Resensi Buku
MENGGUGAT POLA PASTORAL
Menurut Cara Hidup Ber-KBG[1]
Oleh: Bernard Somi Balum (Diosesan Priest of Pangkalpinang)
Pengantar Resensi Buku
Judul artikel ini dikutib begitu saja dari buku RD. Lurensius Dihe Sanga terbitan Amara, 7 tahun silam. Buku sesungguhnya merupakan buah dari Tesis Lisensiat Teologi yang ia raih pada Program Pasca Sarjana Fakultas Teologi Kentungan, Universitas SaDhar Yogyakarta pada tahun 2007-2009.
Menarik jika kita simak RD Laurensius DS “Menggugat Pola Pastoral”. Buku ini terdiri dari dua bab, ditambah dengan Pendahuluan dan Penutup. Inti buku ini terletak pada bab kedua. Sentral gugatan itu tertuju pada tema Kepemimpinan Pastoral (Hal. 85-119). Dengan kata lain: Penulis Menggugat Pola Kepemimpinan Pastoral.
Bab kedua , inti dari buku itu, hanya bisa dimengerti bila dihubungkan dengan sub judul buku ini: “Menurut Cara Hidup Ber-KBG. Karenanya kita hanya dapat memahami gugatan RD. Laurensius DS jika kita memahami “makna cara hidup ber-KBG sebagaimana diuraikan dalam bab pertama.
Problem atau Konsekuensi Pola kepemimpinan menurut Penulis? Pola Kepemimpinan seperti apa yang ditawarkan? Bagaimana menumbuhkembangkan pola kepemimpinan yang diusulkan tersebut?
1. From Eklesiologi To praksis
Menurut saya, RD. Laurensius DS tidak berangkat dari refleksi atas realitas kepemimpinan pastoral dalam Gereja. Sebaliknya, ia mendalami makna dari cara hidup ber-Komunitas di dalam Komunitas Basis Gerejani, dan merefleksikan konsekuensi dari cara hidup ber-KBG itu kepada Pola Kepemimpinan yang dibutuhkan. Ia mulai dari Ecclesiology kepada praksis “memimpin” dalam komunitas gerejani.
Pendapat ini terlihat dari struktur bukunya sendiri. Ia memulai bukunya dari paham eklesiologi dari hidup ber-KBG. Dari paham mengenai KBG ia membangun gagasan mengenai 5 Model atau Pola Kepemimpinan Pastoral, sebagaimana diuraikan pada bab kedua.
Beliau sendiri menegaskan :
«Orang yang mengambil pola kepemimpinan pastoral secara tepat dan benar akan membawa hasil yang menggembirakan. Bagaikan pohon yang kalau diberi pupuk yang cocok, maka dia akan menghasilkan buah yang berlimpah. Demikian juga halnya dalam pengembangan karya pastoral. Penataan pola atau strategi pastoral sangat membutuhkan kejelihan dan ketelitian. Setelah menjajagi paham KBG dan mengetahui dengan baik ciri-ciri sebuah KBG, maka kini gilirannya orang membangun strategi untuk mensukseskannya. Pemetaan strategi berpastoral menurut ciri- ciri sebuah KBG tidak bisa disamakan dengan penga turan pola pastoral umumnya»[2].
2. Lima Pola Kepemimpinan Pastoral
Setelah merefleksikan makna KBG, RD Laurensius mengusulkan 5 pola kepemimpinan pastoral: a) Kepemimpinan yang mengutamakan umat (awarn); b) Kepimimpinan yang mengutamakan option for the poor; c) Kepemimpinan Partisipatif; d) Kepemimpinan dalam alam debirokratisasi pelayanan; e) Kepemimpinan dalam tatanan dialog melalui komunitas jejaritig dan pembentukan pilot project. Mari kita lihat sepintas makna dari setiap pola kepemimpinan tersebut.
2.1 Kepemimpinan yang mengutamakan umat (awam)
Menurut penulis Pemberdayaan Umat (Awam) merupakan faktor penentu dala kepemimpinan pastoral.
«Memberdayakan cara hidup berKBG sama dengan memberdayakan peran awam dalam segala aktivitas di tingkat basis. Oleh karena itu, tiap-tiap komunitas memiliki kepengurusan organisasi yang didasari atas kesepakatan bersama. Mereka memilih pengurus dari antara mereka. Di dalamnya, KBG berperan untuk membebaskan kaum awam dari kungkungan klerikalisme. Istilah yang sering dipakai adalah “awamisasi” atau “umatisasi.”
KBG adalah pemberdayaan umat awam yang bergerak di tingkat basis atau akar Gereja. Seluruh umat berpartisipasi dalam pengutusan Gereja untuk membangun tubuh Gereja, menjadi saksi Kristus dalam masyarakat dan tampil sebagai ragi dan garam dunia yang siap meresapi dunia dengan kasih Allah. Kaum awam mendapat hak dan kewajiban kerasulan dari perutusannya dengan Kristus sebagai kepala. Karena dipersatukan dalam Tubuh Kristus melalui pembaptisan dan dikuatkan oleh Roh Kudus melalui penguatan, maka mereka ditunjuk untuk karya kerasulan oleh Tuhan sendiri (AA 3).»
Dengan kata lain, Model Kepemimpinan yang dibutuhkan dalam pastoral adalah Pemimpin Yang Meberdayakan.
2.2 Kepemimpinan Partisipatif
Pola kepemimpinan Partisipatif mengandaikan Kesatuan Visi dan Gerak. Menurut Panulis: «Cara hidup berKBG tidak akan berjalan kalau orang berjalan sesuai dengan seleranya masing- masing. Adalah sangat tidak akan menciptakan iklim comuniter kalau di antara umat sekomunitas saja tidak ada kesamaan ide dan perbuatan»[3].
Selain itu, pola Kepemimpinan Partisipatif menuntut peralihan dari:
«Pola kepemimpinan pastoral “atas-bawah” yang serba “klerikal-otoriter” ke pola “persekutuan-kesetaraan” yang merangkul seluruh umat Allah. Keuskupan, dekenat/kevikepan dan paroki yang berpola piramidal diganti dengan pola persaudaraan. Pola kepemimpinan otoriter karena status tahbisan diganti dengan pola kepemimpinan Gerejani (jemaat) yang partisipatif dan transformad/ yang merangkul, mengikutsertakan dan mengem- bangkan umat berdasarkan panggilan baptisan, krisma dan ekaristi. Inilah yang didambakan dalam pengembangan cara hidup ber KBG»[4]
Pola Kepemimpinan Partisipatif menuntut kemapuan[5]:
- «Kepemimpinan yang transformasional. Pemimpin menciptakan-memiliki VISI… yang memotivasi anggota perseKutuan KBG merasa percaya, kagum, loyal dan hormat kepada pemimpinnya, sehingga mereka termotivasi untuk melakukan lebih dari yang diharapkan dari mereka.
- untuk pembaharuan: «perubahan organisasi (KBG) sebagai lawan kepemimpinan yang dirancang untuk mempertahankan status Gaya ini diyakini akan mengarah pada penekanan tanggung jawab umat yang ingin menghidupi KBG sebagai jalan menuju penjamin persaudaraan sejati.
- Beralih dari «fungsi dan arah karya pastoral tradisional (pastor sentris) kepada pengembangan jemaat dengan mengupayakan transformasi pribadi dan partisipatif, pembaruan relasi dengan sesama dan dengan masyarakat
Bagaimana Peran Pastor? Beliau menulis:
«Meskipun awam diberdayakan sepenuhnya, tetapi peran pastor sebagai komplementer sistem manajerial KBG tetap penting. Di sinilah semangat partisipatif bisa dipahami dalam lingkup tertentu. Umat tetap melihat bahwa peran dan kehadiran seorang pastor tetap mutlak dibutuhkan. Tanpa pastor rasanya semua usaha menumbuhkan persaudaraan tercakup rekonsiliasi di dalamnya tidak berjalan dengan baik. Segala usaha dan karya pastoral ke luar atau ke dalam haruslah berada di bawah koordinasi pastor yang dibantu oleh Dewan Pastoral Paroki. Peran pastor juga sangat diharapkan untuk mengontrol segala kegiatan di tingkat komunitas»[6].
Pemberdayaan Para Imam. Hal ini tampaknya begitu penting. Menurut penulis:
«para pastor harus membekali diri dengan pola pemahaman yang benar tentang seluk-beluk teori KBG. Sangat disayangkan kalau umat lebih menguasai teori KBG daripada para gembalanya. Hai ini juga patut diperhatikan secara serius karena jangan sampai berkembang opini di tengah umat bahwa justru kedangkalan pengetahuan para pastor tentang teori KBG tersebut, maka mereka bisa dicap sebagai penghambat gerakan cara hidup ber KBG di tengah- tengah umat. Di manakah letak ketersinambungan partisipasi membangun KBG kalau paham dasar tentang KBG saja terjadi kepincangan antara pastor dengan umat?»[7]
Perlu dicatat bahwa:
«Gerakan kepemimpinan partisipatif-komuni-katif mengantar pastor untuk tidak berfungsi sebagai pengumpul kekuasaan ke dalam tangan mereka, melainkan untuk menyatukan rupa-rupa tipe, jenis dan fungsi pelayanan (kharisma) yang ada di tengah-tengah umat. Pastor berperan untuk memelihara keseimbangan dan persaudaraan di antara sekian banyak tugas pelayanan. Pastor memperhatikan serta memelihara keseluruhan visi, misi, dan reksa pastoral. Pastor adalah pendorong terbentuknya suatu komunitas, dia turut membantu mengembangkan komunitas, melayani dan menuntunnya untuk mencapai kema- tangan dalam hidup berkomunitas. Hal-hal yang menyangkut dinamika kehidupan di tengah KBG hendaknya diserahkan sepenuhnya pada umat. …Di satu sisi disadari bahwa meskipun ketidakhadiran seorang Pastor tidak menjadi halangan bagi komunitas untuk menjalankan tugas kehidupan biasa, yang terkait dengan urusan-urusan internal Gereja seperti pertemuan doa, persiapan penerimaan sakramen, memperhatikan orang sakit, membantu sesama yang tertimpa bencana, dan lain-lain; namun di sisi lain, KBG selalu menjaga kontak dengan paroki dan keuskupan sebagai wujud partisipasi yang real. Namun juga tidak berarti bahwa hidup dan kegiatannya tergantung penuh pada inisiatif klerus, melainkan hidup dan kegiatan komunitas tetap tergantung pada kebutuhan dan kesepakatan yang ditetapkan bersama yang dikoordinir oleh kaum awam».[8]
Akhirnya:
«Sebagai pelayan misi Gereja, para pastor tidak hanya bertindak sebagai individu-individu personal, tetapi sesungguhnya menerima umat awam sebagai mitra kerja (partisipasi-komunikasi) dalam membangun cara hidup berKBG. Tindakan pastoral dengan promosi awam berarti memberi perhatian dan menghormati eksistensi hidup duniawi yang mempunyai otonomi dan sekaligus terbuka. Eksistensi duniawi itu sebagai bagian integral hidup Gereja, diperagakan dan diwujudkan oleh kehidupan awami (laikal) yang oleh Vatikan II diorientasikan pada nilai Kerajaan Allah»[9]
2.3 Kepimimpinan yang mengutamakan option for the poor
Dikatakan bahwa:
«Penyelamatan di antara umat manusia akan menjadi nyata kalau orang miskin ditempatkan pada tempat yang pertama dan utama. KBG sungguh menyadari hai ini. Oleh karena itu, pola kepemimpinan pastoral harus mengutamakan pembebasan bagi yang miskin dan menederita….KBG yang menunjukkan kepedulian dengan kaum miskin menjadi indikasi bahwa persaudaraan yang dibangun dalam KBG adalah persaudaraan tanpa membeda-bedakan orang. Tiap-tiap anggota komunitas menerima sesama yang miskin sebagai kekayaan dalam hidup berkomunitas. Melalui penerimaan tersebut, tiap-tiap orang merasa dirinya dihargai, dihormati dan dikasihani. Oleh karena itu, persaudaraan yang dibangun adalah persaudaraan penuh kasih. Tiap-tiap anggota komunitas membangun kasih persaudaraan yang saling membebaskan. Dengan demikian, tidak ada satu anggota komunitas pun merasa tertindas oleh sesama atau situasi di lingkungan sekitamya»[10]
Berdasarkan paham di atas, bisa dikatakan bahwa pembangunan KBG mensyaratkan Model Kepemimpinan Yang Membebaskan, Model Kepemimpinan Yang Mempersatukan (Tanpa Membedakan Bedakan Suku, Budaya, Status Sosial), Model Kepemimpinan Yang Memberdayakan.
Penulis mencatat:
«Kekuasaan pelayanan pastoral ini membebaskan dari pamrih pribadi; dan juga membebaskan dari penghambaan kepada penguasa umat dan dunia, kepada para pembesar dan terhormat serta orang kaya dan kepada kuasa-kuasa yang menghalangi kedatangan Kerajaan Allah bagi orang miskin dan menderita…
Tanpa disadari, model-model kutural modern yang serbah canggih dan mutakhir cenderung membuat para palayan pastoral atau pemimpim jemaah terpengaruh dalam memahami dan mengamalkan wewenang untuk memberikan pengakuan kepada kaum yang secara sosial lemah, atau mengijinkan kaum lemah ini memiliki kuasa dalam kehidupan berKBG. Padahal tidak bisa dipungkiri bahwa kaum lemah dalam lingkup»[11]
Karena itu dalam pengembangan hidup berKBG, para pemimpin:
«hendaknya berpedoman pada kesetiakawanan Yesus dengan lapisan bawah dalam masyarakat yang menjadi bagian yang utuh dari pelayanan. .. Para pelayan pastoral patut hadir sebagai pembacaan kesaksian suatu penemuan harapan serta kekuatan dalam membaca kembali kisah tentang pembebasan»[12]
2.4 Kepemimpinan dalam alam debirokratisasi pelayanan
Menurut Penulis:
«Cara hidup berKBG memberikan kesempatan kepada umat untuk menyatakan kreasi iman secara bertanggungjawab. Dengan demikian, tidak dimaksudkan supaya gaya hidup KBG adalah gaya hidup lepas-bebas. Oleh karena itu, kesatuan komunitas basis ditata dengan Struktur intern yang terorganisir sehingga mereka dapat mengarahkan segala aktivitas pastoral berKBG dengan sebaik- baiknya. Meski demikian, kenyataan di lapangan sering berbicara secara lain»[13].
Lanjutnya:
«Tindakan pastoral yang mengutamakan birokrasi, orientasi pemikirannya diarahkan pada terpeliharanya suatu sistem secara konsisten; sedangkan tindakan komunikatif mempunyai orientasi pada orang sebagai subjek otonom. Dalam hal ini, sistem hanya dibutuhkan untuk memperlancar proses komunikasi inter-subjek tersebut. Dengan demikian, tindakan pastoral yang mengembangkan mentalitas berwawasan KBG sebagai jaminan persaudaraan, letaknya bukan pada pendekatan birokratis tetapi pendekatan komunikatif-partisipatif dalam alam pelayanan»[14]
Apa itu pendekatan komunikatif? «Ciri pendekatan komunikatif ialah bahwa setiap orang mempunyai hak untuk berpartisipasi, ada ruang untuk ‘rembug’ bersama untuk saling mengutarakan kepentingannya dan menemukan kepentingan bersama».[15].
Tetapi tidak hanya itu. «Tindakan pastoral yang komunikatif juga mengandaikan suatu pengalaman perjumpaan Allah yang hidup dalam diri seseorang (peristiwa). Komunikasi pengalaman rohani itulah yang sebenarnya menumbuhkan dan mengembangkan vitalitas jemaat, entah secara pribadi maupun sebagai Gereja».[16]
2.5 Kepemimpinan dalam tatanan dialog melalui komunitas jejaritig dan pembentukan pilot project
Dalam KBG dibangun «komunitas yang siap berdialog dan membangun komunitas jejaring baik dengan komunitas seiman maupun komunitas tidak seiman. Di sinilah bertumbuh yang namanya komunitas pengharapan yang membebaskan»[17] Sebagai komunitas pengharapan:
«team pastores dan pelayan pastoral umumnya diundang untuk terus-menerus membaca tanda-tanda zaman, menganalisis kekuatan-kekuatan merusak yang mengasingkan dunia dan umat manusia dari kekuatan kasih Allah, sambil menawarkan pemikiran kreatif, tindakan dan cara hidup alternatif sebagai representasi harapan. Manusia sebagai pribadi yang berpengharapan menyadari dan mengembangkan semua karunia Allah bagi kehidupan bersama menurut semangat kasih yang tanpa membedakan latar belakang pribadi serta kebudayaan atau apa pun97. Agar kebersamaan itu tercapai dengan sukses, maka dialog dan pengembangan komunitas jejaring adalah bagian dari langkah yang tepat dalam berpastoral untuk meraihnya»[18]
Perlunya Pilot Project: Contoh Pengembangan KBG. Disinyalir bahwa
«proses pelaksanaan pastoral akan menjadi lebih bergaung dan cepat menggugat ha ti umat, apabila dikembangkan pola pastoral pembangunan komunitas pilot project . Yang dimaksudkan dengan komunitas pilot project adalah komunitas percontohan. Artinya komunitas tersebut sungguh-sungguh sudah menghidupi cara hidup berKBG dan siap menjadi contoh bagi komunitas lain.»[19]
Tujuan pembentukan komunitas percontohan
«adalah supaya umat tidak mengalami kebingungan dengan berbagai teori tentang KBG yang disosialisasikan. Justru dengan melihat dan merasakan secara langsung, rasanya semangat untuk membangun kehidupan berKBG lebih menyentuh hati dan membakar semangat juang dari pada hanya mendengar teori saja dan bingung untuk memulai dari mana dalam praktek nyata. Juga dengan mendengar langsung kesaksian dari orang yang sudah nyata- nyata mengembangkan cara hidup berKBG, orang merasa tersentuh dan tergerak untuk mengikuti jejak baik yang sudah ditumbuhkembangkan dan sudah membantu penghayatan iman orang bersangkutan»[20]
Dalam hal ini apa yang dibutuhkan oleh para pastor?
«Para pastor harus sungguh menggunakan fungsi kontrol dan menjadi “juri” dalam memberi penilaian bobot sebuah komunitas pilot project ini. Ada pun langkah pembelajaran yang diharapkan adalah kepada para fasilitator atau penggerak komunitas diajak untuk datang ke komunitas percontohan untuk melihat dan merasakan sendiri aktifitas komunitas percontohan tersebut. Setelah melihat dan merasakannya, perlu diada- kan interaksi untuk mengetahui cara-cara penghi- dupan KBG yang baik dan benar. Bila perlu team fasilitator dan juga beberapa umat dari komunitas percontohan diundang datang ke komunitas- komunitas lain untuk membagikan pengalaman hidup berKBG yang sudah mereka hidupi dan barangkali sudah berbuah dalam membangun persaudaraan sejati. Dengan demikian, umat merasa lebih bersahabat (familiar) dengan KBG»[21]
3. Simpul:
Berdasarkan uraian di atas, RD. Laurensius berkesimpulan bahwa pengembangan Komunitas Basis Gerejani :
- «Seorang pemimpin KBG dalam memimpin atau bahkan memerintah, dalam situasi-situasi tertentu tetap memperhitungkan dan menghor- mati peran kaum awam beserta keunikan pribadi anggota-anggotanya. Pemimpin bertanggungjawab untuk memajukan kepribadian masing-masing anggota, sekaligus mendorong terlaksananya ketaatan. Hormat terhadap pribadi kaum awam harus dimengerti secara Hai ini didasarkan pada pemahaman bahwa hak-hak pribadi adalah suci. Oleh karena itu, sang pastor diharapkan juga menyatakan dan menunjukkan kasih Allah kepada umat awam»[22]
- «kini dan ke depan selalu membutuhkan peran kaum awam sebagai tokoh kunci dalam mendatangkan pembebasan hidup. Oleh karena itu, semangat, ungkapan dan metode katekese lama yang sangat kuat diperankan Gereja institusi dengan pemujaan pastorsentris harus digugat untuk menemukan paradigma barn yakni lewat pemberdayaan kaum awam seluas-luasnya»[23]
Penutup Resensi Buku
Buku ini menampilkan memperkenalkan model teologi praksis yang sadar akan jati diri Gereja, akan identitas dirinya sebagai Gereja, eklesiologi. Eklesiologi menjadi CERMIN untuk melahirkan Model Praksis Kepemimpinan bagi komunitas-komunitas Gereja yang memilih pembangunan KBG sebagai cara hidup menggereja.
Pertanyaan selanjutnya adalah: bagaimana membangun dan memberdayakan para pemimpin pastoral dengan kelima model kepemimpinan tersebut di atas? Ini kiranya menjadi tugas para teolog praksis atau teologi pastoral. Perlu dicatat bahwa RD. Laurensiun menekankan aspek «pemberdayaan» dalam gugatan pola pastoralnya. Menurut hemat saya, pemberdayaan itu kena tidak hanya kemampuan untuk memberdayakan tetapi juga kesediaan untuk diberdayakan, entah secara pribadi atau bersama.
Pedoman Pastoral Keuskupan Pangkalpinang, MGP, No. 270-273 menegaskan antara lain bahwa pemberdayaan itu berkaitan erat dengan:
- Spiritualitas
- Pemahaman
- Pembaharuan diri dan organ partisipatif dan kecakapan beraorganisasi.
Karena itu tak heran bisa dikatakan: «Para pemimpin harus menjadi fasilitator yuang handal[24], yang menghidupkan…yang memberi motivasi, yang siap melatih diri dalam berorganisasi, dan dalam management pastoral[25] (seperti Pastoral Mirror dan Goal Setting tools)[26]
[1] Laurensius Dihe Sanga, Menggugat Pola Pastoral Menurut Cara Hidup Ber-KBG, Amara Books, Yogyakarta, 2010, selanjutnya disingkat MPP.
[2] MPP, hal. 86.
[3]MPP, hal. 93.
[4] MPP, hal. 93-94.
[5] Cfr. MPP, hal. 95
[6] MPP, Hal. 96
[7] MPP, hal. 96-97
[8]MPP, hal. 97-98
[9] MPP, hal. (99
[10] MPP, hal. 104-105
[11] MPP, hal. 106
[12] MPP, hal. 107.
[13] MPP, hal. 109
[14]MPP, hal. 111
[15]MPP, hal. 112
[16] MPP, hal. 112
[17] MPP, hal. 113.
[18] MPP, hal. 114
[19] MPP, hal. 117
[20] MPP, hal. 117-118
[21] MPP, hal. 119
[22] MPP, hal. 124.
[23] MPP, hal. 126.
[24] MGP, no. 272
[25] Cfr. MGP no. 273.
[26] Cfr. MGP no. 323-327.