Jurnal Sabda Akhir Pekan, Sabtu 5 Maret 2022

by Alfons Liwun

Hari Sabtu Sesudah Rabu Abu

Bacaan pertama Yesaya 58: 9b-14, Apabila engkau menyerahkan kepada orang lapar apa yang kauinginkan sendiri, maka terangmu akan terbit dalam gelap; Mazmur 86: 1-2.3-4.5-6, Tunjukkanlah kepadaku jalan-Mu, ya Tuhan, supaya aku hidup menurut kebenaran-Mu; Bacaan Injil Lukas 5: 27-32, Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, tetapi orang berdosa, supaya mereka bertobaat.

Pra Paskah: Moment Memnbangun Spiritualitas Lewi

RD. Lucius Poya H., *)

Kisah panggilan Lewi hari ini menutup seluruh rangkaian penerimaan abu yang menjadi ritual pembuka untuk memulai ziarah Pra Paskah. Spirit kisah ini bukan terletak pada kemampuan Lewi meninggalkan dunia lama yang menghidupi sekaligus menghancurkannya, melainkan terletak pada sosok yang memanggil Lewi untuk mengikuti Dia; sosok  yang tak jijik dengan orang berdosa; sosok yang dekat dan berada bersama dengan kaum yang dianggap kotor dan najis. Sosok itu adalah Yesus.

Aku datang supaya mereka bertobat (foto:katolikku.com)

Yesus ini memanggil Lewi bukan pada saat pembaharuan diri di ruang pengakuan; bukan pula di saat sedang berjalan ke rumah ibadat. Ia memanggil Lewi di saat sang pemungut cukai ini berada di rumah cukai; rumah yang telah menghidupi dan mengotorinya; rumah yang telah membuatnya dibaptis oleh para farisi sebagai salah satu kaum pendosa. Dengan itu Lukas ingin menyampaikan bahwa  Yesus memanggil Lewi justru di saat Lewi sedang berdosa.

Panggilan kepada Lewi di rumah cukai itu ditutup oleh Lukas dengan sebuah panorama nan  indah, bahwa sosok Allah seperti inilah yang digandrungi kaum pendosa. Mereka tak segan datang untuk duduk makan bersama dengan-Nya. Sebagaimana dalam dunia medis, Yesus dialami sebagai dokter yang berwajah cerah, berhati lembut dan bertangan dingin, sehingga pasien dari mana saja mencari Dia dan datang kepada-Nya.

Kisah Lewi ini seakan merangkum semua kisah yang dimaklumkan dalam empat hari ziarah Pra Paskah. Ziarah yang dibuka dengan ritus pengurapan salib abu di dahi setiap pengikut Kristus itu sejatinya mengungkapkan kisah Lewi itu.  Urapan debu tanah, di satu sisi, memperlihatkan kerapuhan sekaligus menegaskan realita bahwa manusia tak bisa steril dari lilitan dosa; di sisi lain salib yang menandainya justru mengubah semua kondisi itu. Sebab salib merupakan perwujudan cinta Allah yang tak bertepi kepada semua manusia tanpa memandang muka. Salib menjadi magnet yang menarik semua insan debu tanah untuk didekatkan, disatukan dan diselamatkan oleh Kristus dalam paskah-Nya. Salib  menjadi tata hukum baru yang menghapus semua bentuk diskriminasi manusia, sehingga para pendosa dan pemungut cukai pun boleh duduk makan bersama dengan Tuhan.

Demi meraih keselamatan oleh salib bagi insan debu tanah itu, Yesus menawarkan beberapa keutamaan untuk dihayati sebagai upaya pengolahan spiritual.

Pertama, puasa, pantang, doa dan sedekah, karena pada salib memancarkan kenosis Allah, yakni pengosongan diri Kristus, ketergantungan penuh pada Bapa serentak solidaritas Allah kepada manusia yang tak sanggup menyelematkan diri sendiri, sebagaimana dilansir hari Rabu Abu.

Kedua, menyangkal diri, memikul salib dan mengikuti Tuhan, karena pada salib memancar pula ketidakpedulian Yesus pada diri-Nya sendiri demi kataatan pada Bapa dan keselamatan manusia, sebagaimana dilansir hari Kamis.

Ya! Salib menyatukan dua dunia; dunia Allah dengan kepenuhan keselamatan dan dunia manusia yang nihil rahmat. Demi kesatuan itu, lagi-lagi pengosongan diri dalam puasa ditegaskan Yesus hari Jumat kemarin. Sebab puasa bukan sekedar sebuah actus tidak makan dan tidak minum, melainkan sebuah pengosongan diri dari segala kenikmatan duniawi yang menjauhkan manusia dengan Allah demi menolongnya mendekatkan diri dengan Allah, meraih kembali kepenuhan rahmat yang menyelamatkan, yang bersumber  dari misteri salib Kristus.

Untuk meraih kepenuhan rahmat yang mengalir dari Paskah Tuhan itu, spiritualitas Lewi dibutuhkan di masa suci ini. Sebuah spiritualitas beralih dari rumah cukai ke rumah kediaman; dari kenyamanan duduk di meja cukai kepada keberanian berdiri dan meninggalkannya; dari kekenyangan yang diperoleh dari cuan cukai kepada perjamuan bersama Tuhan. Peralihan seperti ini tidaklah mudah;    butuh penyangkalan diri dan memikul salib. Selamat berakhir pekan. Selamat memasuki Pekan I Pra Paskah. ***

*). Imam Keuskupan Pngkalpinang, sedang mempersiapkan calon Paroki di Tanjung Uban, Paroki Tanjungpinang, Bintan Kepri

Related Articles

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.