oleh : Dr. Estela
Diambil dari Buku Kenangan 25 Tahun Uskup Hilarius Moa Nurak, SVD
Narasumber dalam sinode II ini, rupanya takjub ketika pertama kali melihat seorang Uskup menjadi murid dalam sebuah kursus pastoral. Dan uskup itu adalah Mgr Hila. Sejak itu, Stella memahami, guru artinya sosok yang menjadi pelajar pertama. Berikut testimoninya tentang Bishop of Sea.
Saya bertemu Uskup Hilarius hanya dua kali. Tetapi sepintas, sosok Gembala ini menghadirkan kesan positif sebagai pemimpin gereja di zaman ini. Terutama, karena ia komit dan antusias mencari cara baru menggeraja. Upaya seperti ini perlu, supaya cara hidup menggereja tetaplah relevan dengan keadaan dunia yang berubah begitu cepat.
Pertama kali kami bertemu, sudah lama. Sekitar 20 tahun yang lalu. Ini berarti, tatkala beliau baru memulai pelayannya sebagai uskup. Ketika itu, saya juga ikut kursus pastoral Alkitab di pengunungan utara Filipina. Kursus ini pada dasarnya dikhususkan untuk Filipina. Jujur, aku kaget melihat seorang uskup Indonesia saat itu. Selain kaget, juga menakjubkan. Sebab, saya jarang melihat uskup dalam kursus pastoral. Lebih sering, saya melihat imam dan kaum religius. Juga banyak orang awam, tetapi tidak ada uskup.
Karena menurutku, salah satu tugas utama mereka sebagai uskup adalah menjadi guru gereja. Justru karena itu, saya selalu melihat para Uskup lain, sebagai pembicara dalam konferensi dan kursus. Bukan sebagai peserta atau siswa. Tapi mungkin untuk Uskup Hilarius, menjadi guru artinya menjadi pelajar pertama.
Menjadi seorang pelajar adalah cara yang paling sederhana dan efektif untuk menjadi guru. Sebab bagi siapapun juga tidak mungkin memberikan apa yang tidak ia miliki. Jika direnungkan lagi, benar juga jika saat itu Uskup tidak datang sendirian. Ada beberapa orang dengannya.
Bagi saya, ia tidak hanya belajar, tapi ia belajar bersama dengan umat-Nya. Karena belajar untuk partisipatif, tidak hanya satu orang yang bisa berkata ia sendiri yang tahu jawabanya. Walaupun ia adalah Uskup. Komunio nya dengan rekan belajar pada awal pelayananya sebagai uskup mengisyaratkan wujud keunikan yang bisa di definisikan sebagai keteladanan gaya baru dari pelayanan seorang Uskup
Lantas, saya mendefenisikan palayanan Uskup ini sebagai proses belajar mengajar sebagai guru dan muridnya di Gereja local Keuskupan Pangkal Pinang. Dan hal ini sesuai dengan semangat Evangelii Nuntiandi (EN). Sebab EN mendefinisikan guru sebagai saksi. Artinya, guru tidak member kesaksian dengan pengetahuan yang luas, tetapi karena iman mereka kepada Tuhan, ia tinggal dan berkomunio di antara umat-Nya.
Kembali ke tema perjumpaan saya dengan Uskup ini.
Kali kedua, saya bertemu Uskup tahun lalu di Pangkal Pinang ketika saya diundang untuk menfasilitasi dan memberikan ceramah dalam Sinode kedua mereka. Mengundang seseorang dari laur untuk memfasilitasi pembelajaran di lingkungan umatnya sendiri, terutama dalam acara penetapan arah dalam sebuah sinode, menunjukkan karakter lain dari seorang Uskup. Tak pelak, ia hadir sebagai guru dan pemimpin. Tetapi dalam kesenyawaan dengan ke uskupannya, sosok ini tidak hanya tampak berkarakter sebagai guru, tetapi juga peserta didik. Bagi saya,itu menunjukkan keterbukaannya untuk mendengarkan ‘orang luar’ yang dapat membawa perspektif baru, yang berbeda dengan orang dalam.
Perspektif pihak lain dan guru dari luar, mungkin bukan satu-satunya input terbaik, tapi bisa memberikan cara lain untuk melihat profile diri sendiri. Belajar melalui berdialog dengan cara pandang lain, adalah cara lain merendahkan diri, tapi jelas memperkaya karena yang dicari adalah kebijaksanaan. Keterbukaan dan dialog dengan dunia, amat tegas terbaca dalam Gaudium et Spes (GS).
GS ini mendorong para peminpin gereja untuk lebih efektif melayani dunia modern yang begitu menantang gereja. Saya berharap Uskup sayang tahun lagi palayanan yang efektif sebagai guru pemimpin di keuskupan anda. Semoga Tuhan memberkatinya dengan kebijaksanaan dan kejernihan pikiran lebih dekat kepada hati Kristus!***