Home FeatureJejak Narasi Pejuang LDR

Narasi Pejuang LDR

by Alfons Liwun

Oleh: Alberthus Dennis Christianto Esong

Aku Ratna. Ratna Veronica Lin. Aku tinggal di sebuah kota industri terkenal di Indonesia, Batam. Aku berdarah Tionghoa dan Jawa. Dilihat dari segi finansial, keluargaku tergolong keluarga yang berkecukupan. Perihal kebutuhan sekolah, aku tak perlu khawatir karena ayahku selalu memenuhinya, ia sangat peduli segala hal tentang pendidikanku. Di sekolah, aku bukan siswi yang popular, aku tidak berharap juga. Aku hanya seorang siswi biasa yang jumlah temannya dapat dihitung jari. Meskipun begitu, semua temanku memiliki kualitas, setia kawan pula. Soal lifestyle, aku tidak terlalu mempedulikan, asal aku bahagia, aku tidak mengapa menganut lifestyle yang biasa-biasa saja. Penampilanku, ya seperti remaja perempuan pada umumnya. Ehm, sepertinya ada yang sedikit menonjol, aku suka mengenakan sweater. Lemariku penuh dengan sweater yang beragam warnanya. Semacam ada sedikit sensasi yang berbeda ketika aku mengenakan sweater. Aku nyaman.

Satu bulan berlalu semenjak kepergian kekasihku untuk kembali sekolah di lain kota. Sekolah tempat seorang calon pastor. Dirinya hanya dapat menghubungiku dua minggu sekali, saat waktu pembagian HP. LDR yang sulit bukan? Haha.

Belakangan ini aku mulai merasa bosan. Tidak rutin mendapat kabar, membuatku rindu. Dan rindu yang tak terbayarkan mendatangkan rasa bosan. Aku tak ragu mengatakan padanya kalau aku bosan, pasalnya, kami sudah pernah membuat janji untuk tidak sungkan mengatakan bosan apabila memang demikian halnya. Responnya, dia selalu mencoba membantuku untuk menghilangkan rasa bosan. Dia juga mengatakan kalau itu hal yang wajar. Aku tidak tahu apakah berkata seperti itu akan menyakiti hatinya.

Sering kali muncul keinginan dalam diriku untuk menyudahi hubungan, tapi, keinginan itu terbendung kala aku teringat suatu kutipan dari Instagram, begini bunyi kutipannya, “Jangan pernah mengakhiri suatu hubungan karena merasa bosan. Karena ketika bosan, di situlah kedewasaanmu dalam suatu hubungan diuji. Apakah kamu akan melawan atau malah menyerah kalah padanya”. Untuk sementara, kutipan itu memang masih dapat membendung. Entahlah akan sampai kapan. Aku tidak tau. Aku hanya menjalani dan menyerahkan saja pada Tuhan dan waktu, karena cepat atau lambat, semua itu akan terjawab.

***

Hari demi hari silih berganti, menenggelamkan kami berdua larut dalam kesibukan masing-masing. Aku dengan segala macam tugas di sekolah serta rutinitas harian anak perempuan di rumah, dia dengan pergulatannya dalam bingkai pembentukan menjadi seorang pastor. Ku rasa tidak ada yang istimewa, malahan tampak ada yang mengganjal. Hubungan ketika tidak ada kepastian kapan akan berkomunikasi menjadikan diriku seperti berpacaran dengan hantu – tidak punya pacar – . Syukur-syukur bila ada pesan berbau roman yang hinggap di media sosialku kala rindu melanda, bila tidak, berkhayal-lah aku menatap langit kosong di malam hari. Merindu kekasih yang berada di kejauhan sana.

Pernah suatu kali aku bercerita tentang hal ini pada mama. Ia tidak merespon kaget, hanya tersenyum dan berkata, “Kamu harusnya sudah tau resiko berpacaran dengannya akan demikian. Begini saja ca, kalau Ica masih nyaman sama cio ­– Nama kekasihku – , Ica jalanin aja, toh bisa nambah semangat Ica untuk belajar. Kalau memang sudah tidak nyaman, Ica akhiri dengan baik-baik, jangan memaksa untuk melanjutkan”.

Mama memang selalu punya segudang kata-kata bijak untuk menasihatiku. Tak heran aku selalu mempertimbangkan nasihatnya. Sejauh ini, aku masih nyaman-nyaman saja dengan Cio, selagi dia tak mendua. Lagipula tidak mungkin ia mendua, keluar asrama saja jarang, bagaimana mungkin ia berpindah hati ke wanita lain. Rasa khawatir perihal hal tersbut tidak perlu ada ku rasa.

***

Di suatu pagi yang cerah, kala mentari memancarkan sinar jingganya dengan begitu indah, aku mendapat kabar gembira dari papa melalui mama. Papa mengizinkanku untuk bebas memilih jurusan di perguruan tinggi yang berarti aku berkesempatan mengambil jurusan psikologi, jurusan yang merupakan impianku sedari dulu dan selalu mendapat penolakan dari papa. Namun kali, aku akhirnya diperbolehkan. Begitu bahagianya aku meski belum benar-benar sampai pada tingkatan perguruan tinggi, hanya menunggu beberapa bulan lagi. Sontak aku mengambil ponsel dan mengirim pesan pada Cio untuk berbagi rasa bahagia, dengan harapan ia akan membalas dengan cepat.

Harapku tidak beroleh pemenuhan. Baru satu minggu setelah pesanku ku kirimkan, Cio membalasnya. Mengucapkan selamat dan pernyataan bangga padaku. Diikuti dengan permintaan maafnya karena terlampau lambat membalas pesan. Ia tidak punya kesempatan membuka computer katanya. Apa mau dikata, aku tdiak bisa menyalahkan. Pun bila aku dilanda rasa kecewa ataupun kesal padanya. Pesan balasan tidak seperti biasanya ku rasa cukup membuatnya tau bahwa aku kecewa. Meski tetap engan kata-kata yang ku filter agar tampak senormal mungkin. Lagi-lagi ini berakhir dengan permintaan maafnya.

“Aku mulai jenuh dengan ini semua ma. Untuk apa aku berpacaran kalau komunikasi saja terikat dengan ketidakpastian. Untuk apa aku bertahan kalau nyatanya aku tidak bahagia. Tidak mengapa bila aku harus menanggung sakit, kalau memang hanya sementara dan mendatangkan kebahagiaan nantinya. Aku harus segera mengakhiri hubungan ini”. Begitu kata-ku kepada mama malam setelah pesan itu ku terima. Curhat yang sangat lepas.

“Ca, kamu harus mengambil putusan saat sedang dalam keadaan normal, tidak saat sedang sangat marah, tidak juga saat sedang sangat sedih”, mama mengakhiri perbincangan. Aku melangkahkan kaki ke kamar, membenamkan wajah pada bantal, menangis hingga tertidur.

Mama benar, aku harus menenangkan diri dahulu sebelum mengambil keputusan. Dua hari setelah perbincangan itu, ketika Cio mendapat kesempatan menggunakan ponsel, aku menelponnya. Kami mengobrol seperti biasa dan pada penghujung telepon, aku meminta menyudahi hubungan. Dengan baik-baik. Ia menerima putusan dan selanjutnya, kami tetap menjadi teman baik yang saling mendukung dan memberi semangat.

Pangkalpinang, 12 Oktober 2022

Related Articles

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.