Home EpiskopalAsIPA Resources Empat Ciri Komunitas Basis Gerejawi (KBG)

Empat Ciri Komunitas Basis Gerejawi (KBG)

by admin

Para Uskup Asia, dalam pernyataan akhir pertemuan FABC (Federation of Asian Bishop Conferences), Bandung tahun 1990 menegaskan bahwa perlu ada sebuah cara hidup menggereja yang baru (A New Way of Being Church). Cara hidup menggereja yang baru itu disebut KBG (Komunitas Basis Gerejawi).

BACA JUGA : FABC Statements on AsIPA

Arti Kata : Komunitas, Basis, Gerejawi

Komunitas. Untuk memahami kata komunitas, pertama-tama harus dipahami dulu kata komunio. Komunio berasal dari kata “cum” dan “unio”, yang berarti bersama-sama membentuk kesatuan, kebersamaan, persaudaraan. Konsili Vatikan II menegaskan Gereja sebagai komunio sebanyak 285 kali, karena kesatuan, kebersamaan, dan persaudaraan ini terbentuk bukan pertama-tama karena ada kepentingan dan tujuan bersama secara manusiawi, melainkan karena cinta Allah yang dialami bersama dalam Yesus Kristus.

Penyerahan diri Yesus yang satu dan sama itu yang mendasari panggilan bagi siapa saja yang mengikuti Dia untuk membangun kesatuan, kebersamaan, dan persaudaraan, sekaligus mengatasi berbagai perbedaan, entah tempat, status sosial, suku dan budaya, bahasa, jabatan, jenis kelamin, dan lain-lain. Itulah sebabnya, komunio dipahami sebagai sebuah persekutuan.

BACA JUGA: KBG dan Asosiasi /Kategorial (Bag. 1) DAN KBG dan Asosiasi /Kategorial (Bag. 2)

Basis. Basis berpadanan dengan kata fundamen, dasar, unsur yang paling hakiki. Secara teologis, basis berarti unsur hakiki yang mendasari terciptanya komunitas, yakni iman. Iman berarti penyerahan diri kepada Yesus Kristus yang menderita, wafat dan bangkit, yang dalam Roh- Nya membimbing manusia. Penyerahan diri ini terjadi, karena Yesus, oleh keagungan cinta-Nya lebih dahulu menyerahkan diri-Nya, dalam penderitaan, wafat dan bangkit untuk memulihkan dan menyelamatkan manusia. Basis juga merujuk ke golongan yang paling bawah, paling rendah, yang dalam realitas merupakan mayoritas, dan bila diberdayakan akan membawa transformasi yang luar biasa, namun sering tidak diperhitungkan, entah karena alasan ekonomi, pendidikan, status sosial, dan sebagainya. Basis juga menunjuk sehimpunan orang dalam jumlah yang relatif kecil, agar dengan itu mudah diorganisir dan pelibatan diri dimungkinkan.

Gerejawi. Gerejawi merujuk pada identitas komunitas, yakni Gereja. Corak dan cara hidup yang dilakoni haruslah menunjukkan corak dan cara hidup yang sesuai dengan visi Gereja. Sifat, sikap, ajaran, organisasi, tugas perutusan haruslah sesuai dengan sifat, sikap, ajaran, organisasi dan tugas perutusan Gereja. Komunitas merupakan representasi yang paling konret dari Gereja Universal dan Lokal di wilayah-wilayah, lingkungan-lingkungan hidup manusia.

4 Ciri Komunitas Basis Gerejawi (KBG)

KBG harus ditopang oleh empat elemen yang merukan cirinya, yaitu hidup dalam wilayah yang sama, sharing Injil, Aksi nyata Injil,  dan terikat dengan paroki. Berikut penjelasannya:

Ciri 1: Wilayah yang sama :

Idealnya, sebuah KBG terbentuk sekitar lima belas sampai dua puluh keluarga-keluarga bertetangga yang hidup dalam wilayah yang sama. Mengapa demikian? Pertama, karena keluarga-keluarga itu bertetangga dekat dan berjumlah relatif kecil dalam area yang sama, Gereja sebagai komunio dapat dialami tanpa sekat-sosial seperti suku, bahasa, ekonomi, jenis kelamin, minat, dan sebagainya. Kedua, umat dapat mengalami komunio sebagai relationship dengan Tuhan dan sesama, saling mengenal dan mengunjungi secara teratur untuk mewujudkan persekutuan dan persaudaraan sebagai satu keluarga Allah, saudara saudari satu Bapa. Orang tidak lagi merasa terasing dan anonim dalam rumahnya sendiri. Dengan demikian, hukum kasih yang merupakan isi Taurat dialami dalam hidup beriman[1]. Ketiga, perjumpaan rutin untuk saling meneguhkan dan menguatkan persekutuan dapat terpelihara. Keempat, partisipasi dalam paroki (lima bidang tugas Gereja) dapat terjangkau. Dengan demikian, sifat Gereja yang satu jelas terlihat.

Ciri 2: Sharing Injil :

Ada beberapa alasan, mengapa sharing Injil sangat ditekankan dan dinilai sebagai faktor kunci sebuah KBG.

  • Pertama, Allah kita adalah Allah yang hidup, yang terus menyertai dan berbicara kepada umat-Nya. Ketika Yesus memulai tugas perutusan-Nya, Bapa bersabda, “Inilah Putera kesayangan-Ku, dengarkanlah Dia.” Sharing Injil adalah alat yang ampuh untuk menolong umat beriman mendengarkan Yesus.
  • Kedua, di dalam Kitab Suci, mendengar suara Allah adalah sebuah keutamaan yang lebih penting daripada melihat. Dengan mendengar, Allah yang tak kelihatan bisa dialami kehadiran-Nya secara nyata. Sejak Israel keluar dari Mesir, Allah terus-menerus menegaskan kepada umat- Nya, “Dengarlah hai Israel.” Mendengar menunjukkan perhatian yang penuh kepada pembicara, yakni Allah sendiri. Dengan mendengar, umat menerima Sabda Allah melalui telinga dan memeliharanya dalam hati. Dengan mendengar dan memelihara Sabda Allah dalam hati, kita sanggup meruntuhkan kata hati dan keinginan-keinginan kita, dan berjuang untuk membangun jati diri kita sebagai hamba-hamba-Nya. Inilah proses pertumbuhan yang terjadi dalam diri Maria sehingga di akhir pergulatan antara keinginannya dan keinginan Allah, Bunda Maria berkata, “Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataan-Mu”.[2] Joseph mendengar ke- hendak Allah dan menerima Maria sebagai istrinya.[3] St. Paulus berkata, “Iman muncul dari pendengaran”.[4]
  • Ketiga, sebagai perwujudan konkret Gereja, KBG adalah komunitas doa. Doa dipraktekkan secara salah bila tak lebih dari sebuah monolog antara manusia dan Allah. Doa sesungguhnya adalah sebuah komunikasi dialogal antara Allah dan manusia yang mengandaikan sikap saling mendengar satu sama lain, baik di pihak Allah maupun di pihak manusia. Dalam sharing Injil, Kitab Suci menjadi buku doa. Yesus hadir, menyapa dan menyentuh semua saudara-Nya dengan seluruh pengalaman hidup- Nya yang konkret, baik yang bersifat meneguhkan maupun yang menuntut pertobatan. Pelaku utama dalam peneguhan maupun pertobatan adalah Yesus sendiri yang menolong anggota Gereja untuk membebaskan diri dari belenggu dosa yang menindas.[5]
  • Keempat, dengan sharing Injil, semua umat beriman digerakkan untuk berani mengisahkan kisah Yesus dalam hidupnya yang konkret.
  • Kelima, sharing Injil menolong umat untuk melihat segala sesuatu dalam terang Injil.[6]
  • Keenam, sharing Injil dapat dilakukan tanpa harus dipimpin oleh imam walaupun imam hadir di Hidup komunitas Gereja yang berpusat pada Sabda Allah membuat sifat Gereja yang Kudus menjadi tampak.

 Ciri 3: Aksi Nyata Injil:

Ada beberapa alasan, mengapa aksi nyata injili merupakan ciri yang harus tampak dalam KBG.

  • Pertama, KBG adalah komunitas saudara -saudari Yesus (Gereja). Tuntutan Yesus bukan hanya mendengar melainkan juga melaksanakan Sabda Allah.
  • Keclua, aksi nyata membuat iman menjadi iman yang hidup. St. Yakobus berkata, iman tanpa perbuatan adalah mati.[7]
  • Ketiga, tugas semua umat beriman untuk menghayati hidupnya dalam terang Injil.[8]
  • Keempat, bersaksi tentang Yesus adalah pengabdian yang luhur.[9] Yesus bersabda, “Hendaknya terangmu bercahaya di depan orang supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga”.[10]
  • Kelima, isi Injil yang disimpan oleh Gereja sebagai sebuah warisan hidup yang berharga, bukan untuk dijaganya agar tetap tersembunyi, melainkan untuk diteruskan dan dikomunikasikan.[11] Oleh karena itu, sarana utama bagi penginjilan adalah kesaksian hidup kristiani yang otentik. Teladan yang berasal dari hidup yang terhormat dan murni akan berhasil meyakinkan mereka yang menolak untuk tunduk pada Sabda, kendati hai itu dilakukan tanpa perkataan.[12]
  • Keenam, semua kaum beriman bertugas untuk melanjutkan perutusan Yesus di dunia. Yesus bersabda, “Sebagaimana Bapa mengutus Aku, demikianlah Aku mengutus kamu”.[13] Dengan melakukan aksi nyata injili, KBG menampakkan sifat universal Gereja yang apostolik

Ciri 4: Terikat dengan Paroki:

Mengapa KBG harus terikat dengan paroki?

  • Pertama, paroki menghadirkan Gereja semesta yang kelihatan.[14] Oleh karena itu, KBG sebagai komunitas Gereja harus disatukan dengan paroki, bagai ranting anggur dengan pokoknya. Tanpa kesatuan erat dengan paroki, KBG bukan komunitas basis Gereja, melainkan sekte.
  • Kedua, paroki adalah komunitas orang-orang yang dibaptis. Paus Yohanes Paulus II menegaskan, bahwa paroki adalah komunitas dasar umat Komunitas dasar itu ditemukan dalam baptisan dan memiliki tugas khusus mengembangkan panggilan orang-orang yang dibaptis. Sebagai sebuah paroki, setiap orang yang dibaptis dipanggil untuk membentuk satu jati diri (entitas) dalam Kristus, terikat untuk mengemban kesaksian hidup kepada komunitas ini, dengan berusaha bertumbuh dalam Kristus, tidak hanya sebagai individu tetapi juga sebagai paroki.[15] Dengan demikian, KBG hanya bisa menjadi Komunitas Basis Gerejawi, bila keberadaannya adalah untuk pembangunan paroki sebagai Gereja yang paling lokal.
  • Ketiga, paroki adalah Komunitas Ekaristi, komunitas yang paling cocok untuk perayaan sakramen sumber hidup ini dalam persatuan penuh seluruh Gereja, di mana Pastor yang mewakili Uskup Disosesan, merupakan ikatan hirarkis dengan seluruh Gereja Partikular.[16] Dalam Ekaristi tampak komunio semua anggota Tubuh Kristus yang menyebar di setiap KBG dalam kesatuan dengan imam sebagai in nomine Christi Capitiis, merayakan komunio itu secara sakramental dalam misteri keselamatan, bersama semua anggota Tubuh Kristus di seluruh dunia, bersama Hirarki, sebagai Gereja yang berziarah dalam kesatuan dengan Gereja yang bahagia (para kudus), dan Gereja yang masih menantikan keselamatan (para arwah).[17] Karena merupakan Komunitas Ekaristi, maka paroki pertama-tama hendaknya dan harus menjadi tempat perjumpaan kaum beriman dan diundang untuk membagi hidup dan misi Gereja secara penuh.[18] Dengan demikian paroki sebagai komunitas Ekaristi bermaksud untuk memberi daya hidup misi yang terjadi di KBG, dan oleh komunio Gereja yang bersumber pada Tubuh dan Darah Kristus sendiri, kaum beriman diutus untuk melanjutkan misi di KBG-KBG.
References:

[1] EA No.13

[2] Luk. 1:38

[3] Mat. 1:24

[4] Rm. 10:17

[5] EN N0.33

[6] EN No.19

[7] Yak. 2:20

[8] EN No.29

[9] EA No.20

[10] Mat. 5:16

[11] EN No.15

[12] EN No.41

[13] Yoh. 20:21

[14] SC No.42

[15] Michael Sweeney, OP., "Can You Tell Me What A Parish Is", dalam Thomas A. Baima, Lawrence Hennessey, What is a Parish: Cannonical, Pastoral, and Theological Perspectives, Published by Archdioces of Chicago: Liturgy Training Publications, Chicago, 2007, him. 4-5

[16] Kongregasi Untuk Klerus, Instruksi Imam, Gembala dan Pemimpin Paroki tanggal 4 Agustus 2002, art. 18 (terj. Piet Go, O.Carm), Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2005

[17] SC No.2

[18] Michael Sweeney, OP. "Can You Tell Me What A Parish Is", dalam Thomas A. Baima, Lawrence Hennessey, What is a Parish: Cannonical, Pastoral, and Theological Perspectives, Published by Archdioces of Chicago: LiturgyTraining Publications, Chicago 2007, him. 7-8.

Source: Menjadi Gereja Partisipatif, Pedoman Pastoral Keuskupan Pangkalpinang Post Sinode II

EA : Ecclesia in Asia

EN : Evangelii Nuntiadi

SC : Sacrosanctum Concilium

/costmust

 

Related Articles

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.