituntut. Karena menjadi monolog, Yesus dengan otoritas kewenangannya, melakukan insiden. Inilah yang disebut, insiden kedua.
Disinilah kita boleh pahami bahwa insiden Yesus ialah ide tentang sesuatu yang sama sekali bebas dari suatu deret, sesuatu yang sama sekali berbeda. Yesus menyembuhkan si sakit. Penyembuhan Yesus boleh dikatakan sebagai partisipasi Yesus kepada Allah untuk mewujudkan tegaknya berdiri “Kerajaan Allah”, walaupun insiden ini dipandang kaum Farisi sebagai pelanggar hari Sabat. Cara pandang Allah terhadap suatu kejadian berbeda dengan cara pandang Farisi, mungkin hati manusia.
Hati Farisi (dibaca: manusia) yang semacam ini, hati yang masih digerogoti oleh sikap iri, dengki, cemburu, sok jagoan, sok tahu, sombong, dan lain-lain. Dalam bahasa Paulus, hati yang masih hidup menurut daging. Hati yang belum menerima Roh Kudus, Roh Kudus belum berdiam secara tetap didalamnya. Ataukah, hati yang sudah menerima janji-janji Allah, namun kini telah kembali dilumurin dosa. Disinilah Paulus mau menegaskan kepada kita juga bahwa “demi Kristus aku mengatakan kebenaran, aku tidak berdusta. Suara hatiku turut bersaksi dalam Roh Kudus…,”.
Bagi kita, Yesus menjadi Juruselamat. Daripadanya, kita akan hidup bersama-Nya dalam hidup baru. Hidup baru, bukan nanti. Hidup baru kini dan sekarang, sampai selama-lamanya. Bukan waktu tetapi kualitas hidup didalam Dia.
Karena itu, cerminan cara kaum Farisi dalam Lukas tadi, bukan cerminan hidup baru dalam Yesus. Cara Yesus mewujudkan tegaknya Kerajaan Allah, juga menjadi cara kita untuk melihat suatu kejadian sehari-hari dalam hidup kita. Lebih mengutamakan keselamatan atau hal fisik yang sebenarnya menjerat kita dari suatu rasa kemanusian. Semoga Roh Kudus hadir dan bersemayam dalam hati kita. Amin. Salam Komunio. ***