Oleh: Lucius Poya H., Pastor Keuskupan Pangkalpinang
Pada renungan edisi akhir pekan, Pekan Biasa XXV, Sabtu 25 September 2021 ini, Bacaan pertama diangkat dari : Zakaria 2:1-5.10-11a. Sedangkan Mazmur tanggapan terdaraskan dari Yeremia. 31: 10.11-12ab.13. Lantas, Bacaan Injilnya bersumberkan dari Injil Lukas, 9 : 43a-45. Topik yang diusung seperti tertera dalam judul, “Memperbaiki Cara Mendengar”
Merenung di penghujung ziarah bukan sekedar mensyukuri sebuah perjalanan yang telah memasuki garis finish. Justru merenung di akhir ziarah adalah moment meneropong jejak, sekaligus saat indah untuk merancang bagaimana melangkah maju menapaki babak kehidupan di rentang ziarah yang baru. Dan memang seperti itu, karena akhir ziarah adalah saat mengevaluasi yang telah lewat sekaligus merancang aksi di babak berikut.
Begitulah siklus hidup manusia. Ia homo viator; insan peziarah, kata St. Gregorius Agung. Ia terus berjalan dalam waktu, menapaki hari-hari hidup di dunia menuju puncak keabadian bersama Allah. Dan oleh karena itu, bagi insan kristiani, Sabda itu pelita dalam ziarah, cahaya dalam perjalanan.
Sabda itu kunci dalam menapaki ziarah, karena dunia bukan tujuan akhir hidup manusia. Dunia hanyalah tempat lintas dalam ziarah menuju titik finish yang disiapkan Tuhan. Itulah sebabnya, bagi seorang kristiani, memaknai hidup dari hari ke hari, dari pekan ke pekan, di bawah tuntunan Sabda Allah, haruslah merupakan sebuah tuntutan spiritual; sebuah keutamaan dalam ziarah.
Pentingnya memaknai hidup, dalam terang perkataan Tuhan itu, karena selepas sabda effata (terbukalah) yang dikumandangkan Yesus sambil menarik nafas, di Dekapolis (sebagaimana dilansir Injil saat membuka Bulan Kitab Suci); injil memperlihatkan kisah yang justru menyingkapkan ketertutupan para murid atas Sabda Allah, entah itu di Kaiserea Filipi (sebagaimana diloansir Minggu II Bulan Kitrab Suci) maupun di Kapernaum setelah turun dari gunung (sebagaimana dilansir dalam Minggu III Bulan Kitab Suci, pekan ke XXV).
Menakjubkan bahwa perkataan Tuhan yang dikumandangkan, baik di Kaiserea Filipi, maupun di Kapernaum, itu dinyatakan khusus kepada orang-orang yang telah mengenal baik Yesus, karena menyangkut inti perutusan-Nya oleh Bapa, yakni menyelamatkan manusia dari dosa, dalam penderitaan, wafat, dan kebangkitan-Nya, sebagaimana dilansir injil hari Minggu saat mengawali ziarah pekan ke XXV, Jumat kemarin maupun di akhir pekan hari ini. Sebab memang penderitaan, wafat, dan kebangkitan Kristus itulah sumber, pusat, dan puncak keselamatan. Pada misteri yang tersingkap di salib itulah menjadi nyata pernyataan Gabriel kepada Maria, Kristus itu Penyelamat manusia dari dosa.
Sayang, ketertutupan telinga, hati, dan budi dari para murid terhadap inti injil itu, kendati mereka telah mengenal Yesus, ternyata berpengaruh besar dalam ziarah kemuridan mereka. Mereka mengikuti Yesus, namun berjalan di jalannya sendiri. Mereka mengenal Yesus, tetapi diperalat iblis. Tuhan meminta untuk menjadi pelayan, namun yang mereka kejar adalah jabatan dan tuan, sibuk berkelahi merebut posisi, berjuang menggantang kuasa untuk meraih jabatan. Begitu ambisus, sampai Yesus harus menempatkan seorang anak kecil di tengah mereka sebagai contoh.
Ketertutupan telinga, hati, dan budi terhadap Yesus, dengan segala warna buram dalam proses kemuridan, itu membuat Yesus menasehati para murid-Nya, agar memperbaiki cara mendengar supaya sanggup bercahaya, sebagaimana dilansir hari Senin. Ternyata memancarkan cahaya kesaksian sebagai murid dimulai dari telinga dan bukan mata.
Matius Pemungut cukai adalah salah satu bukti konkret betapa mendengar Tuhan itu mengubah seseorang. Ia memang bukan orang saleh. Masa lalunya kelam. Di kalangan kaum Farisi dan ahli Taurat, ia telah diberi stigma sebagai pendosa. Namun kemampuannya membuka hati, budi, dan telinga mendengar perkataan Yesus, mengubah hidupnya. Hanya dengan mendengar Sabda “Mari ikutlah Aku”, ia segera bangkit, meninggalkan hidup yang lama dan menempuh hidup yang baru. Ia tak lagi menjadikan meja cukai sebagai sandaran hidup. Ia menenun hidup dalam komunio dengan Kristus, sebagaimana dilansir hari Selasa. Hal yang sama tampak dalam sosok Herodes. Ia seorang begal, perebut istri orang. Namun kemampuannya mendengar tentang Yesus telah mengubah hati dan pikirannya. Ia berusaha menjumpai Tuhan, sebagaimana dilansir hari Kamis.
Ya! Mengenal Yesus itu baik. Tetapi mendengar Yesus jauh lebih baik. Sekedar mengenal tanpa mendengar Dia akan mengeroposkan kemuridan kita, bahkan akan memuluskan iblis untuk memperalat kita. Mengenal tanpa mendengar hanya akan membentuk karakter sebagai orang-orang kristiani yang sekedar memanfaatkan Yesus demi pemenuhan nafsu egoistis.
Sebaliknya, mengenal Yesus untuk mendengar Dia; itulah tujuan membangun kemuridan Yesus, karena membentuk seseorang untuk menata hidup yang baru, seperti Matius; dan menguatkannya untuk terus berjuang berjumpa dan berkomunio dengan Dia, sebagaimana semangat Herodes.
Hanya orang yang terbuka mendengar, ia akan memberi diri diutus untuk membawa Yesus, bersaksi tentang Dia, sebagaimana diminta Yesus hari Rabu. Dan untuk bisa membawa Yesus ke mana saja, untuk siapa saja; syarat pertama adalah masuk dalam misteri penderitaan, wafat, dan kebangkitan-Nya. Inilah misteri salib Ekaristi, yang dikumandangkan di awal, Jumat kemarian, dan di akhir pekan hari ini.
Oleh karena itu, walau Bulan Kitab Suci segera berakhir, namun keutamaan untuk mendengarkan Tuhan tetap berlanjut. Sekedar mengandalkan kehebatan karena sudah mengenal Yesus, tidak akan menolong. Sebaliknya memperbaiki cara kita mendengar Tuhan bisa mengubah kita.
Selamat berakhir pekan. Selamat memasuki pekan ziarah ke XXVI. Salam Komunio.