Oleh: Atanasius Anlly
Fasilitator AsIPA-Paroki Maria Bunda Pembantu AbadiRedaktur BerkatNews.com
Pilihan Gereja lokal Keuskupan Pangkalpinang untuk membangun jati diri sebagai Gereja Partisipatif, membawa dampak yang luas dalam proses pendekatan pastoralnya.
Dengan Misi membangun KBG sebagai cara baru hidup mengereja (a new way of being church), memberikan konsekuensi bahwa semua umat Allah Gereja Keuskupan Pangkalpinang, baik klerus maupun awam, Lembaga hidup bakti, tua atau muda, laki dan wanita, harus menghayati secara sungguh-sungguh visi Gereja yang baru yakni ” Menjadi Gereja Partisipatif ”. Untuk Menjadi Gereja Partisipatif, maka pola pendekatan pastoral yang harus dibangun juga sungguh baru, sebab bila kita hidup dalam cara baru menggereja, tetapi masih menggunakan pola pendekatan pastoral cara lama, maka Gereja Partisipatif sebagaimana yang dimimpikan oleh Umat Allah Keuskupan Pangkalpinang tidak dapat terwujud dengan baik, sebagaimana anggur yang diisikan ke dalam kantong kulit yang tua, maka kantong itu akan koyak sehingga anggur itu terbuang dan kantong itupun hancur. Tetapi anggur yang baru disimpan orang dalam kantong yang baru pula, dan dengan demikian terpeliharalah kedua-duanya.” Matius 9:17).
Untuk itu diperlukan perubahan visi dan gaya kerja pastoral yang integral, yang menyentuh berbagai aspek antara lain:
- Subjek Pastoral
Peran awam sebagai rekan kerja pastoral harus terus menerus diberdayakan. Mereka harus diberi nutrisi iman yang benar agar awam dalam praktik hidupnya dapat mengenal identitas imannya dan siap menjadi agen-agen pastoral ditengah KBG. Awam tidak boleh lagi dilihat hanya sekedar objek pastoral atau kaki tangan hirarki, tetapi sungguh menjadi subjek atau pelaku pastoral dalam aneka reksa pastoral. Itu berarti pola pastoral “pastor sentris” harus sungguh direlatifisir” dan Pastor harus menempatkan diri sebagai fasilitator dan animator utama dalam proyek pastoral ini.
Pilihan pastoral pemberdayaan umat yang menjadi rekomendasi Sinode II Keuskupan Pangkalpinang adalah lokakarya AsIPA yang adalah program visioner Gereja-Gereja Asia yang diputuskan bersama para Bapa Gereja se-Asia di Bandung (FABC 1990), yang kemudian menjadi pilihan pastoral Keuskupan kita dalam membangun pemahaman identitas iman umat sebagai Gereja.
Pertanyaan yang kemudian muncul bila melihat realitas kita pasca Sinode adalah, apakah para Pastor secara mental siap melepaskan pelbagai “kekuasaan dan privilage” yang mereka miliki selama ini? dan mau merubah cara berpastoral sesuai tuntutan Sinode II, atau justru terus mempertahankan pola lama berpastoral demi sebuah status quo?
- Gaya kepemimpinan pastoral
Bila dalam pola pastoral yang lama, gaya pastoral lebih bersifat institusional dan cenderung bersifat otoriter, paternalistis, dari atas ke bawah (up-down), maka dalam cara baru hidup menggereja, gaya KBG lebih cenderung bersifat komunikasi iman dan dialogal partisipatif. Suatu gerakan pastoral dari akar rumput (Bottom up) dari antara kelompok basis (Bukan buah yang kasi makan akar, melainkan akar yang kasi makan buah, pernyataan pedagogis Alm. Mgr. Hilarius Moa Nurak,SVD).
Dari cara berpastoral yang mengunakan pola pembinaan massal yang mengutamakan jumlah besar (massa), beralih ke pola pastoral basis, yang mengutamakan daya guna dan hasil guna. Dari pola lama yang serba “koordinatif” dengan mentalitas pejabat atau priayi, ke pola lebih komunikatif yang merakyat, supportif dan inspiratif. Dari pola yang bersifat indoktrinasi demi mengejar produk sebanyak mungkin, ke pola partisipasi yang menekan proses dan keterlibatan aktif peserta.
- Dalam karya pewartaan
Dalam cara baru hidup mengereja, gaya pastoral yang sangat ditekankan adalah “proses menjadi Gereja”, dimana peran serta awam perlu mendapat perhatian serius melalui proses penyadaran yang mendalam. Disini peran imam sangatlah penting, Ia tidak terlalu menekankan rumusan-rumusan yang doktriner tetapi menbangun kesadaran beriman sesuai yang diharapkan dalam Pedoman Pastoral Keuskupan Pangkalpinang (MGP).
- Dalam bidang pengudusan
Dalam bidang pengudusan, kegiatan yang harus di bangun bersifat terpadu antara ibadat dan kehidupan nyata sehari-hari, antara rohani dan jasmani. Tidak bersifat dikotomis. Kekudusan dimaknai tidak hanya terpusatkan pada praktek-pratek kesalehan, tetapi juga menyentuh komitmen kepada sesama dan dunia, kontekstual dan nyata (Iman tanpa perbuatan pada hakekatnya mati ).
- Dalam bidang pembangunan sosial ekonomi
Pendekatan partisipatif mengandaikan Gereja harus berada bersama umat, dan untuk umat, merasakan segala suka dan kecemasan umat, berjuang bersama kaum papa. Sehingga melalui kehadirannya, Gereja mampu membuat umat menemukan lagi jati dirinya, harkat dan martabat dirinya, dan bangkit melawan ketertindasan serta menata ekonomi rumah tangganya melalui Credit Union, yang menjadi wadah menuju kesejahteraan hidup sebagaimana diharapkan dalam Sinode.
Pada titik ini Gereja berada dan hadir bukan untuk dirinya sendiri. Gereja hendaknya menjadi tanda dan sarana keselamatan bagi dunia. Dengan komitmen Gereja yang akan berusaha untuk membangun Kerajaan Allah di dunia ini, maka konsekwensi lain yang harus ikut berubah antara lain :
- Peranan pelayanan pastoral bergeser dari pola ”pastor sentris” berubah kepada kepentingan intern KBG, sebab di sanalah (KBG) karya misi Kristus itu diwartakan, dihayati dal diamalkan guna mengembangkan kemanusiaan yang utuh dan terpadu.
- Pengertian tentang pelayanan pastoral yang dulunya hanya bertolak dari sudut pandangan pemenuhan karya perutusan atau misi, kini harus berubah menjadi satu pilihan yang harus memihak dan terlibat langsung bersama umat, berjalam bersama mereka, dimana Imam sebagai gembala akan mengalami berbagai macam kesaksian kenabian, kritik, saran, konsientisasi dan rangsangan, yang adalah bagian dari proses bersama dalam pelayanan pastoral itu tersendiri. Nah, bila pada titik ini, Imam tidak siap dan merubah cara pastoralnya, maka akan terjadi gesekan-gesekan (konflik) pemahaman ditengah umat, yang notabene mulai memahami, menyadari dan berproses menuju a new way of being church.
- Kalau dalam Gereja yang sifatnya institusional melihat wilayah paroki yang luas sebagai wadah pastoralnya dengan perhatian utama pada stasi (pola lama), maka dalam cara baru hidup mengereja justru melihat Komunitas Basis Gerejani sebagai pusat kegiatan pastoralnya (KBG focus and locus pastoralis).
Semua persoalan dan pemahaman diatas sangatlah bisa kita realisasikan karena pada dasarnya Gereja Keuskupan Pangkalpinang telah memiliki dokumen hasil Sinode II (MGP) sebagai pedoman pastoral kita dalam membangun identitas iman di Keuskupan ini. Kita juga mempunyai Norma Komplementer Gereja Partisipatif (NKGP) yang menjamin proses pastoral kita berlandaskan ajaran iman yang benar. Kita juga mempuyai alat bantu pastoral yang mengarahkan kita untuk mencapai Visi-Misi-Spiritualitas iman kita yakni Cermin Pastoral dan Goal Setting.
Bila semua komponen pastoral dapat memiliki pemahaman yang sama dan mampu meredam rasa egois sempalan yang menggerogoti, maka proses ini akan berjalan secara baik, dantransformasi disegala segi bisa terjadi. Sebab dalam Proses pastoral ini menuntut supaya partisipasi umat KBG dilibatkan semaksimal mungkin. Mereka diturut menganalisa situasi, merefleksinya dari segi iman, bersama-sama menyusun rencana dan melaksanakannya. Bila semua elemen pastoral paham akan hal ini, maka suatu proses pemberdayaan seluruh umat menuju a new way of being church pasti akan terlaksana.