*) By RD Ferdinandus M. Bupu
Bagi Bangsa Yahudi salah satu kebanggaan iman mereka adalah Allah yang begitu memperhatikan mereka. Bentuk perhatian paling berkesan secara manusiawi adalah dalam periode padang gurun, exodus dari dari Mesir: Allah memberi mereka makan roti manna, makan daging Puyuh dan minum air dari Batu Karang. Ini dengan bangga diceritakan dari generasi ke generasi sehingga setiap orang Yahudi pasti mengetahuinya.
Dalam pengajaranNya, Yesus tidak hanya sekedar mengangkat cerita “hafalan” ini, tetapi sekaligus mengajak pendengarNya untuk bersama Dia melampaui apa yang terjadi zaman dahulu kala itu. Roti dan daging istimewa. “ Akulah roti hidup. Nenek moyangmu telah makan manna di padang gurun dan mereka telah mati. Inilah roti yang turun dari sorga: Barangsiapa makan dari padanya, ia tidak akan mati. Akulah roti hidup yang telah turun dari sorga. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya, (48-51).
Sampai di sini memang ada soal, meskipun bukan suatu skandal. Pertanyaan muncul, seperti apa persisnya yang disebut Roti Hidup itu. Apakah roti itu bergerak-gerak, atau sekurang-kurangnya dari barang mati bisa hidup seperti kisah Tongkat Musa yang berubah jadi ular di depan Firaun dan para pegawainya? Atau, apakah dengan makan roti itu orang mati bisa hidup kembali dan orang yang masih hidup tidak mati lagi. Ataukah kedua-duanya. Pada tahap ini, para pendengar dibawa berlayar di tengah goncangan ombak, meski tidak sampai menimbulkan ketakutan dan kepanikan luar biasa.
Puncak goncangan itu terjadi ketika Yesus melanjutkan: “dan roti yang Kuberikan itu ialah daging-Ku, yang akan Kuberikan untuk hidup dunia.” Bila kata-kata Yesus ini secara gramatikal ada muatan tersembunyi/implisit di dalamnya. Dan ingat, roti yang akan secara aktif kuberikan adalah dagingKu, yang Kuberikan khusus untuk kepentingan dunia.
Dunia adalah alam raya yang Allah ciptakan dengan FirmanNya; Dunia adalah tempat di mana Allah mengutus Anak TunggalNya; dunia adalah lingkungan tempat manusia hidup dan menjadi obyek/titik tuju kasih Allah; dunia adalah manusia yang tidak percaya kepada Allah. Percaya kepada Allah dalam pengertian Kitab Suci tidak seperti yang kita pahami. Percaya artinya berbuat. Kalau tidak melakukan, berarti kita sedang membuktikan diri bahwa kita tidak percaya. Percaya itu berarti dalam keadaan terjaga untuk membuktikan bahwa kita tidak sedang mengigau. Percaya memiliki substansi aktif-aksi.
Karena tidak terbiasa dengan pola learn by doing, “Orang-orang Yahudi bertengkar antara sesama mereka dan berkata: “Bagaimana Ia ini dapat memberikan daging-Nya kepada kita untuk dimakan.” (52) Yesus berbicara dalam bahasa kiasan. Poinnya adalah kita akan hidup kalau Yesus hidup. Yesus adalah kehidupan kekal yang dijanjikan kepada semua yang mengikutiNya. Agar bisa mengikutiNya kita harus memiliki “serpihan-serpihan” Yesus” dalam diri kita sebagaimana dihadirkan Komuni suci dalam misa kudus.
Dalam Malam Perjamuan Terakhir, berbeda dengan Injil Sinoptik dan Surat Paulus, atas roti dan anggur, Injil Yohanes tidak mencatat: “Ambilah dan makanlah, inilah TubuhKu, “Ambilah dan Minumlah, Inilah DarahKu”. Dapat dipahami, bahwa ini suatu simbol. Tetapi ketika Yesus berbicara secara langsung: “makan tubuhKu dan minum DarahKu”, bukan sebagai suatu simbol, maka para pengikutNya meninggalkan Dia. Bagi orang Yahudi, apa yang dikatakan Yesus bertentangan dengan yang diatur dalam Kitab Imamat dalam hal ini: soal darah dan soal jasad. Darah adalah nyawa dan jasad najis. Disentuh saja haram hukumnya, apalagi disuruh makan.
Reaksi datang bukan hanya dari orang Yahudi umumnya atau para simpati Yesus, tetapi terutama dari para muridNya. “ Sesudah mendengar semuanya itu banyak dari murid-murid Yesus yang berkata: “Perkataan ini keras, siapakah yang sanggup mendengarkannya?” (60) Iman para murid tergoncang; sock terapi yang benar-benar mengejutkan. Terjadilah yang disebutkan dengan istilah “krisis Galilea” karena Yohanes mencatat “Mulai dari waktu itu banyak murid-murid-Nya mengundurkan diri dan tidak lagi mengikut Dia.” (66)
Mengikuti Yesus tidak mudah. Mengikuti Yesus adalah mutiara yang harus diperoleh dengan keringat. Kemanusiaan kita harus memiliki nilai plus. Tentu kita tidak lupa bagaimana kita memperoleh Sakramen Pembaptisan. Suatu tahap berliku harus kita lalui. Tentu juga kita tahu, bagaimana mempertahankan keutuhan keluarga, Sakramen Perkawinan, kita di tengah maraknya arus kawin-cerai. Bagaimana kita berjuang menahan diri di tengah berbagai provokasi, hoax, serangan-serangan dogmatis dan berbagai tantangan lainnya.
Para pendengar yang mendengar, melihat langsung dan berada bersama Yesus, bisa mengalami goncangan iman luarbiasa, harus disadari bahwa alangkah lebih luarbiasalah tantangan bagi kita yang telah begitu jauh rentangan waktunya dengan Yesus. Kita tidak ada pilihan lain, kecuali beriman secara inkarnatif. Beriman “walk the talk”, beriman ala ban kendaraan yang baru bisa dikatakan berfungsi kalau bergesek dengan aspal. Dengan cara ini, baru kita bisa bersama Petrus: “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal; dan kami telah percaya dan tahu, bahwa Engkau adalah Yang Kudus dari Allah” (67-69). (***)
*)Penulis adalah Parokus St Bernadeth Pangkalpinang dan Ketua Komisi Kitab Suci Keuskupan Pangkalpinang