By Pater Dr Andreas Atawolo, OFM
Apa dasar bagi Gereja Katolik untuk percaya bahwa Maria diangkat ke Surga dengan jiwa dan raganya?
Perawan Maria diangkat ke surga dengan jiwa dan raganya. Itulah salah satu Dogma tentang Bunda Maria yang diakui dalam iman Gereja Katolik Roma.
Dogma ini ditetapkan oleh Paus Pius XII pada 1 November 1950 dalam Konstitusi Apostolik yang disebut Munificentissimus Deus (MD). Baik Gereja Katolik Roma (Barat/Latin) maupun Katolik Ortodoks (Timur) merayakannya pada 15 Agustus.
Sebagaimana ciri ajaran dogmatis pada umumnya, tidak ada bukti ilmiah yang dapat menjelaskan secara logis dan memuaskan bagaimana mungkin Maria diangkat ke surga dengan jiwa dan raga. Tak ada pula teks PB yang secara eksplisit mengisahkan bahwa Maria diangkat ke surga.
Kitab Suci dan Legenda
Dasar teologis bagi orang Kristen untuk menerima dogma tersebut ialah refleksi biblis, kesaksian para Bapa Gereja dan legenda-legenda. Teks-teks Kitab Suci yang dibacakan pada perayaan liturgis Maria diangkat ke surga ialah Why 11: 19; 12: 1-6, 10, 1Kor 15: 20-26. Luk. 1: 39-56. Menurut Hilda Graef [Mary. A History Doctrine and Devotion, 21-24], teks Why 12 yang menampilkan penglihatan Yohanes akan seorang perempuan mulia di langit, menarik perhatian para penafsir karena di sana dilukiskan figur seorang perempuan anonim, yang oleh para Bapa Gereja dikaitkan dengan Maria atau figur Gereja. Teks ini memberi legitimasi biblis bagi ajaran dogmatis ini.
Lukisan Kitab Wahyu tentang seorang perempuan dan naga yang hendak menyerangnya diparalelkan dengan teks Kej 3: 15 perihal perempuan (Hawa) yang keturunannya akan bermusuhan dengan ular – simbol kuasa iblis. Maria adalah Hawa baru, perempuan yang dipilih Allah untuk melahirkan Penyelamat dunia.
Setelah Paskah Kristus kita tidak mendapat informasi dari sumber-sumber biblis atau sumber lain yang legitim tentang Maria: Ia tinggal di mana, dan bagaimana akhir hidupnya? Baru pada sekitar abad ke VII muncul banyak kesaksian tentang Maria, yang mengarah pada pertanyaan tentang saat-saat akhir hidup Maria di dunia.
Perlu diketahui bahwa kesaksian-kesaksian tersebut merujuk kembali pada legenda-legenda yang muncul sejak awal abad ke II. Ada kesaksian yang mengatakan bahwa Maria mengakhiri hidupnya di Yerusalem, di sebuah rumah, di mana terdapat ‘ruang atas’ tempat Yesus telah mengadakan Perjamuan Akhir bersama para murid-Nya sebelum Ia wafat. Kematian Maria diperkirakan terjadi sekitar satu tahun setelah kebangkitan Yesus (mungkin sekitar tahun 34).
Ada hipotesis bahwa Maria tidak benar-benar mati, namun hanya tertidur dalam sebuah mimpi yang mendalam. Karena itu di Gereja Timur, dogma Maria diangkat ke surga dikaitkan dengan tertidurnya Perawan Maria (Dormitio Mariae) dalam sebuah istirahat panjang menjelang diangkat ke surga. Dalam perkembangan penafisrikan, paham Dormitio Mariae kurang diterima di kalangan Gereja Katolik Roma karena lebih meyakini bahwa Maria juga mengalami kematian seperti dialami manusia. Meski demikian Gereja meyakini bahwa kematian fisik Maria itu bukan sebagai hukuman akibat dosa (Maria bebas dari dosa asal), melainkan sebuah peralihan dari dunia menuju sukacita abadi.
Digambarkan bahwa menjelang kematian Maria, Malaikat Gabriel mendatanginya, membawa kabar gembira bahwa ia akan segera berjumpa dengan Putranya. Setelah kematiannya ia dibawa oleh para rasul dalam sebuah prosesi menuju wilayah sekitar lembah Kedron. Dikisahkan bahwa setelah tiga hari, Yesus datang mengambil tubuh Maria, membawanya ke surga, diiringi para rasul dan malaikat surgawi. Dari kisah-kisah legenda inilah kemudian muncul berbagai bentuk devosi kepada Maria.
Munificentissimus Deus
Dalam pernyataan Munificentissimus Deus tersebut, Paus mengatakan antara lain demikian:
“Oleh karena itu, setelah mengunjukkan permohonan kepada Tuhan, dan memohon terang Roh Kebenaran, demi kemuliaan Allah Yang Mahakuasa, yang mencurahkan kepada Maria perawan kebajikan yang istimewa untuk menghormati Putranya, Raja segala abad dan pemenang atas dosa dan maut, demi kemuliaan yang besar dari ibu-Nya yang luhur dan demi sukacita dan kegembiraan seluruh Gereja, dengan kuasa Tuhan kita Yesus Kristus, para Rasul kudus Petrus dan Paulus dan otoritas Kami, Kami mengumumkan, menyatakan, dan menetapkan sebagai dogma yang diwahyukan Allah, yaitu bahwa Bunda Allah yang tak bernoda, yang selalu perawan Maria, setelah menyelesaikan perjalanan hidupanya di dunia, diangkat ke dalam kemuliaan surgawi dengan tubuh dan jiwanya” (MD 44).
Contoh Kesaksian Bapak Gereja
Salah satu kesaksian kuno tentang pengangkatan Maria datang dari Santo Gregorius dari Tours (538-594) dalam De gloria beatorum Martyrum [4]. Ia menulis demikian:
“Akhirnya, ketika Perawan Yang Terberkati akan menyelesaikan perjalanan hidupnya di bumi, menjelang saat ia dipanggil dari dunia ini, berkumpullah di rumahnya semua Rasul yang datang dari berbagai daerah yang berbeda. Ketika mereka mendengar bahwa dia akan meninggalkan dunia, mereka berjaga bersama dengannya. Ketika itu juga datanglah Tuhan Yesus disertai malaikat-malaikat-Nya, mengambil jiwanya lalu memberikannya kepada malaikat Agung Mikhael dan pergi. Pada waktu subuh para Rasul membaringkan tubuhnya, lalu meletakkannya di di atas sebuah kubur dan menjaganya, sambil menanti kedatangan Tuhan. Maka Tuhan menampakkan diri-Nya sekali lagi kepada mereka, mengambil tubuh suci dan memerintahkan agar tubuhnya dibawa dengan iringan awan-awan menuju Firdaus, di mana jiwanya diangkat, mulia bersama para pilihan, masuk dalam hidup kekal yang tak akan berakhir” (Gagliardi, La Verità è Sintetica, 475).
Kesaksikan lain datang dari Yohanes Damaskus (†749) dalam Encomium in Dormitionem Dei Genitricis Semperque Virginis Mariae [II, 14]. Ia menulis demikian:
“Niscaya bahwa dia yang ketika melahirkan tetap menjaga keperawanannya, juga menjaga tubuhnya dari ketercelaan apa pun pada saat kematiannya. Niscaya bahwa dia yang telah mengandung dalam rahimnya Sang Penebus yang menjadi bayi, tinggal dalam tabut suci.
Niscaya bahwa pengantin Allah Bapa tinggal di langit surgawi. Niscaya bahwa dia yang telah melihat Putranya di salib, ibarat menerima pedang yang menusuk, yang telah melahirkan Dia, namun tetap murni, sekarang memandang Dia duduk di sebelah kanan Allah Bapa. Niscaya bahwa Ibu Tuhan turut mengalami apa yang dialami Putra, dan hendaknya segenap ciptaan memuji-nya sebagai Ibu dan Hamba Allah” (Gagliardi, La Verità è Sintetica, 474-5).
Deskripsi di atas memperlihatkan bahwa Dogma Maria diangkat ke surga dengan jiwa dan raganya dirumuskan bukan secara tiba-tiba melainkan didasarkan pada kesaksian-kesaksian awal dari para Bapak Gereja serta bentuk-bentuk kesalehan yang hidup dalam penghayatan komunitas-komunitas Gereja awal.
Perayaan tersebut merupakan antisipasi kebangkitan badan bagi segenap umat manusia pada pengadilan akhir. Katolik Ortodoks menyebutnya sebagai perayaan “tidurnya Maria” (Dormitio Mariae). Gereja Roma menyebutnya perayaan “Maria diangkat ke Surga”. Kedua sebutan itu sama-sama menekankan keyakinan bahwa Maria diangkat ke surga dengan segenap tubuh dan jiwanya. Pada Maria tidak terjadi pemisahan antara tubuh dan jiwa sebagaimana diyakini dalam aliran dualisme Filsafat Yunani Kuno. Kematian Maria dimengerti sebagai peralihan (transitus, passing) dengan sukacita dari dunia menuju hidup baru.
Dimensi Kristologi
Poin fundamental refleksi dogma Maria diangkat ke surga ialah sudut pandang kristologisnya. Maksudnya pemahaman akan peran Maria tidak bisa dilepas dari peran Yesus Kristus dalam sejarah keselamatan. Dalam hal ini dogma Maria diangkat ke surga terkait erat dengan Dogma Maria dikandung Tanpa Noda yang diumumkan oleh Paus Pius IX pada 8 Desember 1854.
Maria yang telah mengalami penebusan secara istimewa sehingga terlindung (dicegah) dari dosa asal, kini diangkat ke surga dengan segenap jiwa dan raganya.
Keyakinan bahwa Maria dikandung tanpa noda dan Maria diangkat ke surga tidak dapat dipahami tanpa menempatkannya dalam peran Yesus sebagai Penyelamat umat manusia. Pendek kata, Mariologi dan Kristologi adalah dua hal yang terkait erat. Gagasan seperti ini dikemukakan oleh seorang teolog Fransiskan di Abad Pertengahan, Yohanes Duns Scotus (1266-1308), yang digelari Doctor Marianus lantaran pembelaanya yang kuat akan dogma Maria Imakulata.
Dalam pandangan Scotus, Maria diselamatkan oleh jasa Yesus Kristus, dan karena itu ia terlindung atau tercegah dari dosa asal. Oleh karena jasa Yesus Kristus, ia dianugerahi rahmat penyucian. Lebih besarlah rahmat bagi seseorang yang dicegah dari dosa dari pada bagi seseorang yang telah berdosa dan kemudian dipulihkan: “lebih luhur lah jasa melindungi seseorang dari kuasa dosa, dari pada membiarkannya jatuh dalam dosa, lalu memulihkannya” (Ordin. 3. d. 3, q. 1 dalam Nieuwenhove, An introduction to Medieval Theology, 245).
Pandangan Scotus kiranya menegaskan bahwa rahmat Allah yang diterima Maria menjadi kabar sukacita akan jaminan keselamatan yang terpenuhi dalam Yesus Kristus, gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan; Dia yang ada terlebihdahulu dari segala sesuatu dan segala sesuatu ada di dalam Dia” (Kol 1: 15,17). [Ord., III dalam P. Ruggero Rosini OFM, Il Cristocentrismo di Giovanni Duns Scoto, 34].
Maria dan Harapan Kristiani
Akhirnya penting untuk digarisbawahi bahwa dogma Maria diangkat ke surga bukan semata-mata doktrin untuk menghormati Maria. Dogma tersebut hendak menunjukkan juga bahwa Maria adalah anggota Gereja yang pertama yang diangkat ke surga. Maria adalah model iman kita: Jika kita hidup setia melakukan perintah Allah dan bersatu dengan Kristus, seperti Bunda Maria, jiwa dan raga kita pun pada akhir zaman nanti akan dibarui secara utuh. Perayaan Maria diangkat ke surga merupakan perayaan harapan dan sukacita bagi para pengikut Kristus. Seperti Maria yang dibarui jiwa dan raganya, demikian pula kita pun boleh berharap akan sukacita paripurna dalam Kristus.
Sebab, “seperti semua orang mati dalam persekutuan dengan Adam, demikian pula semua orang akan dihidupkan kembali dalam persekutuan dengan Kristus” (1 Kor 15: 22). (***)
*)Pater Dr Andreas Atawolo OFM adalah dosen Teologi di STF Driyakara