Home Participatory ChurchChristus Center Tata Cara Beragama yang Sehat, Renungan Minggu Biasa XXII

Tata Cara Beragama yang Sehat, Renungan Minggu Biasa XXII

by Stefan Kelen

Oleh: Martin da Silva, Pr

  Pada hari ini kita memasuki Minggu Biasa XXII yang merupakan Minggu terakhir di bulan Agustus. Artinya, bulan berikutnya, bulan September kita memperingati bulan Kitab Suci Nasional (BKSN) 2021. Dilatarbelakangi oleh situasi Pandemi Covid-19, BKSN 2021 menawarkan tema, “Yesus Sahabat Seperjalanan Kita”. Yesus menemani, menguatkan, dan membimbing kita ketika berhadapan dengan jalan terjal, badai yang dahsyat, dan kondisi padang gurun di masa-masa ini.

Sabda Tuhan pada Minggu Biasa XXII ini menegaskan kepada kita bahwa tata cara beragama hendak dijalankan dengan tulus. Secara khusus tata cara dalam ibadat. Tata cara ini harus dilaksanakan dengan ikhlas bukan penuh intrik, apalagi memutarbalikan demi mendapat puja-puji yang dangkal dan lebay. Konsekuensinya, segala jenis ibadat yang sifatnya lahiriah apapun bentuknya, tidak berkenan kepada Tuhan.

Ajakan ini meneror siapa pun yang cenderung memanfaatkan tata cara beragama untuk kepentingan yang banal. Seolah-olah paling toleran, inklusif dan terbuka namun sesungguhnya diskriminatif, eksklusif dan absurd.

Pertanyaannya, bagaimana ibadat yang berkenan kepada Tuhan?

Tidak Menambah dan Mengurangi

Sosok Musa dalam bacaan pertama (UI 4:1-2.6-8) ditampilkan sebagai pemimpin yang cepat mengambil keputusan ketika melihat Bangsa Israel tidak taat pada hukum (tata cara) Tuhan. Mereka cenderung mengabaikan, menambahkan, dan menguranginya sesuai selera, kepentingan dan kebutuhan. Perilaku Bangsa Israel ini saat mereka menempuh perjalanan masuk ke tanah terjanji (Tanah Kanaan). Kondisi ini mendorong Musa turun gunung menasehati mereka agar menjaga tata cara atau hukum Tuhan yang merupakan ciri khas Bangsa Israel. Padahal Musa tidak diperkenankan Tuhan masuk ke Kanaan.

Orang Kristen adalah Bangsa Israel yang baru. Setiap orang dianugerahkan sebagai pemimpin, sekurang-kurangnya memimpin diri sendiri. Situasi menuju tanah terjanji selalu berada di tengah kehidupan ini. Kiranya, setiap orang pekah dan tangkas mencermati kondisi yang tak menentu, tidak pasti, ambigu, absurd sehingga seperti Bangsa Pilihan Tuhan kembali berada di jalan Tuhan. Bagi siapa pun yang punya kecenderungan menambahkan dan mengurangi sesuatu yang tidak perlu dalam peribadatan, telah berhasil mewarisi cara hidup Bangsa Israel menuju tanah terjanji. Kembali diingatkan Musa untuk setia pada sesuatu yang sudah disepakati dan lakukanlah semua dengan tulus dan murni bukan hanya lahiriah saja.

Mengabdi Tuhan: Hati VS  Bibir  

Penginjil Markus (Mrk 7:1-8.14-15.21-23) menceritakan dengan detail konflik tajam, berat dan beresiko antara Yesus dan orang-orang Farisi tentang makan roti dan melayani Tuhan. Konflik  mengenai apa dan bagaimana makan yang baik dan benar seperti yang dilukiskan dalam Mrk 2:1-3:6, turut memicu orang-orang Farisi akhirnya bersekongkol membunuh Yesus.

Yesus dalam kisah ini tampil sebagai seorang Rabi Yahudi yang cerdik menanggapi tantangan orang-orang Farisi berkenaan dengan cara makan murid-murid, khususnya mempersiapkan makanan yang bagi mereka tidak sesuai dengan tata cara tradisional di antara mereka. Konflik ini terjadi karena orang-orang Farisi dan ahli Taurat menafsirkan ketetapan Tuhan hanya di bibir saja, “Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku”

Konflik tajam, pelik dan beresiko ini mendorong Yesus mengucapkan tata cara beriman yang tidak dibatasi ruang dan waktu. Yesus memaparkan bukannya apa atau bagaimana membuat seseorang najis atau bersih namun apa yang dari dalam pribadi seseorang yang membuat seseorang bersih dan kotor (Mrk 7:15). Sesuatu yang ada di luar seperti makanan yang dimakan orang, tidak membuat orang najis. Akan tetapi, tindakan seseorang yang brutal, diskriminatif,  dan ekstrim, diinspirasikan dari dalam hati, mengindikasikan seseorang hidup tidak sesuai dengan tata cara Tuhan (Mrk 7:17-23).

Melalui kisah konflik ini Yesus mengajarkan ibadat yang tulus bukan sekedar pujian dan permohonan receh dan lebay. Bila melaksanakan ibadat dengan tulus, tak perlu kuatir apa yang mengotori dan apa yang lebih dahulu disucikan. Maka, yang mengotori tentu batin yang tidak bersih. Apabila yang keluar itu hanya mengotori belaka, maka dapat disimpulkan bahwa kehidupan batin yang bersangkutan tidak beres.

Bagaimana dengan kita? Mari bercermin diri selama hidup bersama orang lain yang terarah kepada Sang Pencipta. Apakah mengabdi Allah dari hati  atau hanya di bibir (ketaatan semu kepada tradisi). Mengabdi dari hati dengan meleburkan diri sebagai pelaku firman sebagaimana ditegaskan dalam bacaan II (Yak 1:17-18.21b-22.27). Inilah buah dari ibadat yang berkenan pada Tuhan bukan ibadat bersumber dari tutur bibir menor dan candu.

Mari mengevaluasi diri, khususnya cara merefleksikan sabda Tuhan dan menghidupkannya secara konkret di masa-masa yang sulit ini. Sehingga, tidak berlebihan mengekspresikan diri sebagai orang beragama dan tidak dengan mudah menukas di luar agama norak, bego, busuk dan bengal. Kiranya ini bagian dari tata cara beragama yang sejuk dan sehat. Selamat Hari Minggu! (***)

Penulis adalah Imam Diosesan Pangkalpinang, bertugas sebagai staf Seminari John Boen Pangkalpinang

 

 

Related Articles

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.