Home RENUNGAN Roti Kaum Peziarah

Roti Kaum Peziarah

by nico malun

*) RD Lucius Poya Hobamatan

Penyair muda, Thomas Sunlie Alexander, asal Belinyu  membuat catatannya tentang pandemi, melalui puisi-puisinya yang dimuat di  Jawa Pos, hari Minggu esok. Dalam salah satu Puisi yang diberi judul PANDEMI INI (2), ia menulis:

beginilah pada akhirnya

kita dikepung berita kematian

yang fana

dari media social, pesan WA, speaker masjid

lonceng gereja, , atau cakap tetangga

dan Tuhan seperti menjauh saja

ketika doa-doa mendekat dari arah segala

kelak barangkali tak lama,

kita bakal lelah

berucap belasungkawa

Puisi ini memberi inspirasi karena mengungkapkan reaksi manusia akan pandemi corona yang belum menunjukkan tanda-tanda memasuki garis finish. Sebab hampir dalam rentang dua tahun, corona terus menjadi headline, menguasai jagad dan memaksa para penguasa untuk tunduk dan membuat kebijakan yang seirama dengan kemauannya.

Ia memaksa orang untuk tidak boleh menguburkan keluarganya yang meninggal, dengan cukup melambaikan tangan saat mendengar bunyi sirene ambulance. Ia mengancam kaum kaya raya agar berhenti melanglangbuana merayakan pesta pora dengan duit miliaran rupiah, seraya membelenggu mereka di kamar sempit kalau mau selamat. Para pekerja diberhentikan sesuka hati, tak peduli istri menjerit, masa depan anak terlunta. Allah yang menjadi sandaran dibuat seakan tak berdaya, karena semua rumah ibadat ditutup.

Mau atau tidak, harus diakui bahwa korona telah menjadi penguasa baru. Taring kuasanya merambah ke setiap ruang, tak peduli privat atau publik, sakral atau profan. Bagai memerangi sebuah rezim otoriter, manusia juga tidak tinggal diam melihat kesewenangan itu. Ia mencoba melawan, menunjukkan taring kuasa.

Segala kemampuan intelektual dikerahkan, namun sampai detik ini tanda-tanda kekalahan masih berpihak kepada manusia. Pasalnya, ketika vaksin ditemukan, varian delta dilahirkan sebagai antithesis dari penemuan itu.

Kondisi ini membuat manusia menjadi putus asa, karena corona telah memasung kemerdekannya, telah menyekat aktivitasnya, yang berujung memusnahkan hidupnya.

Tak heran, manusia akhirnya lari kepada Tuhan. Ia tak lagi percaya pada kekuatan diri sendiri. Itulah sebabnya Sungai Gangga diterjuni oleh ribuan orang dengan harapan setetes percikan memulihkan bencana. Di Papua, rumah ibadah dibuka, dibuat dengan ritual pembakaran masker, sambil berteriak lantang Tuhan lebih berkuasa, seraya mengepalkan tangan. Namun setelah itu manusia harus tunduk menyerah, karena jagad maya menyajikan pesan bahwa kasus covid terus bertambah.

** *

Rasanya inilah situasi padang gurun bagi manusia zaman ini; sebuah situasi di mana semua kekuatan manusia tak lagi berdaya sehingga membuatnya kehilangan arah, mengalami saat-saat gelap, tak lagi punya sandaran. Ia melarikan diri kepada Allah tetapi bukan karena kesadaran akan siapa Allah dan siapa dirinya, melainkan karena dibelenggu oleh hopeless dan rasa putus asa yang telah berada di titik nadir.

Dan rasanya inilah  pengalaman Elia saat berziarah di padang gurun. Hujan panas matahari dari arah langit serta pantulan terik kerikil sahara dari arah bumi, tanpa bekal untuk dimakan, tanpa air untuk diminum, selain  keringat yang terus bercucuran  dan kulit yang terus mengelupas oleh bara, membuat ia kehilangan harapan, kabur arah, berada dalam situasi putus asa. Ia menyerah, memilih mati: ”Cukuplah sudah! Sekarang ya Tuhan, ambillah nyawaku, sebab aku ini tidak lebih baik daripada nenek moyangku”.

Namun pikirannya bukan pikiran Tuhan. Dugaannya ternyata bukan niat Allah. Saat ia terlelap dalam ketakberdayaan di bawah pohon arar, roti malaikat disajikan, air dari surga diberikan, bukan hanya untuk memulihkan kondisinya yang telah kehilangan daya, melainkan juga sebagai sumber hidup dan kekuatan baru, dalam ziarah panjang menuju gunung Allah, yakni Gunung Horeb.

Allah ternyata tidak mengubah padang gurun menjadi belantara dengan air melimpah. Allah justru menjadikan moment padang gurun sebagai sebuah peristiwa kehadiran untuk membei kekuatan dan hidup bagi umat-Nya dengan roti dan air surgawi. Roti dan air surgawi itulah yang menjadi kekuatan dan hidup kaum peziarah dalam perjalanan panjang menuju gunung Allah.

Roti hidup itu adalah Tubuh Yesus sendiri, sebagaimana dimaklumkan-Nya kepada kaum peziarah Perjanjian Baru hari ini. Kepada kaum peziarah yang mengikuti Dia, Yesus tidak menjawab kebersungutan dengan sekedar memberi roti untuk mengubah situasi lapar mereka. Sebab Ia tidak ingin sekedar memberi manna di padang gurun yang hasil akhirnya kematian, sebagaimana dialami nenek moyang Israel. Yesus memberi Tubuh-Nya sendiri sebagai Roti Hidup bagi kaum peziarah. Itulah Roti yang telah turun dari surga, sebagaimana dicicipi Elia. Itulah Roti yang memberikan kekuatan dan hidup dalam ziarah menuju Gunung Allah.

***

Hidup ini sebuah ziarah; dan manusia itu seorang peziarah. Kendati secara kronos, hidupnya melingkar dari pagi ke pagi, namun dalam kairos, manusia sejatinya sedang berziarah menuju gunung Allah, yang adalah puncak perjalanan hidupnya. Sebagai peziarah, dunia adalah padang gurun, tempat manusia berjalan menuju puncak; menuju gunung Kerajaan Allah. Dan oleh karena itu duka dan kecemasan, penderitaan dan keputusasaan tak pernah terhindar. Di titik nadir keputusasaan terkadang Tuhan terasa begitu jauh dan tak lagi hirau.

Namun hari ini Yesus dan Elia memberi kesaksian bahwa Allah tidak mengubah  padang gurun, sebaliknya menjadikan padang gurun sebagai peristiwa keselamatan; sebagai pengalaman kehidupan dari Allah; pengalaman di mana Allah sendiri memberi roti dan air untuk dimakan dan diminum, sebab hanya Riti dan Air dari surga itulah yang sanggup memberi kekuatan dan kehidupan dalam ziarah panjang menuju gunung Allah. Tidak ada yang lain.

Sayang bahwa banyak orang katolik lebih melakoni hidup sebagai orang Yahudi, yang mendambahkan manna yang dapat mati, sehingga situasi padang gurun justru menjadi moment memacu diri mencari manna yang membawa kematian. Mereka lupa bahwa setiap hari Tuhan memberi Roti Surgawi kepada kaum peziarah, karena itulahnya satu-satunya Roti yang membawa hidup kekal menuju Gunung Allah-puncak kehidupan manusia. Roti Hidup itu adalah Yesus sendiri yang memberikan diri-Nya dalam Ekaristi.

Mari berziarah melintasi padang gurun kendati dengan kekuatan yang sangat minim seperti Elia, seraya menjadikan musim padang gurun ini untuk mengubah image dari wajah Yahudi kepada wajah kristiani. Sebab demi kitalah Kristus menyerahkan diri sebagai persembahan dank urban yang harum mewangi bagi Allah, kata St. Paulus. (***)

*) RD Licius Poya : Imam Diosesan Pangkalpinang, Pastor di Wilayah Persiapan Tanjung  Uban, Bintan

Related Articles

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.