Sejak covid-19 merebak, para imam Keuskupan Pangkalpinang tidak pernah berkumpul seperti biasanya untuk acara pertemuan imam atau retret tahunan. Pada tahun ini, acara tahunan imam dimulai lagi dalam bentuk on going formation (OGF) atau bina lanjut, dan diorganisir oleh tim OGF keuskupan pangkalpinang. Ketuanya Romo Anton Moa Tolipung.
Demi praktisnya, acara ini dilakukan di kevikepan utara dan selatan. Para imam yang bekerja di Kepulauan Riau, kevikepan utara, bertemu pada tanggal 21 – 23 september 2021, bertempat di gedung serba guna Paroki Santo Petrus Lubuk Baja, Batam. Sedangkan para imam yang bekerja di Kepulauan Bangka Belitung, kevikepan selatan, akan bertemu pada oktober 2021.
Pertemuan di Batam mengambil tema: Persaudaraan imamat dan sukacita pelayanan.
Proses dalam pertemuan ini berbeda dari biasanya. Dulu prosesnya dimulai dari renungan, kemudian setiap imam memotivasi diri untuk menyesuaikan hidupnya dengan sabda Allah dan Ajaran Gereja yang direnungkan.
Tahun ini prosesnya dibalik. Setiap imam melihat pengalaman hidupnya sendiri, merenungkannya dengan bantuan ilmu sosiologi-antropologi, kemudian pengalaman itu diterangi oleh Sabda Allah dan Ajaran Gereja.
Pengalaman persaudaraan para imam keuskupan pangkalpinang dipotret melalui sebuah survei. Saya kebagian tugas memaparkan hasil survei itu. Hasil survei menunjukkan bahwa persaudaraan para imam belum mencapai persaudaraan yang sehat dan saling mendukung.
Relasi yang dangkal, kepentingan dan kepuasan diri (egoisme), komunikasi yang belum sampai mengenal secara mendalam satu sama lain, dan cerita negatif tentang saudara seimamat adalah beberapa variabel masalah persaudaraan imamat di keuskupan ini. Menariknya, mayoritas imam tetap optimis mampu bekerja sama meskipun berbeda latar belakang dan karakter kepribadian.
Beberapa variable masalah persaudaraan imamat di atas coba dibedah oleh Pater Aurel, SVD dari sudut pandang sosio-antropologis. Sejatinya, hal persaudaraan imamat dimulai dari kesadaran diri. Maksudnya, melalui refleksi diri, setiap imam mengenal dirinya sambil membuka diri terhadap masukan dari orang lain yang dapat dipercaya, bahkan dengan bantuan professional seperti psikolog. Tiga kata kunci untuk mengenal diri dengan baik: refleksi, sharing, dan konseling.
Dalam membangun persaudaraan diperlukan kecerdasan inter-kultural, kata Pater Aurel. Kecerdasan inter-kultural itu antara lain mudah didekati, mampu menerima perbedaan, berpikir positif, terus-terang, gigih dalam berjuang, penuh penghargaan, tidak kaku (fleksibel), percaya diri dalam pergaulan social. Keterampilan sosiso-kultural ini berguna bagi imam sendiri, bagi komunitas para imam dan bagi umat Allah.
Komunitas para imam tidak berada untuk dirinya sendiri, melainkan menjadi sarana untuk membangun nilai-nilai Kerajaan Allah. Oleh karena itu, imbuh Pater Aurel, nilai dasar yang harus dihayati para imam di keuskupan ini adalah mutual-respect (saling menghargai). Nilai “saling menghargai” mesti ditopang oleh tiga nilai penting: men for others (memberi diri – pengorbanan), men for community (membangun komunikasi yang baik), dan men for mission (membangun misi bersama).
Teman persaudaraan imamat juga ditilik dari sudut pandang Kitab Suci. Romo Ferdi MB mengutip Kitab Yosua 3: 1-17 dan Injil Lukas 5: 17-26. Dalam kisah Yosua, persaudaraan para imam diwujudkan dalam memikul bersama tabut perjanjian dan berdiri di tengah sungai Yordan untuk membendung air, sehingga umat Israel menyeberangi sungai di tanah yang kering. Dalam kisah Injil Lukas, para pengusung si lumpuh mencari segala macam cara agar si lumpuh memperoleh penyembuhan dari Yesus.
Para imam Keuskupan Pangkalpinang dapat belajar dari kedua kisah biblis ini. Mereka mengabaikan perbedaan di antara mereka, dan fokus pada tujuan bersama. Masing-masing dari antara mereka menghayati men for others, men for community, dan men for mission. Ada mutual-respect di sana. Presbyterorum Ordinis melukiskan persaudaraan imamat sebagai berikut: berkat tahbisan, yang menempatkan mereka pada tingkat imamat biasa, semua imam bersatu dalam persaudaraan sakramental yang erat sekali. Ya, persaudaraan sakramental mampu melampaui kerapuhan manusiawi.
Persaudaran yang dipaksakan, bukanlah persaudaraan. Itu semboyan dunia, kata Romo Ferdi MB. Bagi imam, semboyan ini tidak berlaku, karena persaudaraan harus memaksa kita melepaskan keegoan. Itulah salah satu bentuk pengorbanan (men for others).
Bapa Uskup juga memberi penegasan: persaudaraan imamat kita harus berkualitas, jangan sampai datar atau biasa saja, tanpa dinamika dan kemajuan. Ada 3 alasan mengapa kita mesti membangun persaudaraan yang berkualitas: pertama, sebagai makhluk yang memiliki keterbatasan, kita membutuhkan orang lain (makhluk social); kedua, kesaksian iman akan persekutuan Allah Tritunggal; ketiga, menjadi basis yang kuat untuk melaksanakan misi.
Pada penutupan retret dirayakan ulang tahun tahbisan episcopal Bapa Uskup dan ulang tahun tahbisan ke-24 Romo Kristianus Ratu, SVD. Perayaan misa dipimpin sendiri oleh Bapa Uskup dan didampingi Romo Kris dan Romo Samuel mewakili tim on going formation (OGF). (***)
Penulis : RD Aloys Angus