Solider dan Peduli sebagai Ungkapan dan Wujud Pertobatan Kita
Umat Keuskupan Pangkalpinang yang terkasih dalam Yesus Kristus, Semoga Tuhan memberimu damai! Semoga Pulau-pulau bersukacita!
Bersama dengan seluruh Gereja, pada hari Rabu 2 Maret 2022, kita akan memasuki masa Prapaskah. Masa Prapaskah adalah masa penuh rahmat, masa dan kesempatan bagi kita untuk membina relasi yang lebih dekat dengan Tuhan. Kita diingatkan untuk bertobat, mengubah arah hidup kita agar makin berpusat bukan pada diri sendiri melainkan kepada Allah dan sesama, terutama mereka yang menderita.
Pada tahun ini kita memasuki masa Prapaskah ketika kita sedang memusatkan perhatian pada tema ‘melaksanakan misi’. Kita ingin berpartisipasi dalam perwujudan karya keselamatan Allah; berpartisipasi dalam misi-perutusan Yesus Kristus untuk mewartakan kabar gembira, mewujudkan Kerajaan Allah. Kita ingin menjadi umat yang saling ‘solider dan peduli’ satu sama lain; menjadi pribadi yang memiliki sikap batin solider pada sesama dan mewujudkan sikap solider itu dalam kepedulian berupa tindakan-tindakan nyata menolong sesama, terutama mereka yang menderita.
Contoh tentang betapa buruk akibat yang ditimbulkan oleh sikap tidak peduli, kita temukan dalam kisah terkenal tentang Kain dan Habel. Setelah Kain memukul Habel, adiknya itu, lalu membunuh dia, Firman Tuhan datang kepada Kain: “Di mana Habel, adikmu itu?” Jawabnya: “Aku tidak tahu! Apakah aku penjaga adikku?” (Kej 4: 9). Jawaban Kain adalah ungkapan ketidakpedulian. Akibatnya sangat buruk. Terhadap kematian adiknya sendiri pun, Kain tidak peduli. Kain tidak menyadari, bahwa ia bertanggungjawab pada nasib adiknya. Dalam ensiklik Fratelli Tutti, Paus Fransiskus mengungkapkan keprihatinannya tentang hal ini. “Kita melihat bagaimana ketidakpedulian yang nyaman, dingin, dan mengglobal menjadi dominan” (FT 30).
Lebih jauh lagi Paus Fransiskus mengingatkan, bahwa sikap tidak peduli ini pun sering ditunjukkan oleh orang-orang beragama yang merasa diri saleh, seperti halnya ‘imam’ dan seorang ‘levi’ yang tidak peduli, tidak tergerak hatinya oleh belas kasihan ketika melihat seorang yang menderita karena dirampok. Mereka hanya melihat dan kemudian pergi, melewati dari seberang jalan (Luk 10:31.32). “Ini menunjukkan bahwa percaya kepada Allah dan menyembah-Nya tidak menjamin hidup sesuai dengan kehendak Allah. Seseorang yang beriman bisa tidak setia pada semua yang dituntut oleh imannya itu, namun mungkin merasa dekat dengan Allah dan merasa dirinya lebih pantas daripada yang lain” (FT 74).
Masa Pra-Paskah juga selalu kita maknai sebagai masa pertobatan. Berbagai ulah tapa berupa pantang dan puasa kita lakukan bukan demi pantang dan puasa itu sendiri, melainkan dalam rangka pertobatan (metanoia). Agar kita berubah dari orang yang berpusat dan memikirkan diri sendiri menjadi orang yang lebih terarah kepada Allah dan sesama, terutama mereka yang menderita. Agar kita berubah dari orang yang tidak peduli, acuh tak acuh menjadi orang yang makin peka, peduli dan tergerak oleh belas kasihan kepada sesama yang menderita. Kita dapat mencontoh orang Samaria yang baik hati itu (bdk. Luk 10: 33-35): melihat sesama yang menderita, tergerak hatinya oleh belas kasihan, pergi kepadanya, menyiraminya dengan minyak dan anggur, membalut luka-luka, menaikkan ke atas keledai sendiri, membawa ke tempat penginapan dan merawatnya, menyerahkan dua dinar kepada pemilik penginapan dan akan membayar bila masih kurang.
Kita bersyukur, bahwa selama masa pandemi ini kita boleh menyaksikan, mengalami atau juga terlibat melakukan berbagai bentuk tindakan nyata yang mengungkapkan sikap solider dan peduli. Sangat mengesankan, melihat dan mengalami betapa banyak orang melakukan tindakan-tindakan konkret untuk saling membantu, mengumpulkan dana, menolong mereka yang sakit dan menderita. Semoga itu semua mendorong kita untuk bersama-sama berkembang menjadi insan yang makin solider dan peduli. “Kita diciptakan untuk kepenuhan yang hanya dapat dicapai dalam kasih. Hidup acuh tak acuh terhadap penderitaan tidak dapat menjadi pilihan; kita tidak bisa. membiarkan seseorang tetap “hidup di pinggiran.” Ini harus membuat kita geram, hingga membuat kita keluar dari ketenangan kita karena terganggu oleh penderitaan manusia. Itulah martabat!” (FT 68).
Santo Yohanes Krisostomus mengungkapkan tantangan ini bagi umat Kristen dengan sangat jelas: “Apakah Anda benar-benar ingin menghormati tubuh Kristus? Jangan meremehkan-Nya saat Dia telanjang. Jangan menghormati-Nya di gereja dengan jubah sutra, sementara Anda membiarkan Dia di luar menderita kedinginan dan ketelanjangan” (FT 74).
Umat Keuskupan Pangkalpinang yang terkasih, saya ingin mengakhiri surat Gembala ini dengan menyampaikan keprihatinan, harapan dan seruan dari Paus Fransiskus mengenai situasi yang buruk di Ukraina. Beliau berkata demikian: “Saya ingin menghimbau kepada semua orang, baik yang beriman maupun yang tidak beriman. Yesus mengajarkan kepada kita bahwa kekerasan yang tak ada gunanya itu hendaknya dijawab dengan senjata Allah, dengan doa dan puasa. Saya mengundang semua orang untuk menjadikan 2 Maret ini, Rabu Abu, sebagai Hari Puasa Perdamaian. Saya mendorong orang beriman secara khusus untuk membaktikan diri secara intens kepada doa dan puasa pada hari itu. Semoga Ratu Perdamaian menjaga dunia dari kegilaan perang”.
Selamat memasuki masa Pra-Paskah. Tuhan memberkati!
Pangkalpinang, 2 Maret 2022 Mgr. Adrianus Sunarko ofm Uskup Keuskupan Pangkalpinang