Home Episkopal EKO PASTORAL: Sebuah pilar pemberdayaan KBG di Keuskupan Pangkalpinang

EKO PASTORAL: Sebuah pilar pemberdayaan KBG di Keuskupan Pangkalpinang

by admin

oleh RP. Aurelius Pati Soge, SVD

Dipresentasi pada hari studi para imam se Kevikepan Kepulauan Riau, 14 Agustus 2012.

SINODE Keuskupan Pangkalpinang 2010 yang lalu mengangkat masalah Lingkungan Hidup sebagai satu point penting dalam realitas eksternal pastoral yang kita hadapi. Pernyataan Sinode artikel 106-108 (Menuju Gereja Partisipatip, 2012: 57-58) mengangkat tema kerusakan lingkungan hidup sebagai buah dari pembangunan ekonomi yang mengabaikan aspek pemeliharaan lingkungan, terlihat jelas dalam bentuk kerusakan hutan, pencemaran air tanah, laut dan udara, menyusutnya persediaan air bersih dan sebagainya. Fakta lain ialah tidak adanya usaha serius untuk melakukan restorasi lingkungan, pendidikan masyrakat dan penegakan hukum yang sangat diperlukan berkaitan dengan masalah ini.

Menanggapi realitas ini, Keuskupan Pangkalpinang mengangkat tema ekologi menjadi satu persoalan yang perlu terus menerus disuarakan dalam pelayanan pastoral untuk mewujudkan spiritualitas keutuhan ciptaan mengingat alam semesta secara keseluruhan adalah perwujudan hakekat Tuhan. Untuk itu Keuskupan perlu mempromosikan eko-pastoral dan mengusakan kerja sama dengan pihak-pihak yang berkecimpung dalam bidang penyelamatan lingkungan hidup, serta membangun jejaring pastoral untuk memantau kerusakan ekologi mulai dari tingkat keuskupan hingga ke paroki-paroki. Untuk maksud inilah tema ini diangkat sebagai satu studi animatip bagi para imam petugas pastoral di Dekenat Utara.


1. Keprihatinan ekologis

Berbicara tentang kerusakan lingkungan, perhatian kita langsung mengarah ke eksplorasi sumber daya alam secara berlebihan dengan dalih demi pembangunan ekonomi bangsa. Konstitusi negara Indonesia (UUD 45 pasal 33) memberikan kewenangan kepada negara untuk menguasai sumber-sumber daya alam dan memanfaatkannya demi kesejahteraan masyarakat. Dalam praktek, negara sering mengalihkan hak pengelolaan ini ke tangan para pemegang modal sehingga terbentuklan badan-badan usaha swasta yang mengupayakan semua ini, tidak semata-mata demi kepentingan banyak orang tetapi terutama untuk menghasilkan keuntungan.Keuntungan yang diperoleh dalam eksplorasi alam tidak hanya menarik perhatian para usahawan lokal tetapi juga usahawan internasional. Didukung oleh agenda pasar bebas dan dominasi lembaga-lembaga moneter internasional, usaha-usaha lokal sering kali terpaksa membuka pintu dan merger dengan banyak korporasi interansional. Terjadilah perubahan kepemilikan dan pengalihan agenda usaha dari melayani kepentingan umum menjadi melayani kepentingan para pemilik modal.

Dominasi agenda pemilik modal ini sering berbenturan dengan kepentingan masyarakat. Demi pengembangan usaha misalnya, perusahaan-perusahaan sering menggusur masyarakat, mengabaikan hak-hak azasi manusia dan hak-hak ulayat masyarakat indigenous, merusak kohesi sosial budaya agama dan sebagainya. Eksplorasi sumber daya alam dengan cara ini seringkali disertai oleh pelecehan terhadap hak-hak azasi manusia. Karena itu dapatlah dikatakan, bahwa “jeritan alam yang terluka keutuhannya berjalan seiring dengan jeritan kaum terpinggirkan yang terabaikan hak-haknya.”

2. Tema aktual pastoral kita

EKSPLORASI alam yang secara singkat dideskripsikan di atas secara langsung maupun tak langsung berpengaruh terhadap penghayatan iman umat Kristiani. Tuntutan hidup modern yang cenderung konsumtif dan instan membuat banyak orang Kristiani terjebak dalam dosa perusakan lingkungan tersebut. Dengan kata lain, umat Kristiani, entah secara sadar atau tidak, ikut terperangkap dalam pola hidup yang melayani agenda para pemilik modal transnasional yang jelas-jelas mengabaikan integritas alam dan manusia. Almahrum Paus Yohanes Paulus II, dalam pesannya untuk World Day for Peace, pada tanggal 1 Januari 1990, antara lain mengatakan, bahwa krisis ekologis adalah sebuah problema moral dan menjadi tanggung jawab setiap orang. Lebih lanjut ia menekankan, bahwa memelihara lingkungan hidup bukanlah sebuah pilihan sukarela melainkan sebuah kewajiban hakiki setiap orang Kristiani, baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota komunitas umat beriman dan warga masyarakat, karena mengabaikan pemeliharaan lingkungan hidup adalah bentuk konkrit mengabaikan Sang Pencipta dan rencana keselamatanNya yang pada akhirnya bermuara pada alienasi pribadi manusia.

Di kalangan umat Kristiani sendiri pun sesungguhnya ada perbedaan pandangan tentang pengelolaan lingkungan hidup. Ada pihak yang berusaha membangun kecerdasan iman dan moral yang memandang kekayaan alam ciptaan sebagai karunia Ilahi yang patut dihargai dan dipelihara. Yang lain secara manipulatip memanfaatkan pesan kitab suci (misalnya Kej 1:28) untuk menancapkan kekuasaan dan haknya untuk menggunakan ciptaan Tuhan demi memuaskan keinginannya. Menyadari peranan historis tradisi dan teologi Kristiani yang turut membentuk pola pikir Barat yang akhirnya melahirkan kapitalisme dengan segala dampak kerusakan ekologisnya, almahrum Paus Yohanes Paulus II menyerukan “pertobatan ekologis” (ecological conversion), menggali pesan-pesan biblis dan refleksi-refleksi teologi kontemporer untuk mengangkat isu-isu keadilan ekologis. Maret 2008, perusakan lingkungan hidup malah dikategorikan sebagai dosa berat (pecatum mortale). Melintas keluar dari Gereja, kerja sama sosial, ekumenis dan antar agama juga dianjurkan untuk menangani persoalan laten yang menyentuh semua lapisan masyarakat ini. Pendek kata, pengembangan teologi penciptaan sangat penting untuk bisa membangun kembali relasi yang benar antara manusia dan Tuhan serta antara manusia dan manusia yang ditunjang oleh implementasi praktis dalam kerja sama dengan semua pihak.

Situasi keuskupan kita yang berkembang menjadi sentra ekonomi – apalagi Batam menjadi bagian dari zona perdagangan bebas internasional – menempatkan kita dalam konteks pastoral ekologis yang unik. Kita tak hanya berhadapan dengan masalah -masalah kerusakan lingkungan sebagai buah dari pembangunan nasional tetapi juga agenda internasional lewat kehadiran korporasi-korporasi transnasional. Dalam konteks inilah kita coba memetakan kekuatan kita untuk mengupayakan sebuah animasi eko-pastoral yang memadai, pertama-tama internal umat kita, yang diperluas ke dalam dialog ekumene, inter-religius dan sosial.

3. Animasi Pastoral Ekologis

Pertama-tama, marilah kita melihat problema ekologi sebagai sebuah tantangan aktual penghayatan iman masa kini. Banyak tradisi suci Kristiani menempatkan penghormatan pada lingkungan sebagai sebuah kebajikan. St. Fransiskus Asisi, pelindung lingkungan hidup, dalam The Canticle of the Sun mengatakan:

Praise be my Lord for our brother the wind,
and for air and cloud, calms and all weather,
by which you uphold the life in all creatures.
Praise be my Lord for our sister water,
which is very serviceable to us,
and humble and precious and clean.

Kitab Suci kita mengajarkan keseimbangan antara ciptaan dan keadilan sosial, sebagaimana ditulis dalam Mazmur 146:6-9:

“Dia yang menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya;
yang tetap setia untuk selama-lamanya,
yang menegakkan keadilan untuk orang-orang yang diperas,
yang memberi roti kepada orang-orang yang lapar.
TUHAN membebaskan orang-orang yang terkurung,
TUHAN membuka mata orang-orang buta,
TUHAN menegakkan orang yang tertunduk,
TUHAN mengasihi orang-orang benar.
TUHAN menjaga orang-orang asing, anak yatim dan janda ditegakkan-Nya kembali,
tetapi jalan orang fasik dibengkokkan-Nya.”

Dari catatan tradisi dan biblis ini, untuk refleksi pastoral ini saya menganjurkan doa inti animasi pastoral ekologis yang perlu dikembangkan lebih jauh:

3.1. Mendorong pertobatan ekologis. Mazmur 146 ayat 6 menegaskan, bahwa Tuhan menjadikan langit dan bumi dan segala isinya dan tetap setia untuk selama-lamanya. Pernyataan ini merupakan gema langsung dari kisah penciptaan dari Kitab Kejadian bab satu. Kisah penciptaan itu diakhiri dengan pernyataan yang lugas tentang hakekat ciptaan, yakni Tuhan melihat segala ciptaanNya itu sungguh amat baik (Kej 1:31). Di sini terlihat satu keindahan universal yang bersumber dari hakekat Tuhan sendiri. Dan ketika manusia diserahi tugas untuk mengelola alam (Kej 1:28-29), ia diberi kuasa untuk memanfaatkan kekayaan alam untuk menunjang hidupnya, namun sejalan dengan itu, ia juga disadarkan, bahwa di bumi yang sama ini ia berbagi kehidupan dengan makluk-makluk lain, yakni hewan dan tumbuhan. Jika manusia menghormati Tuhan yang melihat seluruh ciptaanNya itu amat baik adanya, ia perlu menjaga citra Ilahi ini agar senantiasa berkenan di mata Tuhan, agar ciptaan itu tetap amat baik adanya. Karena itu, mendorong pertobatan ekologis memiliki dimensi ganda: (a) menjaga co-esksitensi kehidupan yang diciptakan Tuhan yakni manusia, hewan dan tumbuhan yang berbagi hidup dengan memanfaatkan sumber-sumber daya alam yang sama; dan (b) memelihara esensi atau citra manusia sebagai mahkota semua ciptaan yang dijadikan menurut rupa Tuhan sendiri. Siapakah Tuhan kita? Gambaran Mazmur 146 di atas menjabarkannya: Tuhan yang menjamin kehidupan dan keadilan bagi semua orang. Gambaran ini yang perlu diimplementasi manusia, jika masih menyimpang yang dibutuhkan adalah per-tobatan(conversion).

3.2. Mengupayakan keadilan ekologis. Untuk meningkatkan taraf kehidupan, manusia jelas harus mengolah sumber-sumber daya alam, namun ada perbedaan yang sangat tajam antara eksplorasi untuk meningkatkan taraf hidup dan eksplorasi untuk memenuhi keserakahan ekonomi pasar. Ketika kepentingan ekonomi pasar mengatasi kepentingan pemeliharaan taraf hidup sebagai manusia bermartabat, yang terjadi ialah eksploitasi secara berlebihan sumber-sumber daya alam. Di sini manusia sudah melawan keluhuran alam yang dimadahkan oleh Fransiskus Asisi di atas, yang menyebut angin sebagai saudara dan air sebagai saudari. Kedua-duanya dengan rendah hati dan ketulusan melayani kehidupan semua ciptaan. Sesungguhnya bertindak tidak adil kepada alam tidak semata-mata melecehkan ekosistem natural tetapi juga merendahkan hakekat manusia itu sendiri, karena manusia tidak lagi tampil sebagai citra Allah yang adil dan penuh kasih tetapi sebagai predator ekologis yang tidak mengenal ampun. Maka, mengupayakan keadilan ekologis tidak semata-mata bertujuan mengembalikan alam ke posisinya tetapi juga menempatkan manusia pada posisinya sebagai makluk Tuhan yang bermartabat. Sekali lagi, kisah penciptaan dan kehidupan di taman Eden pra kejatuhan manusia ke dalam dosa menggambarkan eco-justitia yang paling ideal. “Lalu TUHAN Allah membentuk dari tanah segala binatang hutan dan segala burung di udara. Dibawa-Nyalah semuanya kepada manusia itu untuk melihat, bagaimana ia menamainya; dan seperti nama yang diberikan manusia itu kepada tiap-tiap makhluk yang hidup, demikianlah nanti nama makhluk itu” (Kej 2:19)

4. Ekologi dan pemberdayaan KBG

Berbicara tentang pastoral ekologi tidak bisa terlepas dari pemberdayaan Komunitas Basis Gerejawi (KBG) sebagai cara hidup menggereja yang diadopsi oleh Keuskupan Pangkal-pinang. Maka eko-pastoral yang belum terlalu populer dan meluas ini perlu perlahan-lahan mulai diintegrasikan ke dalam kehidupan KBG.

Pada tingkatan ini, KBG-KBG kita jelas tidak berhadapan langsung dengan problematika teknis lingkungan hidup yang sangat kuat dipengaruhi oleh ekonomi pasar global yang kuat dikuasai oleh kaum pemilik modal. Akan tetapi dampak langsung dari sistem global ini di-alami oleh umat-umat sederhana di KBG. Maka, kendatipun pola pastoral ini bersikap internal dan lokal, wawasan global haruslah dibawa masuk ke lingkungan umat kita, untuk membangun suatu eco-awareness sehingga di tengah mereka berlangsung penyerapan nilai-nilai iman dan moral Kristiani di bidang ekologi. Untuk pertemuan ini kami menganjurkan beberapa bentuk konkrit yang perlu dikembangkan lebih lanjut.

4.1. Tanggapan kontemplatip asketik . Topik ekologi hendaknya di bawa ke dalam ranah pendalaman iman, seperti perayaan-perayaan liturgi, pendalaman iman, sharing Kitab Suci, katekese, dan pertemuan-pertemuan pastoral umat lainnya. Dengan membawa isu ekologi ke dalam ranah spiritual, umat diajak untuk merenungkan, memahami dan me-nempatkan diri pada posisi yang benar di tengah seluruh ciptaan. Ketika kesadaran diri berjalan dengan baik, pertobatan akan berlangsung dengan sendirinya, sehingga terjadi proses pemurnian suara hati. Di sini manusia menghantar dirinya menuju kondisi hati yang murni yang sanggup memandang wajah Allah. “Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah”, demikian kata Yesus dalam kotbah di bukit (Mat 5:8). Selain itu, kesadaran akan posisi dan hakekat diri membuat manusia dapat membeda-bedakan mana eksplorasi alam demi kebutuhan manusia dan mana eksploitasi alam demi keserakahan ekonomi pasar. Secara tidak langsung umat didorong untuk menjauh dari konsumerisme, narkotika, rekayasa genetika, aborsi, dan kejahatan-kejahatan sosial lain yang bertumbuh seiring dengan nilai-nilai instant modern. Tanggapan kontemplatip asketik ini boleh dikatakan sebagai dimensi ad-intra dari eko-pastoral yang kita sadari dan kita promosikan sebagai satu subyek pastoral aktual di Keuskupan kita.

4.2. Tanggapan profetis (kenabian) . Bagian terberat dan paling menantang dari eko-pastoral kita ialah tanggapan kenabian, ketika kita dituntut untuk menentang kelaliman dan keserakahan dunia yang memanipulasi sumber daya alam untuk memenuhi kesekarahan ekonomi pasar. Sebagaimana para nabi di jaman Perjanjian Lama, bahkan Yesus sendiri di jaman Perjanjian Baru, menyerukan keadilan dan siap menanggung segala konsekuensi dari seruan kenabian itu, Gereja masa kini pada umumnya dan ke-uskupan kita pada khususnya ditantang untuk menyerukan penghormatan pemulihan kepada martabat lingkungan hidup sebagai ciptaan Tuhan. Konsekuensi dari seruan ke-nabian ialah dilawan oleh dunia yang agendanya digugat. Maka kerygma di bidang ini mungkin membuka pintu kepada martyria gereja dalam skala yang paling praktis ketika ekonomi pasar dan perangkat-perangkat pendukungnya dengan cara langsung atau tidak langsung berusaha menyingkirkan gereja dari kehidupan masyarakat. Untuk itu konsolidasi umat perlu dimulai dari KBG-KBG kita.
  • Bersama umat kita perlu menyadari hak-hak atas alam yang diciptakan Tuhan untuk kebutuhan manusia. Penyadaran ini termasuk antara lain menolak produk-produk yang menggunakan teknologi rekayasa genetika, sistem kerja yang merendahkan martabat manusia, eksploitasi anak-anak dan perempuan, pengangkangan sumber-sumber alam dari komunitas masyarakat tradisional. Pengetahuan-pengetahuan dan kearifan lokal dalam bidang lingkungan hidup, obat-obatan, dan sebagainya perlu didata dan dijaga, sehingga tidak sampai dirampas oleh korporasi-korporasi inter-nasional yang sering merampoknya dengan mendaftarkan hak paten.
  • Melakukan proses edukasi ekologi mulai dari masa kanak-kanak dan konsisten diterapkan sebagai bagian dari penghayatan iman. Dengan merujuk pada keputusan Apostolic Penitentiary yang memasukan perusakan lingkungan hidup sebagai dosa berat, proses edukasi iman dan moral anak-anak – tanpa mengesampingkan kaum dewasa – dibingkai dalam kesadaran akan dosa dan rahmat. Tema ekologi juga dapat dibawa ke dalam pendalaman Kitab Suci, maka materi-materi sharing Kitab Suci dengan tema ekologi perlu disusun dan disebarkan secara teratur oleh pihak-pihak yang berkompeten. Demikian juga katekese khusus seperti APP, masa Adven dan sebagainya bisa menggunakan tema tersebut. Selain dimensi iman, proses edukasi ini juga diboyong ke dalam ranah ilmiah untuk meningkatkan kesadaran luas di tengah umat kita karena isu ekologi sudah menyentuh aspek biologi natural, sosiologi dan kebudayaan.
  • Mengangkat tema ekologi ke dalam ranah dialog multidimensional, seperti dialog ekumenis dan inter-religius dan dengan penganut-penganut ideologi sekular.Selain mencari kesamaan doktrin iman yang mempertemukan, tema ekologi juga dapat dibahas dalam dialog ekumenis dan antar agama, mengingat ekologi ini menyentuh semua orang. Maka ekologi bisa menjadi wahana yang mempertemukan berbagai kalangan yang mungkin bertentangan bahkan saling membenci dalam aspek kehidupan yang lain.
  • Membangun network baik lokal maupun global dengan aneka lembaga, baik religius maupun profan seperti LSM yang menaruh perhatian pada lingkungan hidup, dan bersama mereka menyuarakan isu-isu lingkungan hidup hingga ke tingkat mundial sehingga menjadi perhatian masyarakat global. Dengan itu ada kemungkinan lebih besar untuk menekan dan membatasi kepentingan modal yang terus menguliti bumi ini dari sumber-sumber daya alam. Untuk bidang ini, pendekatan ilmiah yang meng-korporasi aneka bidang kehidupan tak dapat diabaikan. Keuskupan perlu memiliki data base yang memadai tentang ekologi di wilayah keuskupan ini melalui studi ilmiah empiris dengan data-data yang valid, bukan sekedar asumsi-asumsi atau ceritera-ceritera lepas yang tak teruji validitasnya. Memiliki lembaga riset atau be-kerja sama dengan lembaga-lembaga riset yang lain merupakan satu unsur penting di bidang ini.


Harapan

Apa yang dikemukakan di sini hanya sekedar satu sharing iman untuk pertemuan pastoral di Dekenat Utara sebagai langkah animasi internal untuk menumbuhkan kesadaran baru tentang pentingnya memulai pastoral ekologi di tempat kita masing-masing. Para petugas pastoral hendaknya tidak bersikap indiferen tetapi memiliki kesadaran akan urgennya masalah ini dan paling kurang mulai memikirkan langkah-langkah apa yang akan diambil dalam rencana pastoral setempat.

Semoga sharing singkat ini menjadi pemicu untuk refleksi lebih lanjut di tingkat KBG, paroki dan keuskupan.

Sukajadi, 14 Agustus 2012
Pada Peringatan St. Maximilian Kolbe

source: http://www.svdbiblecentre.org/

Related Articles

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.