BAGIAN KETIGA
(selesai)
CATATAN KRITIS TERHADAP NGKP TENTANG STRUKUTUR ATAU ORGAN PARTISIPATIF
Setelah menyimak Anggaran Dasar DPP Tahun 2001 dan Norma’Norma Komplementer Gereja Partisipatif pada Bagian I dan Bagian II, pada bagian III ini kita coba memberi satu dua catatan kritis atas NKGP yang mengatur tentang Struktur dan Organ Partisipatif.
- Dua Kelompok Organ Partisipatif
Pedoman NKGP, memberi kepada kita suatu pemahaman baru mengenai Organ Partisipatif. Pada Bagian Pertama, kita menyebutkan bahwa dalam Kitab Hukum Kanonik 1983, istilah Organ Partisipatif dikenakan pada semua Organ Konsultatif. Di Paroki, Organ itu adalah: DPP dan DPHBG.
Sedangkan norma NKGP – berdasarkan Visi-Misinya, Gereja Partisipatif, Communion of communities, Komunitas Basis Gerejani – mempersembahkan dua grup atau kelompok struktur/organ di mana comunio, partispasi, koordinasi, kerjasama dan tanggungjawab seluruh umat Allah diungkapkan:
- Kelompok pertama, organ atau struktur partisipatif dengan fungsi eksekusi-operatif, yang memiliki tugas utama mengorganisir pelaksanaan aktivitas-aktivitas pastoral yang sudah ditetapkan secara organis ; dan
- Kelompok kedua, struktur atau organ konsultatif, yang fungsinya terletak dalam memikirkan mengusulkan sampai pada membuat keputusan mengenai hal-hal yang telah ditetapkan dalam NGKP.
Yang masuk dalam kelompok pertama: Pastor Paroki, Pastor Pembantu, Sekretaris Paroki, bendahara Paroki, Komunitas Basis Gerejani, dan PIPA paroki. Sedangkan yang masuk dalam kelompok kedua adalah DPP dan DPHBP.
Dalam Norma Anggaran Dasar, kedua kelompok organ itu tergabung dalam satu organ saja, yaitu DPP. Dalam NKGP, kompetensi konsultatif dan eksekutif dipisahkan. Pemisahan kompetensi atau fungsi antara DPP-DPHBP di satu pihak dan PIPA, Sekretaris dan Bendahara Paroki, menolong kita untuk memperjelas ruang gerak operasional eksekutif dan fungsi “memberi usul, saran, pendapat” yang diungkapkan ketika DPP melaksanakan fungsi kontrol dan penilaian-evaluasi.
Dalam norma Anggaran Dasar, fungsi-fungsi itu dilaksankan oleh satu organ. DPP yang membuat Program, DPP yang mengeksekusi Program, DPP pula yang menilai kinerjanya sendiri.
Dengan demikian kita dapat menggarisbawahi ini: dalam struktur partispatif dan tanggungjawab bersama «harus terjadi pendistribusian tanggungjawab kepada lebih banyak orang, untuk meningkatkan atau memberi peluang yang lebih besar bagi umat untuk terlibat dan menghindari agar fungsi-fungsi itu hanya berada pada segelintir orang[1]. Sri Paus sendiri menegaskan bahwa:
«Karena Baptisan, semua anggota umat Allah menjadi murid misiober. Setiap orang yang dibaptis, apapun fungsinya di dalam Gereja dan apapun tingkat pendidikan iman yang ia miliki, adalah subyek aktif untuk evangelisasi dan kelirulah jika kita berpikir bahwa evangelisasi hanya dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kompetensi sehingga banyak umat lain hanya menjadi peneriman aksi-aksi mereka. Evangelisasi Baru harus berimplikasi juga pada pelaku baru dalam pewartaan, yaitu setiap orang yang dibaptis … Setiap orang yang dibaptis adalah …. “murid-misionaris”[2].
- Keterbatasan NKGP dan Kemungkinan Pembaharuannya
Ada beberapa hal di dalam Norma-Norma Komplementer yang perlu mendapat penjelasan atau pelengkap: seperti tentang bagaimana sebuah pertemuan koordinasi dilakukan atau hubungan antara pelbagai organ yang ada di dalam Paroki dalam kaitan dengan uoaya merealisasikan tujuan bersama yang ditetapkan; apa saja hak dan kewajiban peserta rapat, juga mengenai fungsi atau tugas seksi-seksi di dalam PIPA.
2.1. Sistem Kerjasama antar Organ
Sebuah pastoral integral menuntut adanya cara baru untuk membuat rencana-rencana dan penyusunan program pastoral. Dalam konteks itu, jika MGP telah menetapkan instrumen untuk membuat perencanaan pastoral sebuah komunitas, yaitu Cermins Pastoral dan Goal Setting, akan sangat membantu bila NKGP dilengkapi dengan sebuah petujuk pelaksanaan dari Cermin dan Goal Setting itu, termasuk juga hal-hal yang berhubungan dengan tata kelolah administrasi paroki dan pengelolaan harta benda dari semua organ yang ada, dan KBG-KBG. Akan sangat baik bila dilakuka studi lanjut untuk melengkapi hal-hal yang bisa menjadi pedoman pelengkap[3]. Terutama menentukan bagaimana «mengorganisir pelaksanaan aktivitas pastoral dari semua organ yang ada»[4]. Sebab, «pilihan-pilihan dan aktivitas-aktivitas sebuah komunitas bukanlah urusan pribadi atau tergantung kesempatan. Pilihan-pilihan dan aktivitas-aktivitas itu adalah jawab atas sebuah perencanaan pastoral organis dan milik bersama, … yang menuntut adanya sharing tanggungjawab secara tetap, sharing saasaran-sasaran bersama yang mau dicapai, bagaimana perjalanan pencapaian itu, hal-hal apa saja yang dibutuhkan agar tujuan-tujuan strategis dapat diwujdukan. Sistem organis seperti ini menuntut juga adanya ketentuan yang mengatur mengenai hubungan kerja antara satu organ dengan organ yang lain, antara PIPA dan KBG, antara KBG dengan Bendahara Paroki, Antara DPP dan PIPA, dan seterusnya[5].
2.2 Kebutuhan Akan Pembinaan (formation)
Pedoman Pastoral Menjadi Gereja Partisipatif dan Norma-Norma Komplementer menggarisbawahi pentingnya animator-fasilitator dalam upaya pengembangan KBG[6]. Pentingnya pembinaan ini ditegaskan juga dalam dokumen konsili dan Codex sendiri Dalam Kan. 231 § 1 bahkan dikatakan:
«Kaum awam, yang secara tetap atau untuk sementara diperbantukan untuk pengabdian khusus Gereja, terikat kewajiban untuk memperoleh pembinaan yang tepat yang dituntut untuk melakukan tugas secara semestinya, dan untuk menjalankan tugas itu dengan sadar, sungguh-sungguh dan rajin.».
Dalam kaitan itu mungkin perlu ditegaskan juga mengenai hakekat dari pembinaan bagi umat, siapa pelaku, fungsi mereka, model pembinaan, serta isi pembinaan itu[7]. Dalam konteks ini kita sudah memiliki AsIPA. Sangat disayangkan bahwa modul-modulnya sudah ada, kita tinggal pakai. Lebih menyayangkan lagi bila keberadaan AsIPA dipertanyakan. Visi, Misi, Spiritualitas Keuskupan Pangkalpinang bersyukur bahwa modul AsIPA sudah bisa membantu bukan hanya soal aspek pengetahuan mengenai identitas Gereja melainkan juga mengenai spiritualitas dan kesadaran hidup menggereja dan terutama pertumbuhan iman dari mereka yang mengikuti animasi ini[8].
Komunitas-komunitas gerja membutuhkan leaders, entah awam atau klerus yang memiliki kemampuan to ennoble, kemampuan to empower dan to enable[9] karisma-karisma, rahma, potensi-potensi yang ada di dalam komunitasnya[10]. Dengan demikian strukutur atau organ partisipatif tidak dapat diterapkan dalam praksis bila leaders menerapkan pola kepemimpinan otoriter[11].
Kita membutuhkan agen-agen pastoral, pemimpin yang memiliki kemampuan untuk
«melihat apa yang positif dalam diri orang lain, menghargai dan menilainya sebagai anugerah Tuhan […] dibutuhkan kemampuan untuk “memberi ruang” bagi yang lain, saling memikul “beban° dan menolak upaya-upaya egoistik yang terus menerus mengganggu dan melahirkan tumbuhnya kompetisi, karirisme, dan kecemburuan»[12].
Dengan spirit komunio seperti ini, para leaders akan mampun menjadikan Keuksupan ini sebagai komunitas yang memiliki kekuatan misioner yang luar biasa dalam mewartakan Injil. Semoga:
«The joy of the gospel fills the hearts and lives of all who encounter Jesus. Those who accept his offer of salvation are set free from sin, sorrow, inner emptiness and loneliness. With Christ joy is constantly born anew»[13].
Seperti kata Sri Paus, mari kita satukan semua potensi yang ada
«to encourage the Christian faithful to embark upon a new chapter of evangelization marked by this joy, while pointing out new paths for the Church’s journey in years to come»[14].
Artikel ditulis oleh RD. Bernard Somi Balun
Baca juga:
Simak Bedanya: Anggaran Dasar DPP 2001 dan Norma Baru NKGP (Bagian 1)
Simak Bedanya: Anggaran Dasar DPP 2001 dan Norma Baru NKGP (Bagian 2)
[1]J. B. Cappellaro, Edificare la Chiesa locale, 24.
[2]Evangelii gaudium, n. 120.
[3]Cfr. J. Beyer, «Vita associativa e corresponsabilità ecclesiale», in J. Beyer – G. Feliciani – H. Mȕller, Comunione ecclesiale e strutture di corresponsabilità, 79-80; cfr. J. Beyer, «Il nuovo diritto dei religiosi e la vita associativa della Chiesa», in Vita consacrata, 24 (1988) 344-358; 827-839.
[4]S. Pintor, L’uomo via della chiesa, Edizioni Dehoniane Bologna, Bologna 1992, 241.
[5]C. Azzimonti, «Gli organismi consultivi nelle unità pastorali», in Quaderni di diritto ecclesiale 16 (2003), 304.
[6]Cfr. Menjadi Gereja Partisipatif, nn. 271-274; cfr. Norma-Norma Komplementer, Bagian II, Bab IV, Pasal 8, § 4.e; cfr. Norma-Norma Komplementer, Bagian II, Bab IV, Pasal 9, § 3.f; cfr. E. Castellucci, «essere comunità cristiana oggi», in Centro Orientamento Pastorale, Nuove forme di comunità cristiana. Le relazioni pastorali tra clero, religiosi, laici e territorio, (60° settimana nazionale di aggiornamento pastorale), Edizioni Dehoniane Bologna, Bologna 2010, 82; cfr. Conferenza Episcopale Italiana, Nota pastorale «Il volto missionario delle parrocchie in un mondo che cambia» (30 maggio 2004), n. 12, in Enchiridion della Conferenza episcopale italiana: decreti, dichiarazioni, documenti pastorali per la Chiesa italiana, Vol. 7/1404-1505.
[7] Cfr. P. Pavanello, «Selezione, formazione e retribuzione dei laici», in Gruppo Italiano Docenti di Diritto Canonico (a cura di), I laici nella ministerialità della Chiesa. XXVI Incontro di studio. Centro Dolomiti “Pio X” – Borca di Cadore. 28 giugno – 3 luglio 1999, Glossa, Milano 2000, 273-280.
[8]Evangelii gaudium, n. 25.
[9]Cfr. A. D’souza, Ennoble, Enable, Empower: Kepemimpinan Yesus Sang Almasih, Gramedia, Jakarta 2009, 227-229.
[10]Cfr. Menjadi Gereja Partisipatif, n. 265.
[11]A. D’souza, Ennoble, Enable, Empower: Kepemimpinan Yesus Sang Almasih, 2-3.
[12]Novo Millennio Ineunte, 43.
[13] Evangelii gaudium, n. 1
[14] Evangelii gaudium, n. 1