Kamis Prapaskah III, Tahun C/II: Bacaan pertama Yeremia 7: 23-28, Inilah bangsa yang tidak mau mendengarkan suara Tuhan; Mazmur 95:1-2.6-7.8-9, Pada hari ini, kalau kamu mendengar suara-Nya, janganlah bertegar hati; Bacaan Injil Lukas 11: 14-23, Siapa tidak bersama aku, ia melawan Aku.
Berliturgi Namun Jangan Melupakan Jiwa Liturgi
Oleh: Bapak Fransiskus Andi Krishatmadi*)
Selamat pagi saudaraku tercinta,
Dalam Bacaan I (Yer. 7:23-28) melalui nabi Yeremia, Allah mengingatkan umat-Nya (Israel): ”Dengarkanlah suara-Ku, maka Aku akan menjadi Allahmu dan kamu akan menjadi umat-Ku, dan ikutilah seluruh jalan yang Kuperintahkan kepadamu, supaya kamu berbahagia!.” Sayangnya umat (bangsa Israel) tidak mau mendengar dan taat pada firman Tuhan. Mereka begitu keras kepala. Bukannya maju mengarah pada berkat, mereka malah mundur dan mengarah pada kutuk.
Dalam Injil (Luk. 11: 14 – 23), kuasa Yesus mengusir setan ternyata selain membuat orang kagum, ada juga yang dengan sinis berkata, “Ia mengusir setan dengan kuasa Beelzebul, penghulu setan!” Mendengar “tuduhan” itu, Yesus mengingatkan bahwa terusirnya kuasa setan atas diri sesorang merupakan tanda bahwa Kerajaan Allah sudah hadir/datang, dan sekaligus menunjukkan bahwa Kerajaan Allah jauh lebih kuat dan solid daripada kerajaan setan. Bahkan tuduhan itu dinilai Yesus menunjukkan bahwa kerajaan setan tidak punya kekuatan, karena terpecah-pecah akibat saling berebut kuasa.
Bagaimana dengan kita? Firman Tuhan kepada Yeremia merupakan peringatan keras bagi kita. Bahwa kita jangan fokus pada terpenuhinya hukum / aturan seperti aturan persembahan / ibadah, tetapi melupakan jiwa dari hukum itu yaitu menaati hukum bukan karena hukum melainkan karena Allah. Sehingga ritual ibadah yang kita lakukan bukan lagi sebagai bentuk ketaatan kita pada aturan yang sudah baku. Mestinya sebagai ungkapan syukur karena boleh menyapa dan menyembah Allah. Bahkan sebagai ungkapan kerinduan kita untuk berjumpa dengan Allah.
Persoalannya, kita sering tidak menyadari apa makna norma-norma liturgi yang sudah ditetapkan. Akibatnya: ada yang merasa liturgi membatas kreatifitas dirinya, membatas gerak dan partisipasinya, dan ujung-ujungnya menuduh liturgi kita kering, kaku, dan membosankan. Kita berliturgi namun melupakan jiwa liturgi itu sendiri yakni Liturgi itu tindakan suka cita Allah. Tindakan suka cita karena Ia menyelamatkan umat-Nya melalui dan di dalam kurban Kristus Putera-Nya.
Jadi liturgi bukan tindakan kita. Dalam liturgi kita berstatus undangan. Kita diundang oleh Allah untuk ikut terlibat (dilibatkan). Ada yang menjadi panitia (petugas liturgi) ada yang menjadi tamu (umat). Sebagai tamu kita justru dimuliakan oleh Allah karena kita dilayani dan dijamu oleh Allah. Maka seharusnya kita bersyukur. Maka puncak Liturgi adalah perayaan ekaristis, pesta syukur yang agung (Doa Syukur Aung). Kita sering tidak cukup rendah hati untuk mengakui kuasa Allah (tuan pesta), sehingga kita sering hadir tanpa pakaian pesta (bdk. Mat. 22:11 atau 1Kor. 11:27).
Masa prapaskah adalah masa bagi kita untuk melihat kembali bagaimana kita merayakan ibadah (liturgi) kita selama ini: apakah sungguh sudah menjadi perayaan paskah Kristus (kemenangan Kristus atas dosa) dan paskah kita (Yesus membebaskan kita dari kuasa dosa)? Jika minggu yang akan datang kita merayakan minggu laetare (minggu sukacita), suka cita karena paskah sudah dekat, semoga juga menjadi tanda suka cita kita karena kita sungguh mengalami dibebaskan Yesus dari setan yang membisukan dan menulikan kita, bahwa Kerajaan Allah sungguh sudah hadir di tengah kita, bukan beelzebul. Semoga. Tuhan memberkati. ***
*). Guru Agama Katolik mengajar di Seminari Menengah Mario Jhon Boen Pangkalpinang