Status Questionis
Kasak kusuk seputar “fasilitator” belum berakhir. Bila ditelusuri sejarahnya, persoalan mengenai fasilitator
sudah muncul sejak tahun 2005. Di tengah umat Allah di Keuskupan kita ada persoalan mengenai peran bahkan tentang “identitas” fasilitator. Mungkin ada juga yang bertanya-tanya “mengapa fasilitator begitu penting? Mengapa fasilitator terlihat “lebih”?
Sementara itu dalam Instruksi 1 Uskup Pangkalpinang Menuju Persaudaraan Sejati, yang dikeluarkan pasca Evaluasi Pastoral Hasil Sinode I tahun 2005, pada nomor 24, Bapa Uskup menegaskan:
«a. Seperti sudah saya katakan di atas (sehubungan dengan visi), dalam usaha mengembangkan KBG, posisi fasilitator sangatlah penting. Karena itu haruslah dibina banyak fasilitator yang berkualitas dalam hal memimpin pertemuan, dalam menguasai berbagai tema. Mereka harus punya pengetahuan dasar mengenai Kitab Suci karena pusat utama KBG adalah Sabda Tuhan, menyusun sendiri paket pembinaan dan lain-lainnya. Saya mengharapkan sekali bahwa para pastor dan DPP memperhatikan para fasilitator ini umpamanya dengan rekoleksi khusus untuk mereka. Untuk setiap KBG harus ada beberapa fasilitator supaya kalau satu berhalangan, yang lain bisa mengambil oper tugas memimpin pertemuan KBG.
b. Dalam rangka memperkuat fasilitator di paroki-paroki, bulan Januari 2006 ini, di Pangkalpinang akan diadakan kursus Pendalaman AsIPA. Tetapi pesertanya bukanlah semua yang pernah mengikuti Pekan Pelatihan AsIPA yang lalu. Hanya mereka yang ternyata baik dan bisa diandalkan dalam praktek memimpin pertemuan KBG mingguan, dipilih untuk mengikuti AsIPA II di Pangkalpinang. Karena itu saya meminta dengan sungguh supaya para pastor dan DPP sungguh mengamati karya dari para fasilitator itu supaya kemudian bisa memilih dengan alasan yang obyektif. Kalau setiap minggu ada pertemuan teratur dari para fasilitator, yang juga dihadiri pastor dan DPP, para pastor bisa mengenal siapa yang mampu atau tidak».
2. Membedah Pernyataan Uskup Pangkalpinang
Dari Instruksi Uskup Pangkalpinang ini kita bisa mencatat beberapa hal mendasar:
A. Alasan Keberadaan Fasilitator
Keberadaan fasilitator itu berhubungan erat dengan proyek pembanguna Gereja Partisipatif atau implementasi Visi-Misi. Hal itu dikatakan sendiri oleh Uskup Pangkalpinang ketika memperhatikan Hasil Evaluasi Pastoral tahun 2005, pada no. 17-18. Baiklah kita membaca dokumen tersebut:
«17. Keprihatinan: saya mengakui bahwa semua paroki di keuskupan kita sangat giat dengan berbagai kegiatan pastoral. Untuk semua ini saya sungguh berterima kasih. Tetapi haruslah diakui pula bahwa semua kegiatan itu belum keluar visi yang ingin kita capai atau belum diarahkan kepada visi. Kegiatan-kegiatan dilaksanakan tanpa visi, tanpa arah. Dalam pekan evaluasi yang lalu, dikatakan bahwa visi Keuskupan Pangkalpinang belum disosialisasikan kepada umat. Karena itu banyak umat belum mengetahui ke arah mana komunitas paroki hendak pergi; banyak umat belum mengetahu pedoman arah mana yang kita pakai; banyak umat belum tahu apa yang menjadi tolok ukur segala kegiatan pastoral kita. Kenyataan ini sungguh menyedihkan. Sebab kalau visi tidak dikenal, bagaimana orang bisa melaksanakan berbagai kegiatan yang terarah kepada visi. Kebanyakan kita melaksanakan karya demi karya itu bukan demi tercapainya visi.
18. Oleh karena itu saya menegaskan untuk menggalakan kembali sosialisasi Visi keuskupan. Agar sosialisasi dapat berjalan dengan baik saya meminta agar Paket pembinaan mengenai visi akan disusun oleh SekPas (Komisi Kateketik dengan dibantu oleh Komisi Komisi lain). Saya sungguh mengharapkan bahwa semua paket akan siap pada waktunya. Yang penting adalah bagaimana mengumatkan visi lewat paket-paket itu. Dalam hal ini peran penting ada dalam tangan para fasilitator yang telah dilatih untuk mempergunakan metode AsIPA».
Kita mencatat di atas bahwa keberadaan FASILITATOR BERKAITAN ERAT DENGAN IMPLEMENTASI VISI-MISI. Ketika membaca kembali peryataan-peryataan Almahrum Bapa Uskup Hilarius ini saya tertegun. Ia adalah seorang pemimpin visioner, yang tidak hanya memberi arah tetapi juga menunjuk bagaimana caranya dan apa saja yang dibutuhkan untuk perwujudan impian itu. Ia menjadi seorang pendidik “managemen pastoral” atau dosen “teologi pastoral” yang handal. Beliau adalah fasilitator handal.
Salah seorang promotor Komunitas Basis Gerejawi Italia, Pastor Antonio Fallico, berdasarkan pengalamannya dalam membangun proyek pastoral menjadikan paroki sebagai «comunione di comunità»[1] atau «Communion of communities (persekutuan komunitas-komunitas)» menegaskan pentingnya “gruppo animatori” atau kelompok animator-fasilitator, dan “formation” nya. Hal senada ditegaskan juga dalam MGP no. 258[2] dan NKGP no. Bab IV, Pasal 1, Art. 7.[3]
B. Identitas dan Peran Fasilitator
Memperhatikan alasan keberadaan Fasilitator di atas, kita dapat secara implisit menemukan identitas dan peran umum Fasilitator, yakni umat Allah yang DIBINA-DIPERSIAPKAN KHUSUS untuk mewujudkan Visi-Misi. Secara singkat dapat dikatakan bahwa:
- Fasilitator adalah mereka yang sudah melewati proses pembinaan.
- Fasilitator berperan dalam mengimplementasi visi dan misi.
Bapa Uskup bahkan menegaskan juga bahwa kita hendaknya memiliki fasilitator «yang berkualitas dalam hal memimpin pertemuan, dalam menguasai berbagai tema. Mereka harus punya pengetahuan dasar mengenai Kitab Suci karena pusat utama KBG adalah Sabda Tuhan, menyusun sendiri paket pembinaan».
Jika fasilitator adalah hasil dari sebuah proses pembinaan dalam rangka mewujudkan Visi Misi, maka kita bisa menjawab bahwa fasilitator adalah siapa saja yang sudah dipersiapkan. Siapa saja umat Allah: artinya semua anggota umat Allah di sebuah Paroki, imam-awam. Persoalan mungkin yang bersedia memberi diri untuk mengikuti persiapan ini tergantung dari kesediaan, karena itu tidak banyak orang mau mengikuti proses awareness ini. Kalau kita lihat pertemuan-pertemuan General AsIPA, itu tidak hanya wam dan imam, para Uskup menjadi fasilitator. Bahkan Almahrum Bapa Uskup Hila sendiri mendampingi beberapa fasilitator, seperti di Paroki Tanjungpinang, Wilayah Tanjung Uban. Kata Estela, Almahrum adalah guru yang “menjadi murid”.
C. Formation para fasilitator
Dari identitas dan peran fasilitator di atas, dapat dikatakan bahwa fasilitator atau «animatori non si nasce, ci si diventa»[4], animator-animator atau fasilitator-fasilitator tidak lahir demikian, melainkan orang-orang yang dibentuk untuk MENJADI fasilitator.
Sadar akan hal tersebut, Bapa Uskup lalu menegaskan bahwa dalam rangka perwujudan visi-misi itu «peran penting ada dalam tangan para fasilitator yang telah dilatih untuk mempergunakan metode AsIPA».[5]
Hal yang sama ditegaskan kembali oleh Almahrum dalam MGP, ketika ia menulis dua hal:
«Peningkatan jumlah dan kualitas para fasilitator harus selalu menjadi agenda penting dari paroki. Perlu diusahakan koordinasi di antara paroki-paroki sedekenat (baca kevikepan) bagi pemberdayaan fasilitator dan para pemimpin»[6].
D. Materi Pembinaan Dasar dan On going formation para Fasilitator
Sudah sejak tahun 2005 secara resmi Bapa Uskup menegaskan tentang pentingnya materi AsIPA sebagai referensi dasar bagi pembinaan umat Allah, khususnya mereka yang menamakan diri atau menjadi Fasilitator.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa DALAM KONTEKS PERWUJUDAN VISI MISI, anggota umat Allah yang sudah melalui proses pembinaan AsIPA-lah yang dinamakan fasilitator atau animator. Dalam pengalaman kita bisa lihat seberapa jauh kita telah mempersiapkan umat Allah yang panggilan ini. Ada yang sedang dalam proses, ada yang sudah sampai di Modul AsIPA B, ada yang sudah melahirkan banyak fasilitator. Misalnya, dalam dua atau tiga tahun terakhir ini, Paroki Bengkong, sudah menghasilkan tiga angkatan umat Allah yang telah mengikuti PEMBINAAN MENJADI FASILITATOR.
Mereka yang telah melalui proses persiapan satu tahun ini, bukan berarti sudah selesai. Sama seperti dalam hidup kita, belajar itu tidak pernah akan berakhir dengan memperoleh ijazah. Dengan berakhirnya pembinaan selama setahun, (Modul A-C), “sahabat-sahabat”[7] kita ini perlu mendapatkan bina lanjut, on going formation.
Kebutuhan ini telah diantisipasi oleh Bapa Uskup dalam Instruksi pertamanya ketika ia mengatakan bahwa para fasilitator ini mesti mendapatkan formation agar mereka “menguasai berbagai tema”, “punya pengetahuan dasar mengenai Kitab Suci” bahkan bisa “menyusun sendiri paket pembinaan”.
Dalam konteks bina lanjut ini Bapa Uskup bahkan menyebutkan secara eskplisit mengenai perlunya «Pusat formation Pastoral Integral»[8] dalam MGP no. 276-278. Kata almahrum: “Berlian yang tidak diasah akan menjadi pudar dan tidak bercahaya”
E. Mengapa Teks AsIPA
Dalam Instruksinya, Bapa Uskup menyebut 4 kali kata AsIPA dalam hubungan dengan Implementasi atau perwujudan Visi dan Misi. Bahkan untuk itu telah diadakan dua kali seminar AsIPA sepanjang tahun 2004-2006. Dan pada saat itu Bapa Uskup meminta agar kita para imam mengikuti seminar ini, karena beliau mungkin sudah mengantisipasi betapa pentingnya peran pemimpin dalam upaya mewujudkan a new way of being Church.
Sebutan AsIPA menjadi meningkat jumlahnya dalam Pedoman Pastoral kita Menjadi Gereja Partisipatif. Beberapa orang imam dan awam bahkan diutus mendalami teks AsIPA di tingkat internasional. Data ini saja menunjukkan keyakinan Almahrum mengenai pentingnya AsIPA bagi perwujudan visi-misi Gereja Partisipatif.
Banyak kemungkinan studi dan diskusi mengenai pentingnya AsIPA. Sebagi referensi bisa dipelajari Rekomendasi-rekomendasi Sidang-Sidang Umum AsIPA yang diselenggarakan oleh Komisi Kerawan dan Keluarga, seksi AsIPA.
Kesempatan ini kita coba menelusuri intuisi Bapa Uskup mengenai AsIPA:
- Bapa Uskup memandang bahwa dalam kaitan dengan sosialisasi atau animasi Visi-Misi «…………….peran penting ada dalam tangan para fasilitator yang telah dilatih untuk mempergunakan metode ASIPA». Apa hubungan antara sosialisasi visi dan misi dengan teks AsIPA? Jawaban jelas kalau kita memperhatikan AsIPA Text:
- Pada modul A: dibicarakan mengenai Sharing Injil, yang merupakan salah satu dari ke 4 ciri utama KBG
- Pada Modul B: dibicarakan mengenai 4 Ciri Utama KBG, termasuk mengenai Model Kepemimpinan Gereja Partisipatif
- Pada Modul C dibicarakan menegeni Gereja Partisipatif sebagai persekutuan komunitas-komunitas, communion of communities.
- Pada Modul D: dibicarakan mengenai peran dan style fasilitator dan pemimpin komunitas, serta mengenai Cermin Pastoral atau Pastoral Mirror.
- Teks AsiPA sendiri menyebutkan bahwa AsIPA teks itu tidak hanya berbicara mengenai skill atau sosialisasi secara sederhana. Teks AsIPA merupakan program penyadaran (awareness program), yang berhubungan dengan spiritualitas, kesadaran menjadi murid, pola dan gaya kepemimpinan dan pengetahuan[9].
3. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, kita bisa menyimpulkan beberapa hal:
- Keberadaan Fasilitator sangat berhubungan dengan upaya mewujudkan Gereja Partisipatif, Communion of communities. Itu berarti bahwa Fasilitator tidak bisa dianggap sebagai “satu kelompok kategorial”. Kebaradaan mereka dengan sengaja dikelompokan untuk maksud studi bersama-evaluasi mengenai pelaksanaan peran mereka dalam mengimplementasi visi-misi dan on going formation, yang dilakukan secara bertahap. “Kelompok fasilitator atau animator ini harus bertumbuh dan berkembang secara bertahap agar semakin bertumbuh kesadaran akan panggilan DALAM RANGKA mewujudkan Gereja Partisipatif.
- Fasilitator bukanlah kelompok kategorial, seperti Legio Maria, ME, CFC; ia tidak bisa disamakan juga dengan Badan Hukum seperti WKRI, Pemuda Katolik. Kelompok-kelompok kategorial atau badan hukum ini terbentuk dengan visi dan misi sendiri, dengan pedoman atau statutanya sendiri. Dan mereka, karena merupakan kelompoik-kelompom gerejawi maka perlu didukung agar visi misi mereka dapat terlaksana dengan baik. Bisa saja bahwa fasilitator-fasilitator ini adalah juga mereka yang tertarik menjadi anggota suatu kelompok kategorial tertentu, atau badan hukum tertentu. SEDANGKAN PEMBICARAAN MENGENAI FASILITATOR ITU SELALU BERHUBUNGAN DENGAN IMPLEMENTASI VISI MISI, BERKAITAN DENGAN MEWUJUDKAN PROYEK PEMBANGUNAN COMMUNION OF COMMUNITIIES. Kalau Visi dan Misi kita bukan “Menjadi Gereja Partisipatif”, boleh jadi kita tidak mengenal istilah fasilitator atau animator.
- Kasak-kusuk mengenai fasilitator maupun AsIPA tidak perlu jika kita merujuk pada alasan keberadaan, identitas dan peran fasilitator sebagaimana dimaksudkan oleh Legislator Keuskupan Pangkalpinang, mens legislatoris.
- Saya kutip pernyataan ini: «Il gruppo degli animatori che costituisce all’interno di una parrocchia non è un gruppo tra i tanti gruppi che operano nel suo ambito, ma rappresenta l’intera parrocchia che si pone in stato di rinnovamento pastorale a partire dalla formazione di alcuni laici che si preparano per avviare un nuovo progetto di Chiesa»[10]. Secara singkat ungkapan ini hendak mengatakan bahwa:
“kelompompok animator-animatris yang ada di dalam sebuah paroki, bukanlah kelompok seperti kelompok kategorial lainnya, di mana kelompok kategorial ini berkarya menurut ruanglingkup atau visi tertentu. Kelompok fasilitator adalah perwakilan seluruh paroki yang ditempatkan dalam rangka pembaharuan pastoral mulai dari pemberdayaan (formation) kaum awam yang dipersiapkan untuk memulai perwujudan visi baru Gereja”.
5. Apakah mereka benar-benar menjadi reppresentasi umat Allah di paroki? Ya, jika para fasilitator ini adalah utusan KBG-KBG setiap paroki. Tidak! Kalau mereka ini ditunjuk oleh pemimpin paroki. Mereka yang ditunjuk begitu saja tanpa pembinaan MENJADI fasilitator, adalah para pembantu, helper yang menunjuk.
6. Jika setiap tahun setiap paroki menghasilkan kaum awam yang telah mengikuti proses pembinaan dasar, berapa banyak kaum awam kita diberdayakan? Berapa banyak umat yang siap membangun visi kita entah sebagai ketua komunitas atau pengurus di KBG? Kalau mereka ini sudah dipersiapkan, kita tidak perlu terlalu sibuk untuk mempersiapkan para pengurus paroki sebelum dilantik.
7. Tempat imam di Paroki? Karena keberadaan fasilitator itu ditempatkan dalam upaya menjadi murid dan perwujudan visi kita, dan para imam di paroki merupakan pemimpin, maka mereka adalah fasiliator utama, «animatore degli animatori»[11] atau Animator dari para animator, fasilitator dari para fasilitator. Dalam Instruksi 1 maupun MGP, ditegaskan bahwa program awareness AsIPA itu tidak hanya kepada fasilitator tetapi juga pemimpin[12]. Siapa saja pemimpin di Paroki?
8. Kalau kita perhatikan NKGP, jelas sekali bahwa tugas utama setiap pemimpin atau organ di Paroki adalah MENGIMPLEMENTASI VISI-MISI. Karena itu sebelum pelantikan, mereka mengikuti “masa persiapan” (biasanya satu atau dua hari). Jika kita memperhatikan “materi pembinaan” dasar dari para fasilitator, AsIPA Text, dengan lamanya waktu persiapan kurang lebih setahun, kita sebenarnya sedang mempersiapakan calon-calon pemimpin paroki yang memberi arah.
4. Penutup
Para Rasul, pada hari Kenaikan, jumlahnya 11 orang[13], diberi kuasa untuk membangun dunia baru yang direncanakan Bapa, Anak dan Roh Kudus. Mereka pergi ke komunitas-komunitas di Antiokhia, dan seterusnya. Perutusan itu diberikan setelah kurang lebih 3 tahun dipersiapkan oleh Yesus. Tanggal 30 Mei yang lalu ada 250 fasilitator Paroki Bengkong, hasil pembinaan 3 tahun, sudah angkatan ke 3. Sudah ada 250 orang yang siap mewujudkan visi, plus pastor paroki dan pastor pembantunya. Saya kurang tahu berapa jumlah awam yang sudah melewati proses pembinaan menjadi fasilitator di Paroki Maria Benda Pembantu Abadi. Jika terus tekun dengan hal ini, jumlah pelayan-pelayan yang “dipersiapkan”, calon-calon pemimpin yang memberi arah akan terus bertambah jumlahnya.
Kita baca kembali Instruksi 1 tentang Fasilitator:
«39. Peran fasilitator dalam KBG itu sangat penting. Tanpa mereka, pertemuan pertemuan KBG akan gagal total. Karena itu para fasilitator ini haruslah sungguh dibuat trampil, supaya dalam mensosialisasikan visi ini, mereka bisa memimpin dan memberikan bimbingan serta input yang baik untuk para anggota KBG-nya.
40. Supaya mereka berhasil baik, para fasilitator ini perlu didampingi oleh pastor dan DPP. Mereka tidak boleh dilepas sendirian. Berlian yang tidak diasah akan menjadi pudar dan tidak bercahaya. Karena itu saya sungguh mengharapkan bahwa setiap minggu pada hari tertentu semua fasilitator ini dikumpulkan oleh pastor dan DPP untuk membuat evaluasi atas apa yang sudah terlaksanakan dari segi : materi, metode, cara membawakan dsbnya serta mempersiapkan mereka untuk pertemuan KBG yang berikutnya. Pertemuan seperti ini menurut saya penting sekali untuk saling memperkaya sehingga mereka menjadi sungguh2 trampil dan menjadi jeminan keberhasilan. Saya menyadari bahwa menjadi fasilitator sebagai ujung tombak karya kita tidak mudah. Apalagi harus setiap minggu harus turun ke KBG-KBG. Makanya mereka perlu didampingi selalu dan diasah terus menerus supaya kemampuan mereka tidak menjadi kerdil».
Mari kita bersatu bergandeng tangan mewujudkan impian bersama kita: Menjadi Gereja Partisipatif!
[1] Corso di formazione per animatori CEB. Libro-Guida, Edizioni Chiesa-Mondo, 1988, 13.
[2] Bdk. Menjadi Gereja Partisipatif: Pedoman Pastoral Keuskupan Pangkalpinang Pasca Sinode II, Obor Jakarta, 2012, no. 258
[3] Bdk. Norma-Norma Komplementer Gereja Partisipatif, Pangkalpinang, 2013, Bab IV, Pasal 1, Art. 7.
[4] Corso di formazione per animatori CEB. Libro-Guida, Edizioni Chiesa-Mondo, 1988, 21.
[5] Hilarius Moa Nurak, Instruksi 1 Menuju Persaudaraan Sejati, 2005, no. 24.
[6] Bdk. Menjadi Gereja Partisipatif: Pedoman Pastoral Keuskupan Pangkalpinang Pasca Sinode II, no. 261.
[7] Bdk. Injil Yohanes 15, 15: «Aku tidak menyebutk kamu lagi hamba….Aku menyebutkan kamu sahabat»
[8] Bdk. Menjadi Gereja Partisipatif: Pedoman Pastoral Keuskupan Pangkalpinang Pasca Sinode II, no. 276-278.
[9]Badk. FABC AsIPA Desk, AsIPA Text: Modul A-D, Taiwan 1996.
[10] Corso di formazione per animatori CEB. Libro-Guida, Edizioni Chiesa-Mondo, 1988, 20.
[11] Corso di formazione per animatori CEB. Libro-Guida, Edizioni Chiesa-Mondo, 1988, 13.
[12] Bdk. Hilarius Moa Nurak, Instruksi 1 Menuju Persaudaraan Sejati, 2005, no.
[13] Bdk. Mateus 28, 16.