Home FeatureOpini Simak Bedanya: Anggaran Dasar DPP 2001 dan Norma Baru NKGP (Bagian 2)

Simak Bedanya: Anggaran Dasar DPP 2001 dan Norma Baru NKGP (Bagian 2)

by admin

BAGIAN II

KRITERIA DAN APLIKASINYA DALAM NORMA-NORMA KOMPLEMENTER GEREJA PARTISIPATIF (NKGP)

 

  1. Pengantar

Dalam tulisan bagian pertama berjudul Catatan Kritis terhadap Anggaran Dasar DPP Keuskupan Pangkapiang tahun 2001, kita mencoba mengangkat beberapa problem mengenai Struktur Dewan Pastoral Paroki dan Model Gereja yang ditampilkan olehnya. Pada bagian kedua ini, kita coba memberi jawaban atas dua pertanyaan utama: a) apa saja kriteria dan indikasi-indikasi yuridis-pastoral untuk sebuah pembaharuan organ partispatif di dalam komunitas paroki; b) Seperti apakah model struktur partisipatif ideal yang bisa diusulkan?

  1. Kriteria Yuridis-Pastoral

Harus diakui bahwa usulan pembaharuan sebuah struktur atau organ di dalam Gereja, termasuk norma-norma khusus untuk sebuah Gereja Lokal, layaknya berdasar pada beberapa prinsip mendasar berikut ini[1].

2.1.  Prinsip kesamaan martabat dan perbedaan dari Umat Allah

Unsur pertama yang menjadi acuan sebuah struktur partisipatif adalah prinsip kesamaan martabat seluruh anggota Umat Alla dan keberanekaragaman kondisi, fungsi dan karisma yang lahir dari Sakramen-Sakramen dan Karisma-Karisma Roh di dalam Gereja.

Ajaran iman yang terungkap di dalam Codex menegaskan bahwa

«Di antara semua orang beriman kristiani, yakni berkat kelahiran kembali mereka dalam Kristus, ada kesamaan sejati dalam martabat dan kegiatan; dengan itu mereka semua sesuai dengan kedudukan khas dan tugas masing-masing, bekerjasama membangun Tubuh Kristus»[2].

Struktur atau organ partisipatif, karena merupakan ungkapan dari communio, ia menjadi seperti sebuah persekutau organis, atau «comunione “organica”»[3], yang dicirikan oleh adanya perbedaan-perbedaan panggilan, kondisi hidup, fungsi pelayanan dan tanggungjawab. Berkat perbedaan  dan ciri saling melengkapi itu setiap umat awam berada dalam hubungan dengan seluruth tubuh, dan kepada tubuh itu, ia (setiap orang awam) mempersembahkan kontribusinya[4].

2.2 Prinsip saling melengkapi, integral dan organis

Adanya struktur atau organ partisipatif di dalam Gereja pada hakekatnya mengungkapkan dinamika organis dari komunitas kaum beriman. Dinamika organis (dinamika yang hidup bagaikan tubuh manusia ini) terlihat dalam hubungan yang saling melengkapi antara setiap anggota atau organ tubuh, jadi antara jabatan-jabatan, fungsi-fungsi, orang-orang, dan struktur-struktur internal sebuah komunitas yang diadakan oleh otoritas Gereja yang berwenang untuk melanjutkan misi. Dinamiki pelbagai struktur internal komunitas ini dihidupi, diungkapkan, dibangun dan dipelihara serta dikembangkan secara organis dinamika partisipasi dan co-responsability di dalam proses pengambilan keputusan dan sampai pada pengambilan keputusan itu sendiri, termasuk juga dalam proses aktualisasi keputusan-keputusan itu.  Dinamika itu perlu sebab semua kompenen yang membentuk komunitas memiliki visi, goal, sasaran yang satu dan sama. Bagaimana dinamika organis itu dapat dimengerti?

Para anggota KBG, misalnya, ambil bagian dalam proses memutuskan program pastoral komunitasnya, mulai dari evaluasi, berdiscermen, membuat kesepakatan mengenai goal, sasaran strategis, aktivitas-aktivitas yang perlu untuk pencapaian sasaran yang hendak mereka ajukan kepada Pastora Paroki bersama team PIPA paroki  mempelajari,  mengoreksi atau memberi usul saran sampai akhirnya menerima dan mensahkan program KBG. Demikian juga, berdasarkan usulan-usulan KBG-KBG, team PIPA Paroki merumuskan sasaran-sasaran tahunan yang hendak mereka usulkan kepada pastora paroki untuk disetujui sebagai rencana pastoral paroki. Sesudah persetujuan pastor paroki, ia menyampaikan rencana pastoral tahunannya kepada Pimpinan Keuskupan untuk mendapat pengesahan. Sesudah pengesahan dari Pimpinan Keuskupan, KBG-KBG, DPP, PIPA, DPHBGP, Pastor Paroki, Pastor Pembantu, Sekretaris Paroki, Bendahara Paroki bergandengan tangan merealisasikan rencana pastoral itu sesuai dengan tanggungjawab dan fungsi masing-masing.

Di dalam dinamika itu, partisipasi dan tanggungjawab  bersama diterapkan dan dihidup di dalam pelbagai organ, KBG dan kelompok-kelompok kategorial yang ada di dalam sebuah komunitas. Makanya di antara semua organ yang ada, mesti ada suatu kerjasama dan ada dinamika saling melengkapi[5] sebab mereka semua, dan bersama-sama dipanggil untuk mengimplementasikan atau meweujudnyatakan tujuan (goal, visi atau sasaran) bersama[6].

Yohanes Paulus II mengatakan: «pelayan-pelayanan yang ada dan berkarya di dalam Gereja, kendatipun dengan fungsi dan tanggungjawab yang berbeda mereka semua berpartisipasi di dalam pelayanan Kristus»[7]. Karena itu, tanggungjawab berama tidak hanya dituntut bagi para pemegang wewenang, tetapi juga semua organ yang ada di bawahnya[8]. Dari dinamika itu dapat disimpulkan bahwa «wajah sebuah paroki, semua merupakan subyek yang satu dan bertanggungjawab untuk persekutuan dan misi»[9].

Atas dasar goal bersama struktur sebuah komunitas paroki misalnya haruslah merupakan sebuah persekutuan organis bagaikan tubuh hidup yang aktif, yang kendati anggotanya berbeda beda, semuanya saling melengkapi menghidupi tubuh[10].

Dinamika di atas, tidak hanya berlaku untuk semua organ internal sebuah Paroki misalnya,  tetapi juga keluar juga dengan paroki-paroki lain di dalam sebuah Kevikepan atau kelompok-kelompom kategorial lintas paroki. Sebab jangan lupa bahwa paroki adalah sebuah komunitas di dalam Gereja Partikular (atau Keuskupan)[11]. Prinsip partisipasi dan tanggungjawab bersama haruslah berhubungan dengan komunitas-komunitas kaum beriman lain, atau kelompok-kelompok kategorial lain yang ada di dalam sebuah keuskupan. Strutkur atau organ pastirsipatif, sebuah paroki bukanlah struktur atau organ yang otonom. Ia harus berelasi secara integral dengan strutkur-sturkutr kevikepan dan tentu saja struktur keuskupan sendiri. Dari strutkur struktur atau organ kevikepan dan keusukupan menjadi supporter utama dan menjadi bagian dari organ yang terpanggil merealisasikan tujuan dan sasaran bersama seluruh komunitas Keuskupan[12].

Paroki tidak pernah menjadi suatu realitas tersendiri. Ia menjadi bagian dari sebuah Keuskupan, bagian dari sebuah Kevikepan. Sebab Paroki «ialah komunitas kaum beriman kristiani tertentu yang dibentuk secara tetap dalam Gereja partikular, yang reksa pastoralnya, dibawah otoritas Uskup diosesan, dipercayakan kepada Pastor Paroki sebagai gembalanya sendiri»[13].

Dari ajaran ini, terlihat sekali ada hubungan atau ikatan mendalam antara Paroki dan Keuskupan[14]. Hal ini membawa konsekuensi penting, sebagai berikut:  Paroki harus menjadikan Uskup Diosesan sebagai referensi dan merasa menjadi bagian dari Keuskupan. Ekpresi dari kebenaran ini nyata dalam kesetiaan dan ketaatan paroki menjadikan norma-norma yang dikeluarkan Uskup Diosesan sebagai pegangan. Dalam konteks ini kita bisa melihat peran DPP sebagaimana ditetapkan dalam NKGP. Maka, fungsi studi, menilai dan mengusulkan prisoritas pastoral di sebuah paroki perlu dilakukan oleh DPP agar goal bersama Keuskupan benar-benar dijamin pelaksanaan dan perwujudannya.

2.3 Co-responsability komuniter

Prinsip kesamaan di antara semua kaum beriman, baik dalam martabat maupun dalam bertindak[15] yang lahir dari sakramen baptis, dan panggilan yang satu dan sama untuk membangun Tubuh Kristus dan melanjutnka misinya karena keanggotaannya di dalam Gereja merupakan landasan utama bagi sebuah co-responsability semua umat Allah[16], kendatipun ada perbedaan fungsi atau  tanggungjawab[17].  Di sini kita bicara mengenai prinsip “tanggungjawab bersama” yang berciri komuniter.

Prinsip ini terlihat jelas dalam Norma-Norma Komplementer. Di satu pihak, keberadaan DPP dipertahankan, dan dibentuklah organ DPHBP. Dua organ yang penting babaik untuk mengungkapkan komunio maupun untuk merealisasikan wajah Gereja yang satu dengan pelbagai karisma dan pelayanan[18]. Di lain pihak, NKGP, mengembangkan struktur atau organ partispasi, tidak hanya melalui dua organ yang berciri konsultatif, tetapi juga partisipasi di dalam pelbagai jabatan lain, seperti Bendahara Paroki dan Sekretaris Paroki, KBG, PIPA, atau organ di Wilayah jika ada, untuk menjamin dan mewujudkan prinsip tanggungjawab bersama secara komuniter.

Kita lihat sepintas bagaimana dinamika tanggungjawab komuniter itu diungkapkan.

Pertama, struktur DPP. Dalam NKGP, tidak ada lagi Dewan Harian, Dewan Inti, Dewan Pleno, Dewan Stasi, Bendahara DPP, Seksi-seksi di dalam DPP. Struktur DPP yang baru menjadi lebih sederhana mirip dengan Dewan Konsultif lain, seperti Dewan Pastoral Keuskupan, Dewan Konsultores, Dewan Imam. Dan ketuanya Pastor Paroki saja. Sama seperti ditingkat Keuskupan, ketua dari Dewan-Dewan itu adalah Uskup Diosesan. Fungsinya adalah untuk memonitor pelaksanaan implementasi visi, menetapkan pelaksanaan evaluasi dan memberi pendapat kepada Pastor paroki mengenai pembentukan KBG atau Wilayah dan Pejabat Sekretais Paroki[19].

Semua seksi yang oleh Anggaran Dasar berada di dalam DPP, dipindahkan baik ke KBG maupun PIPA, dengan tugas utama “bukan lagi sebagai organ konsultatif” tetapi sebagai organ eksekutif, mengimplementasi atau merealisasikan rencana pastoral yang diusulkan oleh KBG.

Dengan demikian kita lihat bahwa di dalam KBG dihidupi dan dialami dinamika discerment gerejani[20] sekurang-kurang sekali dalam seminggu dalam pertemuan Komunitas. Di dalam pertemuan KBG itu diusulkan dan disepakati bersama kegiatan-kegiatan atau misi komunitas yang harus dilaksanakan dalam minggu itu atau untuk kesempatan-kesempatan tertentu

Makanya, di KBG, kaum beriman  juga membicarakan prgram tahunan mereka dalam rangka mewujudkan cara hidup baru menggereja, maupun sasaran-sasaran bersama yang ditetapkan oleh Paroki, Kevikepan atau Keuskupan. Selanjutnya proses diteruiskan ke PIPA kepada DPP, dan DPHBP, untuk merumuskan rencana pastoral tahunan Paroki berikut rencana anggaran dan belanja. Bersama dengan itu juga program program seretariiat Paroki, dan Bendahara Paroki dstnya.

            Dengan mengeluarkan seksi-seksidari DPP, menurut Anggaran Dasar, ke dalam PIPA menurut NKGP, jelas bagi kita mana organ konsultatif, dan mana organ eksekutif. Yang membedakan adalah keberadaan KBG. Kalau dulu, DPP yang memikirkan, merencanan, menyetujui dan nanti merealisasikan setelah pengesahan progran dari uskup. Sekarang proses itu terutama terjadi di Komunitas Basis Gerejani dan mendapat dukungan dari organ-organ di atasnya. Kalau dulu, perencanann pastoral dan perealisasiannya tergantung pada DPP, dalam NKGP, partispasi dan tanggungjawab bersama diperluas kepada seluruh umat melalui KBG. Hal itu bukan saja menjadi konsekuensi dari hakekat Gereja atau Paroki, melainkan juga karena ketika rencana pastoral dipikirkan bersama, «tumbuh commitment – atau ukuruan di mana seseorang merasa ambil bagian atau terlibat secara pribadi untuk melaksanakan keputusan, karena dia sendiri ikut menentukan – untuk meralisasikan keterlibatannya »[21].

Selain itu, di dalam Anggaran Dasar, Sekretrais dan Bendahara DPP tidak hanya mengurus hal-hal yang berhubungan dengan DPP saja, tetapi juga maslah-masalah Paroki keseluruahn. Di dalam  NKGP, tidak ada lagi Bendahara DPP; tetapi ada Sekretaris Paroki dan Bendahara Paroki, yang membentu Pastor Paroki baik dalam bidang administrasi akta atau dokumen Paroki (sekretaris) dan administrati pengelolaan harta benda paroki (seperti Ekonom Keuskupan). Keberadaan dua pejabat ini menggabarkan bahwa wajah Keuskupan itu secara analogi terlihat di dalam Paroki.

Berdasarkan itu, struktur pastirsipasi di dalam Paroki bukan hanya DPP dan DPHBP, seperti yang umum diketahui, tetapi juga di dalam KBG, PIPA, Bendahara Paroki dan Sekretrais Paroki (lihat saja hubungan yang ada antara Sekretaris Paroki dengan Sekretaris PIPA, sekretaris DPP, dan sekretaris DPHBGP di bawah koordinasi Pastor Paroki.

2.4 Organ Partisipatif Merupakan Saluran Evangelisasi dan Misi

Perlu kita catat bahwa untuk mewujudkan visi Gereja Partisipatif, kita memilih cara hidup meggereja dan lokus hidupnya di dalam KBG. Untuk merealisasikan itu diperlukan instrumen berupa stuktur atau organ partisipatif, dengan fungsi koordinasi dan organisator pengimplementasian visi.

Tetapi organ-organ itu juga menjadi «saluran evangelisasi »[22]. Paus Fransiskus, menyerukan agar organ-organ ini hendaknya «menjadi lebih misioner, dan bahwa pastoral rutin hendaknya menjadi lebih melebar dan terbuka, di mana di dalam diri agen-agen pastoral tumbuh «desire to go forth»[23], bahkan ia menambahkan bahwa «the principal aim of these participatory processes should not be ecclesiastical organization but rather the missionary aspiration of reaching everyone»[24]

Dalam konteks Paroki, Bapa Suci menulis bahwa «ia harus mampu membaharui diri dan beradaptasi, untuk menjadi “Gereja yang hidup di tengah rumah-rumah putera dan puterinya»[25]. Visi Paroki ini mengandaikan «sebuah Gereja yang secara real berkontak dengan keluarga-keluarga dan dengan kehidupan nyata umat dan masyarakat dan tidak menjadi sebuah komunitas yang terpisah dari anggatanya atau orang orang tertentu yang dipilih. […] Melalui aktivitas pastoralnya, paroki menyemangati dan membentuk umatnya menjadi agen-agen pewarta »[26] dan «berada lebih dekat dengan anggotanya, dan agar mereka menghiupi dan mengalami komunio partispasipasi»[27].

Dalam konteks ini mengapa NKGP merumuskan Paroki sebagai persekutuan Komunitas-Komunitas. Dan bahwa pembaharuan diri paroki mengenai juga pembaharuan struktur atau organ-organ internal paroki, dan bahwa organ organ itu melakuka konsolidari bersama dalam merancang dan meralisasikan rencana pastoral yang partisipatif »[28].

  1. Norma-Norma tentang Organ Partisipatif dalam NKGP Sebagai Model Hukum Misi.

Sesudah meilhat kriteria-kriteria yuridis pastoral dan aplikasinya dalam NKGP kita dapat menarik kesimpulan sederhana. Namun untuk itu baiklah kita catat dulu prinsip ini. Pertama, «norma yuridis Gereja, lahir dari misi dan untuk misi, atau sederhananya dari pastoral dan untuk pastoral[29].

Memang, untuk dapat melaksanakan misinya, Gereja membutuhkan Normanya sendiri yang mengatur dan mengorganisi pelaksanaan misi itu[30]. Dalam konteks ini mengapa organ Partisipatif yang ditawarkan oleh NKGP buah dari refleksi atas misi kita untuk menjadi Gereja Partisipatif.

Kedua, Keuskupan Pangkalpinang  merupakan bagian dari Gereja Universal, kita membutuhkan adanya keseimbangan antara ajaran Norma Universal  dan kebutuhan khas sebuah Gereja Lokal[31], terutama visi lokalnya, Menjadi Gereja Partisipatif, melalui pengembangan KBG.

Atas dasar itu maka  Norma-Norma tentang Organ atau Struktur Pastisipatif sebagaimana diatur dalam NKGP dapat menjadi satu model dari hukum misioner, bukan hanya untuk Pangkalpinang,  tetapi juga untuk semua yang ingin menghidupi a new way of being Church, yang mau menjadi Gereja Partisipatif, communion of communities, lewat pengembangan KBG.

Selain itu model stuktur atau oragn partisipatif dari NKGP bisa menjadi model bagi mereka yang masih menetapkan struktur  DPP seperti yang selama ini kita pakai dalam Anggaran Dasar.[32].

Berdasarakan uraian di atas, kita bertanya kekhasan apa yang ditawarkan oleh Norma-Norma Komplementer Gereja Partisipatif (NKGP)? Kita nantikan jawabannya di Bagian ke III tulisan ini.

Simak Bedanya: Anggaran Dasar DPP 2001 dan Norma Baru NKGP (Bagian 1)

Oleh: RD. Bernard Somi Balun


[1]Cfr. J. H. Provost, «Preparing for Particular Legislation to Implement the Revised Code», in The Jurist 42 (1982), 349-352; cfr. J. Beyer, «Le nouveau Code de Droit canonique. Esprit et structures (à suivre)», in Nouvelle Revue Théologique 106/3 (1984), 369-375; cfr. J. L. Gutiérrez, «La formazione dei principi per la riforma del “Codex Iuris Canonici”», in J. Canosa (a cura di), I principi per la revisione del Codice di diritto canonico. La ricezione giuridica del Concilio Vaticano II, Giuffrè, Milano 2000, 5-29.

[2]Kan. 208.

[3]Christifideles laici, n. 20.

[4]Christifideles laici, n. 20; cfr. Ecclesia de mysterio, «proemio».

[5]Cfr. Norma-norma Komplementer, Bagian II, Bab IV, Pasal 1-3

[6]O. Fumagalli Carulli, Il governo universale della Chiesa e i diritti della persona, 162.

[7]Christifidelis laici, n. 21.

[8]O. Fumagalli Carulli, Il governo universale della Chiesa e i diritti della persona, 162.

[9]P. Vanzan – A. Auletta, La parrocchia per la nuova evangelizzazione, 47.

[10]Christifideles laici, n. 20.

[11]Cfr. Ecclesia in Asia, n. 25; cfr. Menjadi Gereja Partisipatif, 149; cfr. S. Dianich «comunità», 164.

[12]Cfr. G. S. Dianich «comunità», 164-165; cfr. V. Mario Olmi, « Rapporti tra Curia diocesana e parrocchie», in Quaderni di diritto ecclesiale 7/2 (1994), 184-189;  cfr. Norma-norma Komplementer, Bab III, Pasal 5, Art. 3; cfr Menjadi Gereja Partisipatif, nn. 279-280

[13] Kan. 515

[14]Cfr. A. S. Sanchez-Gil, «C. V. De las parroquias, de los parrocos y de los vicarios parroquiales. Commentario», 1203-1204.

[15] Kan. 208

[16]Cfr. J. R. Villar, «El sacerdocio ministerial al servicio del sacerdocio común de los fieles», 40: «Todo el Pueblo de Dios es portador de la acción salvífica de Cristo en el mundo, y en su interior la jerarquía realiza un servicio, esencial e insustituible, para que todos en común – fieles y ministros – lleven adelante la misión».

[17] D. Tetamanzi, «È la speranza lo stile del testimone», 47; cfr. G. Campanini, «Essere laici: corresponsabili della missione evangelizzatrice della Chiesa», in Centro Orientamento Pastorale, Educarsi alla corresponsabilità. I battezzati nel mondo alla prova della vita quotidiana. 61° settimana nazionale di aggiornamento pastorale, Edizioni Dehoniane Bologna, Bologna, 2011, 145».

[18]Cfr. L. A. Tharmaraj, «The Experiences In Communion And Collaborative Ministries», 281; cfr. AsIPA 4th General Assembly, Final statement, n. 3.1.

[19]Cfr. Norma-Norma Komplementer , BAB IV, Pasal 11, Art. 1 § 2.

[20]Cfr. Norma-Norma Komplementer, Bab IV, Pasal 9 Art 4.

[21]M. S. Macinati, “Behavioral management accounting. La dimensione cognitiva e motivazionale dei sistemi di controllo direzionale, Franco Angeli, Milano 2013, 105; cfr. S. Franzoni, Governance scolastica e comunità di apprendimento, Franco Angeli, Milano 2012, 116.

[22]Cfr. Evangelii gaudium, n. 27.

[23]Evangelii gaudium, n. 27.

[24] Evangelii Gaudium,  31

[25]Evangelii gaudium, n. 28.

[26]Evangelii gaudium, n. 28.

[27]Evangelii gaudium, n. 28.

[28]C. Azzimonti, «Gli organismi consultivi nelle unità pastorali», in Quaderni di diritto ecclesiale 16 (2003), 299.

[29]V. De Paolis, «La Chiesa missionaria e il Codice di diritto del Concilio», in L. Sabbarese (a cura di), La Chiesa è missionaria. La ricezioni nel Codice di dirito canonico, 19; cfr. C. Van Gelder, The Essence of the Church. A Community Created by the Spirit, 158.

[30]Cfr. V. De Paolis, «La Chiesa missionaria e il Codice di diritto del Concilio» 20-22.

[31]Cfr. V. Mosca, «Il diritto missionario nel CIC. La dialettica tra universale e particolare», in Ius Missionale (2007), 12.

[32]Contoh: Keuskupan Jakarta, Pedoman Dasar Dewan Paroki (PDDP) Keuskupan Agung Jakarta Tahun 2014, Keuskupan Jakarta, Jakarta 2014, 31;cfr. Keuskupan Sintang, Arah Dasar dan Pedoman Dasar DPP, Keuskupan Sintang, Sintang 2012, 39-40.


Related Articles

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.