Home Participatory ChurchChristus Center Perihal Yesus sebagai Raja, Renungan Hari Raya Tuhan Kita Yesus Kristus Raja Semesta Alam

Perihal Yesus sebagai Raja, Renungan Hari Raya Tuhan Kita Yesus Kristus Raja Semesta Alam

by Stefan Kelen

Oleh: Martin da Silva, Pr*)

Sebelum masuk masa adven, kita merayakan hari raya Tuhan Yesus Kristus Raja Semesta Alam. Yesus datang sebagai raja yang bersahaja sehingga kita menantikan kedatanganNya di masa-masa adven  tidak dengan pesta pora namun dengan seruan tobat.

Perihal Yesus sebagai Raja Semesta Alam bukan seperti yang diimpikan secara manusiawi. KerajaanNya bukanlah kerajaan yang memiliki batas wilayah dan harus mendapat pengakuan dari kerajaan lain seperti raja-raja yang dikisahkan dalam literatur sejarah. Kerajaan Yesus mencakup seluruh alam semesta.

Menyatu dengan Alam Semesta

Sebagai Raja Yesus tidak lahir di rumah sakit, klinik, rumah bersalin, rumah yang mewah dan istimewa melainkan lahir di kandang domba, di Kota Betlehem. Ada rumput, potongan-potongan kayu pendek dan panjang, domba-domba, kotoran-kotoran domba, sisa-sisa makanan yang busuk, air yang tak sedap, daun-daun kering, udara yang belum kena polusi, dan lain-lain di sekitar kandang kelahiran Yesus. Kiranya ini mengindikasikan bahwa Yesus lahir bersama alam semesta. Yesus diutus BapaNya menjadi Raja lahir menyatu dengan alam semesta. Hanya Maria dan Yusuf yang menyaksikan kelahiran Yesus. Selebihnya kondisi alam yang ada di kandang tersebut menyambut kelahiranNya.

Tentu ini berbeda dengan kelahiran manusia di zaman ini. Lahir di tempat yang nyaman dan disambut beberapa orang dengan tangis dan gelak tawa meskipun ada juga lahir di tempat sederhana. Tempat lahir tidak menentukan orang itu kudus dan sukses di dunia. Seperti Yesus yang menyatu dengan alam semesta, kita berusaha menyatu dengan alam semesta di sekitar kita. Mengelola dan menjaga lingkungan dari rusaknya alam baik secara struktur maupun alamiah dengan memandang alam semesta sebagai diri sendiri.

Hukum yang Diperkenalkan Yesus

Raja di zaman ini melekat dengan hukum, otoritas, dan kekuasaan yang memungkinkan bisa  melakukan apa saja. Yesus tidak menunjukkan diri-Nya berkuasa dan memiliki otoritas tinggi. Hukum yang diperkenalkan Yesus dan senantiasa Ia hidup adalah hukum kasih. Kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama manusia. Yesus hadir sebagai raja yang membawa bukti cinta kasih Allah kepada manusia. Cinta seorang Bapa kepada anak-anakNya. Kasih yang serupa menjadi hukum Kristus. Kasih yang memampukan orang untuk mencintai sesama manusia.

Kasih tersebut, kiranya bukan hanya sekedar identitas sebagai pengikut Yesus namun telah menjadi gen bagi kita. Kasih itu melesap dan melekat dalam pribadi-pribadi yang diberi kebebasan dalam kekurangan dan kelebihan di dunia yang pongah ini. Setiap aturan yang dibuat dimanapun kita berada hendak berlandaskan kasih. Kasih yang tidak pandang bulu, kasil yang utuh, padu dan total.

Dari Hati Sendiri

Yesus dikatakan sebagai Raja melalui beberapa pengakuan yang dikisahkan dalam injil. Salah satunya, injil Yohanes yang kita dengarkan pada hari raya Tuhan kita Yesus Kristus Raja Semesta Alam ini. Pengakuan itu salah satunya dari Pilatus saat bertemu secara personal dengan Yesus. Pilatus bertanya, “Engkaukah raja orang Yahudi? Jawab Yesus, “Dari hatimu sendirikah engkau katakan hal itu? Atau adakah orang lain yang mengatakan padamu tentang Aku?”

Yesus merespon pertanyaan Pilatus yang tampaknya ingin tahu lebih dalam dan jauh tentang profil Yesus yang dielukan sebagai Raja. Yesus meresponnya dengan bertanya, “dari hatimu sendirikah engkau katakan hal itu?”

Ada apa dengan hati? Hati memiliki pengaruh besar dalam kehidupan manusia. Segala sesuatu yang bersumber dari hati, sebagaimana dikatakan Yesus, “karena yang diucapkan mulut meluap dari hati. Orang yang baik mengeluarkan hal-hal yang baik dari perbendaharaannya yang jahat (Mat 12: 34b-36). Berbeda dengan injil Matius, kitab Amsal memaparkan bahwa “seperti air mencerminkan wajah, demikianlah hati manusia mencerminkan manusia itu”. (Amsal 27:19). Perkataan dan sikap seseorang yang bersumber dari hati mencerminkan identitas kemanusiaan orang tersebut. Oleh sebab itu, kondisi hati dapat mengarahkan kita untuk berkata dan berbuat yang baik atau jahat.

Mari menjaga kondisi hati kita dari stereotip, prasangka dan diskriminatif. Menjadikan hati bukan hanya sebagai perasa namun juga menjadi sumber pengetahuan. Melalui hati kita yang barangkali jatuh dalam kesalahan bukan tinggal dalam keterpurukan namun memunculkan rasa bersalah yang membangun menjadi lebih baik lagi kedepannya. (***)

*)Penulis adalah Imam Keuskupan Pangkalpinang, pengajar di Seminari Menengah Mario John Boen Pangkalpinang  

 

 

Related Articles

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.